18 Mei 2024

Penulis : Ilmasusi

Dimensi.id-Demokrasi biasa dimaknai sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.  Indahnya makna itu, seakan menjanjikan kemaslahatan bagi rakyat. Sayangnya janji demokrasi hanya sebatas jargon yang tak bisa mewujud nyata. Terwujudnya keterwakilan rakyat dalam alam demokrasi hanyalah isapan jempol semata. Apalagi berharap rakyat sejahtera, sesuatu yang hingga saat ini tak kunjung dapat dibuktikan demokrasi.

Ada kecacatan dari sistem demokrasi ini  yang  merupakan merupakan pangkal dari kekecewaan  dan penderitaan rakyat. Maka, wajar jika J. Kristiadi, Penulis Senior for Strategic of International Studies (CSIS) mengungkapkan bahwa demokrasi cacat sejak lahir. (www.beritasatu.com/nasional/176394).

Dalam sistem demokrasi tidak ada jaminan pada orang-orang yang terpilih dapat mewakili kepentingan pemilihnya. Suatu hal mustahil bahwa ribuan orang terpilih mewakili kepentingan ratusan juta rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam sistem demokrasi kapitalis, justru meniscayakan munculnya sistem politik dinasti. Dimana Penguasa secara real memiliki akses yang luas berkait harta, jaringan dan dukungan  dari partai pengusung, termasuk perusahaan yang menjadi cukong.

Politik dinasti sering terus terjadi dalam atmosfir demokrasi. Dimana  politik jenis ini  tidak  muncul begitu saja, namun berkait erat dengan oligarki politik. Senada dengan pendapat akademisi Universitas Gajah Mada, Kuskrido Ambardi dalam diskusi akhir tahun Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, munculnya politik dinasti dapat memudahkan kartel politik (oligarki politik ) bergerak serta langkah kartelisasi partai lebih mudah tercapai.  (www.rmolbanten.com/read/2019/12/18/13788).

Jelang Pilkada 2020, keluarga istana turut  pertarungan dalam kancah politik. Kondisi ini didukung oleh legalisasi dari pihak Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ketentuan pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah.

Mengacu pada Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Sederet nama dari keluarga istana mulai ramai diperbincangkan karena maju dalam Pilkada 2020. Putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming tahun ini maju sebagai calon Wali Kota Solo yang diusung oleh partai PDI Perjuangan. Gibran maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 bersama Teguh Prakosa.

Menantu Presiden Jokowi, Bobby Afif Nasution juga tak mau ketinggalan kereta politik ini. Meski awalnya ia menepis adanya politik dinasti karena maju dalam pilkada 2020, tapi fakta membuktikan. Tak bisa dipungkiri,  terdapat nilai tawar dengan posisinya sebagai menantu dari pemimpin negeri ini. Partai Golkar dan Partai Nasdem telah merestuinya untuk melangkah maju sebagai calon terkuat di kota Medan.

Masih dari keluarga istana, Putri Ma’ruf Amin, sang wapres yaitu Siti Nur Azizah. Namanya cukup  bergaung suaranya yang digadang-gadang maju dalam Pilkada Tangsel 2020 oleh PKS. Bersanding dengan Ruhama Ben yang merupakan kader PKS. Azizah-Ruhama Ben telah menerima surat keputusan (SK) rekomendasi untuk maju pada Pilkada Tangsel dari Partai Demokrat. SK tersebut diserahkan langsung oleh Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. (https://megapolitan.kompas.com/read/2020/07/23/14515981).

Keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo pun maju sebagai calon wali kota Tangsel diusung PDI-P dan Gerindra. Anak Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah tak mau ketinggalan, Pilar Saga Ichsan resmi mendapat rekomendasi Partai Golkar dan PPP untuk maju sebagai calon wali kota Tangsel 2020. (akurat.co,19/7/2020).

Politik Dinasti dan Bahayanya

Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Indonesian Political Review, Ujang Komarudin menyatakan Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik. Ia menilai pencalonan keluarga Presiden di Pilkada berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Sebab, presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan anaknya, mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain. Dengan posisinya itu, penguasa seakan memiliki kesaktian. Sebuah keniscayaan dalam demokrasi dijumpai politik oligarki yang dibangun Parpol berkuasa juga politik dinasti yang dilakukan individu penguasa. Tentu dengan kesaktiannya, akan mudah bagi penguasa untuk memenangkan proyek politiknya.

Dengan kesaktian, suara terbanyak juga mudah tergenggam. Mudah diraih dengan dana besar, ketenaran, ataupun pengaruh jabatan. Terlebih dalam komunitas masyarakat  dengan angka kemiskinan yang tinggi. Masyarakat  yang haus ada kucuran dana, demi menyambung hidup. Karenanya, politik dinasti adalah buah yang pasti muncul dari sistem demokrasi kapitalis.

