24 April 2024

Para sejarawan legendaris Bima seperti H. Abdullah Tajib, BA (1995) dan Drs. M. Hilir Ismail (2004) sepakat bahwa Kesultanan Bima berdiri tepat di hari penobatan La Ka’i atau Sultan Abdul Kahir sebagai sultan pertama Bima. Sultan Abdul Kahir sendiri dinobatkan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1050 H yang bertepatan dengan tanggal 5 Juli 1640 M (Tajib, Sejarah Bima Dana Mbojo, 1995: hal. 117; Ismail, Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, 2004: hal. 64). Pada tahun 1995, DPRD Kabupaten Bima sepakat untuk menetapkan tanggal penobatan Sultan Abdul Kahir tersebut sebagai tanggal hari jadi Kabupaten Bima, dan sampai kini diperingati setiap tanggal 5 Juli. Tahun 2021 ini adalah peringatan HUT Bima ke-381.
.
Meskipun para sejarawan Bima berpendapat tahun 1640 sebagai tahun dilantiknya sultan Abdul Kahir, namun seluruh sejarawan barat, sebut saja misalnya Ligtvoet (1880) atau Jacobus Noorduyn (1987), berpendapat bahwa Sultan Abdul Kahir dilantik sebagai raja Bima sejak tahun 1620 M. Yakni sejak suksesnya penaklukan Bima oleh armada Kesultanan Gowa di bawah pimpinan Karaeng Maroanging pada tahun 1619 (Noorduyn, 1987a, hal. 124). Namun pendapat para sejarawan orientalis ini agak aneh. Jika memang Gowa sudah menaklukkan Bima (baca: Raja Salisi Mantau Asi Peka) pada tahun 1619, lalu untuk apa Gowa menyerang Bima kembali pada tahun 1626?

Bahkan serangan besar-besaran ini dipimpin langsung oleh Sombaya (Raja) Gowa Sultan Alauddin (1593-1639) dan Tummabicara Butta (Perdana Menteri) Gowa Karaeng Matoaya. Menurut Cummings (2010) Lontara’ Bilang Gowa mencatat bahwa pada tanggal 2 Juli 1626, Sultan Gowa dan Karaeng Matoaya memimpin serangan ke Pulau Sumbawa dan berhasil menaklukkan seluruh kerajaan di pulau itu yakni Kerajaan Bima, Kerajaan Dompu, Kerajaan Kengkelu (Tambora) dan Kerajaan Sumbawa.
.
Penulis melihat bahwa serangan besar-besaran Gowa ke seluruh kerajaan di Pulau Sumbawa itu menandakan bahwa serangan Karaeng Maroanging yang menurut Lontara’ Bilang Gowa terjadi pada tahun 1618 namun dikoreksi oleh Noorduyn menjadi 1619, belumlah menaklukkan Bima yang saat itu dipimpin oleh Salisi Mantau Asi Peka, namun boleh jadi hanya mengalahkan segelintir pasukan Bima yang menghadang pasukan Gowa yang dipimpin Karaeng Maroannging.

Oleh sebab itulah Gowa kembali menyerang Bima (Raja Mantau Asi Peka) pada tahun 1626. Kuat bukti bahwa tahun 1626 Raja Bima, Salisi Mantau Asi Peka, berhasil dikalahkan oleh pasukan Gowa. Oleh karena itu seharusnya pada tahun 1626 inilah Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai raja atau sultan pertama Bima. Karena mustahil Gowa membiarkan Raja Mantau Asi Peka yang menolak masuk Islam untuk tetap menjadi raja di Bima.

Peninggalan kesultanan bima ini sekarang menjadi situs yang ramai dikunjungi.
Situs asi mbojo, sumber: gotripina.com

Adapun mengapa Bo Bima mencatat bahwa penobatan Sultan Abdul Kahir terjadi pada tahun 1640, jawabannya dapat ditemukan dengan mencermati kronologi Lontara’ Bilang Gowa dari tahun 1632 hingga tahun 1640. Ternyata selama periode itu kondisi politik Bima masihlah belum kondusif. Gowa harus memberikan beberapa kali bantuan militer kepada Bima (Sultan Abdul Kahir) hingga 1640 tidak ada lagi gejolak di Bima melawan kekuasaan Sultan Abdul Kahir. Bahkan Lontara’ Bilang memberitakan bahwa terjadi sebuah pemberontakan di Bima pada tahun 1632.

Pemberontakan siapakah ini, dan pemberontakan terhadap siapa? Jika Salisi telah dikalahkan pada tahun 1626 kemudian pada tahun yang sama Sultan Abdul Kahir naik tahta, maka pemberontakan pada tahun 1632 seharusnya dilakukan oleh Salisi atau para pengikutnya untuk menggulingkan Sultan Abdul Kahir. Untunglah pada tahun 1640, Sultan Abdul Kahir atas bantuan Gowa dapat mengalahkan Salisi kembali untuk selamanya. Maka dilantiklah kembali Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1640 M. Inilah penjelasan mengapa Bo Bima mencatat penobatan Sultan Abdul Kahir terjadi pada 5 Juli 1640 M.

Lantas apa sebenarnya esensi dari pelantikan Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1640 M tersebut? Esensinya tak lain adalah perubahan ideology dan dasar Negara. Harus dipahami bahwa berdirinya kesultanan Bima tidak terjadi dalam semalam dan tidaklah dilakukan semudah membalik telapak tangan. Sejak Abad ke-15 para muballigh dari Campa, Giri, Ternate, dan Gowa secara simultan telah berdakwah di Bima.

