4 Mei 2024

Penulis : Ummu Hanan (Aktifis Muslimah)

               

Dimensi.id-Tertangkapnya Djoko Tjandra pada bulan Juli 2020 telah mengejutkan banyak pihak. Bagaimana tidak, Djoko Tjandra sempat menjadi buron selama 11 tahun akibat terseret kasus pengalihan hak tagih Bank Bali. Setelah berhasil dibekuk oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, untuk sementara yang bersangkutan mendekam di Rutan Cabang Salemba, Mabes Polri. Kasus Djoko Tjandra bermula dari adanya dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum pada Februari 2000. Djoko dianggap bersalah atas tindakan korupsi terkait pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara sebesar Rp 940 miliar (nasional.kompas.com,01/08/20).

               

Djoko Tjandra bukanlah orang biasa. Ia adalah salah seorang pendiri Mulia Group yang menguasai bisnis perhotelan dan asset gedung pencakar langit di Jakarta. Besaran nilai asset yang dimiliki oleh bisnis usaha ini diperkirakan mencapai Rp 11,5 triiun. Selain itu juga adanya perluasan bidang bisnis dengan merambah sektor keramik, metal dan gelas (kontan.co.id,31/07/20). Bisnis usaha Mulia Group juga merambaha  beberapa proyek besar di Jakarta seperti Wisma Mulia, Mal Taman Anggrek dan Wisma GKBI.

               

Berita seputar buronnya Djoko Tjandra hingga 11 tahun bukanlah satu-satunya hal yang menggemparkan public. Namun bagaimana upaya dan keterlibatan beberapa pejabat negara di dalamnya yang tentunya membuat publik tersentak. Pejabat sebagai pemangku kebijakan yang selayaknya memberikan teladan dalam penerapan hukum ternyata justru memberi andil dalam meloloskan aksi buron koruptor.

               

Penerapan hukum dan persanksian hari ini sangatlah rancu. Jika kita melihat dari beberpa kasus yang ada, pelanggaran hukum dengan pelaku dari masyarakat awam, dengan kerugian yang “tidak seberapa” sanggup menjadikan penegak hukum menerapkan sanksi yang tegas. Seperti halnya kasus fenomenal di tahun 2015 yang terjadi pada nenek Asyani . Nenek tersebut divonis 1 tahun penjara dan dianggap bersalah karena mencuri dua batang pohon jati. Peristiwa ini terjadi di daerah Jawa Timur.

               

Perlakuan hukum menjadi timpang ketika dilakukan oleh oknum yang menguasai kapital (modal). Para koruptor yang tidak sungkan memakan uang negara hingga triliunan Rupiah dapat dengan mudah terlepas dari jerat hukum. Ironisnya, lolosnya para koruptor ini tidak lepas dari peran para pemangku jabatan. Dipungkiri atau tidak tentunya ada sebuah hubungan yang saling menguntungkan antara koruptor dengan peemangku jabatan.

               

Di dalam sistem kapitalisme, standar dalam melakukan sebuah perbuatan adalah manfaat. Ukuran manfaat dilihat dari sisi keuntungan secara materi yang akan diraih. Maka selama sebuah amal dipandang mendatangkan manfaat tentunya itu akan dilakukan, begitupula sebaliknya, Termasuk dalam pelaksanaan hukum. Kasus yang boleh jadi telah nyata menimbulkan kerugian yang besar bagi negara akan dapat dimenangkan semata karena adanya kemanfaatan yang diraih di dalamnya. Seperti itulah yang terjadi kepada para koruptor kelas kakap.         

               

Penegakan hukum dalam kapitalisme telah menjadikan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tegas jika menimpa rakyat kecil dan melunak saat berhadapan dengan para pemilik modal dan kekuasaan.  Sampai kapanpun kondisi seperti akan terus terjadi, mengingat landasannya sudah bathil sejak awal. Keadilan tentu akan sangat sulit terwujud dengan mekanisme penegakan hukum yang bias. Permasalahan muncul bukan hanya perkara oknum yang korup namun sistem yang membuka ruang untuk terjadinya penyalahgunaan kewenangan.

               

Berbeda dengan kapitalisme, syariat Islam telah menjadikan penerapan hukum di tengah masyarakat sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Karenanya, sejarah islam mencatat bagaimana keadilan dapat teraih dengan menjadikan sistem Islam sebagai landasannnya. Seperti yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Dimana pada waktu itu, Abdurrahman bin Umar, anak Umar bin Khattab, diperkarakan karena meminum khamr.

Dalam melaksanakan hukuman cambuk tersebut, Amr bin Al-Ash, tidak melakukan seperti kepada masyarakat biasa dikarenakan Abdurrahman adalah putra seorang Khalifah.  Mengetahui hal ini, Umar segera memperingatkan Amr bin Al Ash untuk tidak membedakan perlakuan sanksi kepada anaknya. Seketika itu pula Abdurrahman bin Umar dicambuk di kerumunan masyarakat sebagai bentuk penerapan sanksi tegas atas peminum khamr.

               

Demikianlah gambaran penegakkan hukum dalam Islam yang sangat tegas. Syariat Islam tidak mentolerir adanya pelanggaran hukum apakah itu dilakukan oleh rakyat atau oleh pejabat dan kroninya. Berbeda dengan penerapan hukum dalam sistem kapitalisme yang selalu membuka celah ketidakadilan. Tajam kepada rakyat dan tumpul kepada para pemilik modal dan penguasa. Ketika negara sudah dikuasai oleh korporasi  dan menjelma menjadi korporatokrasi. Tentu korupsi dan penyalahgunaan hukum adalah sebuah keniscayaan.  Jika sudah demikan bagaimana akan diraih keadilan?

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.