Politik Dinasti membawa beberapa bahaya bagi kemaslahatan masyarakat. Pertama, adanya  pengebirian  terhadap peran masyarakat dalam menentukan pemimpin. Hal itu dikarenakan, calon yang maju dalam Pilkada telah dibuat skenario. Pilkada seakan hanya formalitas, sebab pemenangnya sudah bisa ditebak. Mereka adalah orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite penguasa. Jika tidak memiliki hubungan kekeluargaan, calon yang dimenangkan adalah mereka yang memberikan mahar terbesar untuk mendapatkan jabatan.

Bahaya  kedua,  memungkinkan orang yang tidak kompeten menempati posisi kekuasaan, Sebaliknya orang yang kompeten akan tersingkir. Dapat dipastikan pemimpin atau pejabat negara hasil dari politik dinasti berpeluang tidak memiliki kapabilitas menjalankan tugas karena berada di puncak kekuasaan hasil kongkalikong elite penguasa.

Bahaya ketiga adalah peluang terjadinya korupsi. Adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha adalah sebuah keniscayaan lain yang muncul dalam sisitem demokrasi. Terjadi simbiosis untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi. Adanya pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaan modal ini rentan untuk menimbulkan terjadinya korupsi. Bila hendak menyingkirkan politik dinasti, maka terlebih dahulu harus menbuang sumber yang memunculkannya, yaitu demokrasi.

Menyiapkan Pemimpin dalam Islam

Adalah penting bagi Islam untuk memilih pemimpin sesuai syarat yang disyariatkan serta mendapat dukung penuh umat. Bukan dengan penunjukkan yang sifatnya turun menurun, melainkan umat memahami benar pada dirinya terdapat ketakwaan serta kapasitas calon pemimpin dalam menjalankan seluruh perintah syariat. Kepemimpinan ditujukan untuk menegakkan agama dengan melaksanakan syariat Islam dan memenuhi kemaslahatan umat.

Kalifah Umar bin Khattab, terkenal dengan kepemimpinannya yang bersih jujur dan pemberani. Ada beberapa kaidah pokok yang telah diterapkan pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab dalam kandidasi pejabat publik. Kaidah pertama, mendahulukan orang yang berilmu dan menguasai bidangnya dengan baik, diikuti dengan akhlak yang juga baik Yang kedua adanya rasa belas kasihan dan kasih sayang terhadap rakyat.  Yang ketiga yakni tidak mengangkat pejabat publik dari keluarga atau kerabatnya.

Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab karya Dr. Muhammad ash-Shalabi dijelaskan bahwa Khalifah Umar selalu berusaha untuk tidak mengangkat pegawai dari kerabatnya sendiri walaupun dia memiliki kemampuan dan masuk Islam lebih dulu. Karena hal ini semata untuk menghindarkan diri dari KKN yang ujungnya membuka pintu penyalahgunaan wewenang kekuasaan

Sementara itu dalam bukunya al Ahkam al-Sulthaniyyah, Imam al-Mawardy  menjelaskan tentang syarat seorang pemimpin. Di antaranya adalah  memiliki ilmu pengetahuan,  piawai dalam mengatur urusan negara serta berpengetahuan luas tentang agama. 

Sifat adil  (al-Imam Al-Adil) juga menjadi syarat untuk menjaring para kandidat pemimpin. (Dalam kitab al-Mu’aradhah Fi al-Islam, Jabir Qamihah menjelaskan pemimpin adil ialah pemimpin yang bertakwa, menjalankan amanah kepemimpinan. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya,

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Pemimpin bertaqwa adalah pemimpin yang dekat dengan Tuhan, terhindar dari perbuatan dosa. Ia memiliki sifat wara’  atau berhati-hati dan tidak terobsesi mengejar kepentingan dunia.

Kepemimpinan merupakan perkara berat dan berdimensi dunia akhirat. Rasulullah telah mengingatkan umatnya untuk untuk tidak meminta-minta jabatan.

Sebagaimana riwayat dari Abu Musa Al-Asy’ari ra., ia berkata bersama dua orang saudara sepupu, saya mendatangi Nabi Saw. kemudian salah satu di antara keduanya berkata,

“Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan terhadapmu.”

Dan yang lain juga berkata begitu. Lalu beliau bersabda,

 “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena memintanya, atau berambisi dengan jabatan itu.”

Standar dan  kaidah-kaidah  seperti inilah yang diterapkan dalam menyiapkan pemimpin dan kepemimpinan Islam. Di mana akan terlahir para penguasa amanah yang mempunyai kepekaan, kepedulian, kapabilitas, dan sayang kepada rakyatnya seperti yang telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khathab. Maka, semua itu hanyalah bisa terwujud ketika Islam diterapkan dalam  bernegara. Wallahu a’lam bish shawab

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.