1 Mei 2024

Penlis : Ummu Uwais (Penulis buku anak sekaligus ibu dari dua anak)

Dimensi.id-Seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Itulah peribahasa yang sepertinya cocok untuk menggambarkan karut-marutnya negeri ini dalam menghadapi pandemi covid-19. Bagaimana tidak, di saat para tenaga kesehatan dan rakyat sedang ramai mengampanyekan untuk di rumah saja guna memutus rantai penularan virus covid-19, seruan untuk berdamai dengan covid malah datang dari istana.

Salah satu penerapan dari seruan berdamai dengan covid ini adalah akan diterapkannya new normal atau normal baru, suatu keadaan dimana masyarakat kembali menjalani kehidupan normal, tapi dengan protokol kesehatan covid-19. Selain sektor ekonomi, sektor pendidikan terutama sekolah juga akan dibuka kembali pada penerapan new normal nanti.

Tentu saja hal ini membuat resah para orang tua. Akankah mereka membiarkan anak-anaknya kembali belajar di sekolah, menuntut ilmu, bertemu dengan guru dan teman-teman, dengan resiko terburuk anak tertular covid-19? Sementara bila di rumah proses penyerapan ilmu mungkin tidak akan bisa sebaik di sekolah. Mengingat tidak semua orang tua punya fasilitas dan kecakapan yang baik dalam menemani anaknya belajar di rumah.

Sebagai bentuk protes akan kebijakan ini, muncul petisi untuk menunda masuk sekolah yang digagas oleh seorang bunda di Surabaya. Petisi ini telah ditandatangani lebih dari 103.000 orang, yang menandakan ada banyak orang tidak setuju dengan kebijakan ini.

Meskipun pemerintah menyatakan bahwa nantinya akan ada protokol kesehatan ketat selama sekolah, seperti penggunaan masker, jaga jarak, pengurangan jam, atau lainnya, tentu hal ini tidak akan bisa menjamin anak-anak  100% aman dan tidak tertular covid-19 selama di sekolah. Mengingat masih minimnya pengawasan pemerintah dan kurangnya kesadaran masyarakat apalagi anak-anak.

Pemerintah harusnya berkaca dari Korea Selatan, yang meliburkan kembali sekolah, setelah tiga hari murid-murid dimasukkan kembali ke sekolah setelah libur lama karena pandemi. Hal ini dipicu setelah ada penambahan 176 kasus baru dalam tempo 3 hari tersebut. Padahal saat sekolah, ditetapkan juga protokol kesehatan yang ketat. (www.tempo.co/31/5/2020)

Atau apakah pemerintah tidak mau melihat sejenak ke belakang dari sejarah flu Spanyol pada tahun 1918? Bukankah korban justru bertambah banyak di gelombang kedua, setelah orang-orang lelah berdiam di rumah pada gelombang pertama, lalu keluar bergaul karena merasa keadaan aman-aman saja? (m.cnnindonesia.com/20/05/2020)

Apalagi dengan lonjakan korban yang terus bertambah hingga menyentuh angka 27.549 kasus, (www.kompas.com/2/02/2020) bukankah kebijakan masuk sekolah kembali di tengah pandemi seperti memasukkan anak ayam di kandang buaya? Sangat berbahaya dan jauh dari kata aman.

Sebenarnya hal seperti ini lazim terjadi di era kapitalis yang mendominasi. Dimana materi adalah segalanya. Yang paling ditakutkan adalah berapa banyak kerugian yang telah dialami? Bukan seberapa banyak korban yang telah pergi? Selama ada keuntungan, kebijakan pun  dapat dimodifikasi. Meski rakyat berbondong-bondong membuat petisi dan menangisi.

Solusi Islam

Sebagai agama sekaligus ideologi yang lengkap, Islam telah mengatur semua hal dan memberikan solusi atas segenap persoalan, termasuk ketika terjadi wabah. Dalam sejarah, wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Wabah itu ialah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu upaya Rasulullah saw. adalah menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut. Beliau bersabda:

‏ لاَ تُدِيمُوا النَّظَرَ إِلَى الْمَجْذُومِينَ

Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta (HR al-Bukhari).

Pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab juga pernah terjadi wabah penyakit menular. Diriwayatkan:

أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ. فَلَمَّا كَانَ بِسَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّأْمِ، فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ‏ ‏إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْه‏.

Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meningggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).

Tentu tidak hanya sebatas mengisolasi atau menerapkan karantina pada penderita saja. Pada masa kekhilafahan Islam, jelas sekali kebutuhan rakyatnya dipenuhi selama lockdown. Tidak hanya itu, negara juga menjamin kesehatan dan mendukung didirikannya laboratorium pengobatan dan fasilitas lainnya untuk mendukung pelayanan kesehatan masyarakat agar wabah segera berakhir.

Karena dalam sistem Islam, memungkinkan terpilihnya pemimpin muslim yang bertakwa,  yang mau menerapkan syariah Islam. Pemimpin Muslim yang bertakwa akan senantiasa memperhatikan urusan dan kemaslahatan rakyatnya. Sebab, dia takut kelak pada hari kiamat rakyatnya akan menuntut dirinya di hadapan Allah SWT atas kemaslahatan rakyat yang terabaikan. Dia pun sadar harus bertanggung jawab atas semua urusan rakyatnya di hadapan Allah SWT kelak, termasuk urusan menjaga kesehatan masyarakat. Rasul saw. bersabda:

فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Pemimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karenanya bukan hal yang sulit bagi khalifah untuk mewujudkan pendidikan yang baik selama pandemi bagi rakyatnya. Karena sumber daya alam dan kas negara dikelola dengan baik dan diperuntukkan semata untuk rakyat, pemimpin dalam sistem Islam tidak akan bingung menentukan kebijakan yang pas untuk rakyat selama pandemi.

Orang tua dan anak-anak pasti sangat menginginkan kembalinya anak-anak belajar ke sekolah seperti dulu lagi. Tapi tentu tidak siap dengan resiko terburuk, anak-anak akan tertular covid-19. Jangan sampai kebijakan masuk sekolah kembali di tengah pandemi hanya jadi seperti fatamorgana di gurun pasir, terlihat menyenangkan namun ternyata hanya ilusi.

Wallahua’lam.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.