Kemudian gayung bersambut terhadap dakwah para muballigh Gowa dengan masuk Islamnya La Ka’i pada tahun 1621 M. Sejak saat itu, perjuangan untuk mendirikan Kesultanan Bima penuh dengan cucuran darah dan tetesan air mata. Demi apa? Demi perubahan fundamental dalam Negara. Tersingkirnya ideology dan system kufur dari Dana Mbojo (Negeri Bima), digantikan dengan ideology dan system Islam. Itulah esensi pelantikan Sultan Abdul Kahir 281 tahun yang lalu.

Sejak saat itu, aqidah Islam dipeluk oleh masyarakat Bima dan menjadi dasar Negara di Bima. Sejak saat pula Syariah Islam menjadi system yang mengatur masyarakat Bima bergandengan dengan hukum adat warisan leluhur kita. Syariah Islam-lah yang menjiwai semangat jihad orang Bima sehingga turut melawan VOC Belanda dalam perang Makassar dan Perang Trunojoyo, Syariah Islam yang menjiwai semangat perlawanan rakyat Ngali, Rasanggaro.

Dan Dena untuk melawan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1908-1910, Syariah Islam yang menjiwai rimpu dan nika baronta di masa pendudukan Jepang, Syariah Islam juga yang menjadikan masyarakat Bima begitu gandrung kepada tilawah Al-Qur’an sehingga seorang qari’ mendapatkan kedudukan sangat terhormat dalam masyarakat Bima.

Oleh sebab itu, seharusnya generasi Bima saat ini menjadikan momentum HUT Bima bukan momentum seremonial tanpa makna, apalagi menjadi momentum hura-hura. Seharusnya momentum HUT Bima dijadikan sebagai momentum muhasabah. Masihkah spirit La Kai mengalir dalam darah kita? Masihkah perjuangan La Ka’i menjadi role model perjuangan kita? Perjuangan untuk menjadikan Aqidah dan Syariah Islam diterapkan secara fundamental dan kaffah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Bima.

Baca juga: Kapitalisme demokrasi berpihak pada konglomerat, bukan rakyat!

Mungkin akan ada segelintir orang yang bertanya, jika hendak memperjuangkan Syariah Islam untuk diterapkan di Bima, maka syariah mana lagi? Bukankah seluruh Syariah Islam sudah diterapkan di Bima? Maka ingatlah bahwa pertanyaan semacam ini muncul dari kaum yang tidak faham kerangka besar ajaran Islam. Mereka tidak faham mengapa La Ka’i harus berdarah-darah, mereka tidak faham mengapa Rato Waro Bewi harus syahid di Doro Cumpu.

Ilustrasi peta yang menunjukkan penyebaran wilayah kekuasaan kesultanan bima.
Gambar peta kesultanan bima, sumber: selasar.com

Mereka tidak faham bahwa Islam terdiri atas Aqidah dan Syariah. Bahwa Syariah itu ada yang berdimensi spiritual dan ada pula yang berdimensi siyasi (politis). Sholat, puasa, dzikir, dan tilawah al-Qur’an adalah contoh syariah berdimensi spiritual. Dan semuanya dapat dilaksanakan tanpa sokongan Negara atau system politik. Sholat bisa dikerjakan sendiri atau berkelompok, begitu juga dzikir dan tilawah Al-Qur’an. Tak perlu kehadiran Negara dalam pelaksanaannya.

Adapun hukuman cambuk dan rajam bagi pezina, hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman cambuk bagi peminum khamr, bahkan hukuman bagi orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja, inilah contoh syariah Islam yang mutlak membutuhkan kehadiran Negara. Negaralah pelaksananya, bersama aparaturnya. Hukum Islam tentang distribusi ekonomi, pengelolaan Sumber Daya Alam, dan pemanfaatan tanah / hutan, ini juga mutlak membutuhkan kehadiran Negara untuk melaksanakannya. Tidak bisa dilaksanakan oleh individu.
.
Lalu akan muncul lagi pihak yang akan berargumen, jika Syariah Islam diterapkan, lalu bagaimana nasib pemeluk agama lain, bukankan masyarakat kita sangat plural dan multi etnis? Seolah-olah mereka lupa bahwa Syariah Islam ini pernah diterapkan oleh sebuah Negara besar bernama Khilafah selama tiga belas abad lamanya, dan di dalam Negara itu kaum muslimin hidup berdampingan dengan kaum non-muslim walaupun mereka menerapkan Syariah Islam. Seolah-olah mereka tidak tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil mendirikan Negara Islam di Madinah, dan di sana juga hidup kaum Yahudi.

Itulah contoh orang-orang yang tak akan dapat memahami esensi perjuangan La Ka’i dan esensi pengorbanan orang-orang yang telah membantunya. Mereka tidak akan faham mengapa harus ada lewa sabi, bundu’ kasallannganga, atau mussu’ selleng. Mereka tidak faham mengapa La Ka’i atau Abdul Kahir harus menggunakan gelar sultan.

Mereka juga tidak faham mengapa Bima harus disebut kesultanan. Lalu anda wahai saudaraku, termasuk kelompok manakah anda semua? Apakah termasuk kelompok dengan dua pertanyaan ini, atau termasuk kelompok yang memahami perjuangan para pendahulu anda dengan pemahaman yang jernih dan cemerlang? Semua terserah kepada anda dan semua pilihan pasti ada konsekwensinya di hadapan Sang Maha Pencipta.

Penulis: Faisal Mawa’ataho | Founder Komunitas Gemar Sejarah (KGS) Bima

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.