18 Mei 2024

Penulis : Pipit Agustin

Dimensi.id-Majunya putra Presiden Jokowi Gibran Rakabuming dalam pemilihan wali kota Solo kian menandai suburnya politik dinasti di Indonesia. Pertama dalam sejarah demokrasi di Indonesia, putra dari presiden berkuasa ikut dalam kontestasi pilkada. Gibran resmi diusung PDIP sebagai calon wali kota Solo, kursi yang dulu pernah diduduki ayahnya.

Gibran tidak sendirian, di Tangerang Selatan, Banten, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah juga maju dalam pemilihan wali kota. Putra Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah (adik Atut), Pilar Saga Ichsan, dikabarkan bakal maju. Adik Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diani, Aldrin Ramadian, juga dikabarkan tertarik menggantikan posisi kakaknya. Ada sekitar sembilan keluarga pejabat yang akan mengikuti pilkada serentak pada 9 Desember 2020 mendatang.

Menurut catatan mantan direktur jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan, pada 2013 sebanyak 61 kepala daerah di Indonesia mempunyai jaringan politik kekerabatan atau dinasti politik.

Sementara itu, sepanjang tiga periode terakhir (2015, 2016, 2017), sebanyak 80 wilayah  atau 14,78 persen Provinsi dan Kabupaten/Kota terpapar dinasti politik (kepala daerah terpilih memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik). Banten menempati urutan pertama provinsi yang paling banyak terpapar (55,56 persen).

Bila diperhatikan, suburnya politik dinasti dalam sistem demokrasi berbanding lurus dengan kompetisi politik yang tidak sehat. Semakin tidak adil aturan main dalam kontestasi politik, semakin menyuburkan politik dinasti.

Selain itu,  dilihat dari segi paradigmatik, demokrasi yang awalnya dari rakyat, oleh, rakyat, untuk rakyat bermutasi menjadi dari korporat, oleh korporat, untuk korporat. Hal ini amat gamblang dari produk undang-undang yang dihasilkan. Rendahnya niat tulus para legislatif memihak rakyat sehingga hampir semua UU yang dihasilkan lebih pro korporasi. Kuatnya bonding “kekerabatan” seperti patronase, koncoisme, dan kroniisme juga turut menyuburkan politik dinasti. Akhirnya,  demokrasi terjebak dalam dinastokrasi.

Tak ayal, politik dinasti semakin mengganggu dan tak terkendali. Para pemegang kekuasaan semakin leluasa membangun imperium dinasti politik. Praktik demokrasi pun kian oligarkis. Proses rekrutmen politik didominasi oleh transaksi kepentingan kekuasaan.

Disinilah letak problematik perpolitikan negeri ini. Rendahnya kecerdasan politik masyarakat berimbas pada ketidakmampuan melihat secara cermat segala “omong kosong” demokrasi yang melulu teoritis. Menganggap demokrasi sebagai sistem politik terbaik saat ini seraya buta dan alergi terhadap sistem politik alternatif, khususnya Islam.

Bila dicermati, bermutasinya demokrasi menjadi dinastokrasi secara serius membongkar aib demokrasi, yang selama ini terlalu pekat ditutupi oleh klaim-klaim hiperbolik dari para pemujanya.

Fenomena dinastrokrasi ini berhasil membuktikan bahwa negara demokrasi yang diidam-idamkan oleh para pengusungnya, dalam praktiknya tidak lebih merupakan negara dinasti, negara yang dikuasai ‘keluarga’. Sebab, yang selalu memiliki kuasa adalah klan pejabat, gen istana dan darah birokrat. Merekalah yang telah ‘merampas’ kedaulatan rakyat dan mengubahnya menjadi kedaulatan elit politik, elit wakil rakyat, dan elit korporat pemodal.

Oleh karena itu, dibutuhkan ekstra upaya untuk membangun kecerdasan politik keumatan sebagai satu-satunya alternatif solusi. Mengajak umat berpikir lebih jernih bahwa sejatinya dalam demokrasi itu mengandung tiga asas beracun, yakni sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme.

Sekularisme adalah penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun. Hal ini mentolerir jalan haram dalam meraih kekuasaan dan menjalankan kekuasaan. Merebaknya KKN memicu lahirnya pemimpin prematur yang inkompeten, inkredibel, dan minim visi politik mengurus rakyat. Di sinilah wujud sekularisme yang memang tak mengenal ajaran agama sehingga tak takut dosa dan hisab akhirat.

Liberalisme merupakan kebebasan berpikir, berpendapat, dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sebuah pengertian yang dualisme dan problematis. Konon, setiap orang berhak berbicara apa saja, mempersoalkan apa saja, termasuk syariat Islam dan Khilafah. Namun, seseorang tidak boleh mempersoalkan komunisme, penodaan agama (Islam), L9B7 karena hal itu melanggar HAM.

Sementara itu kapitalisme mempercayai pasar bebas dengan modal sebagai panglimanya. Kepemilikan modal menjadi energi untuk menguasai sumber daya suatu negara. Merebaklah investasi asing dan swasta lantaran negara tak cukup modal untuk pengelolaannya. Kompensasi kapitalisme menghendaki adanya kebijakan yang pro kapitalis. Maka lahirlah aneka undang-undang bernuansa kolonis. Negara mati kutu karena hanya menjadi regulator. Tak punya kuasa melindungi harta rakyat. Kekayaan alam negara mengalir deras kepada para pemodal dan menetes sedikit untuk rakyat. Atas nama investasi, ‘para maling’ berwujud korporat itu pun tak bisa digugat.

Dari sini dapat dimengerti bahwa demokrasi secara substansial selalu bertumpu pada ketiga asas penopangnya. Tak ada negara yang mengaku demokrasi tanpa asas sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme. Maka, dengan membongkar kedok kebusukan ketiga asas penopangnya, umat akan cerdas dan sadar meninggalkan demokrasi menuju kepemimpinan Islam sebagai pilihan.

Konsep kepemimpinan Islam adalah memimpin untuk mengatur urusan umat dengan menjalankan hukum Allah semata. Calon pemimpin menurut Islam harus memiliki kualifikasi: laki-laki, muslim, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Jika pemimpin terpilih tidak lagi menjalankan syariat Islam, otomatis akad kepemimpinannya batal.

Pangkat pemimpin dalam perspektif Islam bukanlah “kebanggaan dan kehormatan” sehingga menjadi prestis, melainkan “musibah dan beban” yang kelak dipertanggungjawabkan di akhirat. Di samping itu, kualitas masyarakat yang cerdas pada masa Kekhilafahan Islam telah melahirkan para pemimpin politik yang cerdas.

Dari sini dapat dimengerti mengapa umur kekhilafahan Islam itu sampai 13 abad dengan kesejahteraan praktis di wilayah yang membentang luas yang belum pernah terjadi dalam sistem demokrasi. Wallahua’lam.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.