17 Mei 2024

Penulis : Shita Ummu Bisyarah

Dimensi.id-Dunia mulai putus asa dalam menangani pandemi global covid-19 yang kini tengah melanda. Sudah 4.5 juta orang yang terinfeksi, bahkan diprediksi akan terus bertambah. Puluhan ribu telah meregang nyawa, jutaan lainnya sedang berjuang melawan. Kabar buruknya ilmuan mulai kewalahan meneliti virus ini karena mutasi virus ini sangat cepat. Hingga kini virus ini telah bermutasi menjadi 33 jenis dan kasus baru 60% karena virus yang telah bermutasi. Parahnya setiap bermutasi akan merubah patogenisitas sang virus (katadata.co.id 22/4/2020)

Profesor Physiology Developmental Biology bernama March Hansen dari Birgham Young University mengatakan bahwa jumlah asimtomatik semakin hari semakin besar sehingga transmisinya semakin tak terkendali. Maka wajar saja jika grafik terinfeksi semakin meroket tajam bahkan muncul gelombang ke 2 di beberapa negara yang mulai menurun grafiknya.

Melihat fakta diatas banyak negara mulai kewalahan bahkan pesimis menghadapi pandemi ini. Bahkan Presiden Indonesia terang – terangan mengucapkan narasi yang berkonotasi “menyerah” dalam menghadapi pandemi ini. Hal ini beliau sampaikan pada Kamis (7/5) “Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan COVID untuk beberapa waktu ke depan”.

Namun lagi – lagi negara bermain frasa seolah pernyataan itu berkonotasi positif. “New Normal Live” begitu gaung media seantero negri mengopinikan istilah ini, mengajak masyarakat berdamai dengan virus ini. Seolah masuk akal, namun apakah ini adalah solusi hakiki?

Berdamai dengan Corona ini diiringi dengan pelonggaran PSBB dimana beberapa bandara dan stasiun beroprasi kembali. Jelas tak lama setelah disahkan desakan antrian pulang kampung terjadi dimana – mana. Di bandara Soetta terjadi antrian yang sangat padat hingga mengabaikan social distancing. Hal ini jelas menyebabkan transmisi virus yang kian menyebar ke berbagai daerah.Belum lagi beberapa industri yang akan dibuka, rasa – rasanya mencegah virus ini menyebar hanya ilusi belaka.

Berdamai dengan corona jelas menunjukkan langkah pemerintah yang menyerah atau bahkan berlepas tangan meriayah rakyatnya. Berharap pada Herd Immunity yang artinya “Kowe slamet yo syukur!”, tanpa memikirkan bagaimana para tenaga medis di garis depan mati – matian berjuang, atau bahkan kolepsnya sistem kesehatan nasional dengan banyaknya jumlah orang terinfeksi dalam waktu bersamaan.

Pun dengan dunia, lonjakan kasus baru yang akan terulang entah berapa kali membuat beberapa negara maju seperti Jepang kewalahan. Amerika dan Inggris dengan kasus terbanyak di dunia juga belum surut. Ekuador kebingungan dengan melonjaknya kematian, dan berbagai problem lain yang seolah tiada harapan bagi dunia ini.Benarkah sudah tak ada harapan lagi? Mengingat ancaman krisis multi dimensi yang telah diwanti – wanti para pakar akibat pandemi ini dampaknya juga sangat mengerikan.

Bila kita analisis dan tarik akar masalahnya maka akan kita temukan akar masalahnya. Sebenarnya virus adalah organisme yang tidak akan pernah bisa berpindah bila dia tidak dipindahkan. Pun dengan Covid-19 ini, dia hanya bisa berpindah dan menginfeksi orang lain jika terjadi proses perpindahan, sederhananya terjadi kontak antara orang dengan orang. Maka satu – satunya jalan untuk memusnahkan virus ini adalah menghentikan transmisi virus ini, yakni dengan meniadakan kontak orang terinfeksi dengan orang sehat.

Kesalahan awal mengapa virus ini menyebar luas ke seluruh penjuru dunia adalah ketika awal virus ini muncul dunia tidak memiliki mekanisme lockdown. Negara – negara di dunia malah menarik warga negaranya masing – masing untuk kembali ke negaranya dengan dalih nasionalisme. Begitu pula ketika suatu negri terinveksi, peraturan sangat lambat sekali dikeluarkan oleh pemerintah, padahal pergerakan penularan virus sangatlah cepat. Ketika peraturan sudah di terapkan rakyatnya bandel bukan main, tak mau patuh. Dan ketika sekarang dunia global sudah terinfeksi negara – negara di dunia sibuk mengurusi negaranya sendiri.

Padahal apabila negara – negara di dunia masih egois maka rantai penularan virus baru yang bermutasi tak akan pernah terputus. Bayangkan saja ketika suatu hegara sudah zero kasus kemudian membuka kembali penerbangan dari negara lain yang masih ada infeksi, maka tidak menutup kemungkinan negara tersebut akan terinfeksi kembali dengan virus baru yang bermutasi. Jadi rantai penularan covid-19 seolah akan terus menerus terjadi ketika negara – negara di dunia tidak bersatu.

Untuk menyatukan seluruh negara di dunia dalam satu visi rasanya menjadi hal yang tidak mungkin karena ideologi yang dunia anut sekarang adalah ideologi kapitalisme dimana standar materialismelah yang dijadikan patokan. Setiap negara akan egois memikirkan keuntungan pribadi segelintir orang yang memegang kekuasaan. Bukan kepentingan umum masyarakat dunia.

Maka jelas akar masalah seluruh kerumitan ini adalah ideologi kapitalisme yang sejak awal memang cacat karena dia bersumber dari akal manusia yang lemah. Satu – satunya solusi hanyalah ideologi Islam. Ideologi yang bersumber dari sang pencipta manusia. Karena islam telah terbukti pernah menyatukan dunia selama 14 abad lamanya.

Begitu juga dalam menangani wabah. Sejarah sudah membuktikan bagaimana Islam menangani wabah dengan serangkaian mekanisme jeniusnya yang diajarkan oleh Rosulullah. Seperti sejarah Umar bin Khatab menangani wabah Thaun di Syam atau sejarah Kholifah. Wallahualam

Editor : azkabaik

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.