3 Mei 2024

Penulis : Ummu Mustanir | Aktivis Dakwah

Dimensi.id-Ditengah pandemi yang tak kunjung usai dan lesunya perekonomian nasional, pemerintah berupaya mencari sumber pendapatan baru untuk memperkuat perekonomian nasional selain pajak dan utang. Dana wakaf masyarakat pun mulai dilirik. Pasalnya  kesadaran masyarkat terhadap instrumen wakaf tengah meningkat sehingga bisa dijadikan sumber keuangan baru untuk memenuhi pembiayaan dari dalam negeri.

Sri Mulyani mendasarkan hal ini dari realisasi pengumpulan dana instrumen wakaf kalangan menengah Indonesia tahun ini senilai Rp217 triliun, atau setara 3,4 persen total Produk Domestik Bruto (PDB) (CNN Indonesia). Nilai ini diperkirakan akan terus meningkat, mengingat  Indonesia memiliki penduduk muslim mencapai 87 persen dari total populasi 267 juta orang.

Untuk itulah pemerintah tengah memperkuat ekosistem dan sinergi pengembangan dana wakaf di Tanah Air supaya menarik minat masyarakat mewakafkan dananya. Berbagai cara dilakukan, seperti mempersiapkan instrumen Cash Waqf Linked Sukuk (dana abadi wakaf tunai), hingga inisiasi Gerakan Nasional Wakaf Tunai (GNWT) yang dipelopori Wakil Presiden Ma’ruf Amin (Liputan6.com). Pengelolaan instrumen wakaf baru ini akan dilakukan dengan transparan dan ditempatkan ke proyek sosial yang berdampak luas ke masyarakat. Salah satunya, hasil pengelolaan wakaf tunai terintegrasi sukuk digunakan untuk membangun layanan Retina Center di RS Achmad Wardi Banten. Dana wakaf ini juga nantinya bisa menjadi beasiswa untuk siswa dhuafa, pembangunan klinik, bantuan modal UMKM kepada peternak, hingga beasiswa untuk anak-anak yang kesulitan pendengaran dengan alat bantu dan sebagainya. Selain itu dana wakaf ini juga bisa diinventasikan dan dikembangkan jangka panjang.

Wajar saja kalau pemerintah sangat tertarik dengan dana umat Islam ini. Karena nilainya lumayan fantastis. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap pemerintah terhadap syariat Islam. Ajaran Islam tentang khilafah dan jihad dijadikan sebagai bagian dari sejarah saja. Padahal khilafah dan jihad termasuk ke dalam bagian dari fikih Islam. Hal ini mengaburkan makna yang sebenarnya dari khilafah dan jihad itu sendiri. Cadar dan celana cingkrang dipermasalahkan. Begitu pun para pengemban dakwah yang memperjuangkan syariat islam dikriminalisasi. Seperti Habib Rizieq, Gus Nur, Despianoor, Ali Baharsyah serta yang lainnya. Padahal mereka hanya berdakwah menyampaikan ajaran Islam. Ini hanya menegaskan bahwa rezim kapitalis hanya berkepentingan mengeksploitasi dana umat Islam, sedangkan aspirasi umat untuk pemberlakuan syariat justru dikriminalisasi.

Sekilas nampaknya pengelolaan dana wakaf ini akan memberikan keuntungan kepada masyarakat. Padahal hal ini menggambarkan bahwa pemerintah secara tidak langsung berlepas diri dari mengurusi rakyatnya. Karena sejatinya rakyat sendiri lah yang membiayainya karena itu dana dari masyarkat. Memang hal ini tidak salah. Hanya saja mana peran pemerintah yang katanya bertugas sebagai pelayan rakyat, harusnya lebih bisa memegang peranan yang besar dari pada hanya sekedar menjadi kaki tangan pengelola dana wakaf.  Padahal setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya. Sebagaimana hadist Nabi Muhammad saw yang artinya, “Imam (kepala negara adalah pengurus rakyat. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR Muslim).

Pemerintah juga tampaknya kebingungan mencari sumber pemasukan negara. Sistem kapitalisme yang dianut negeri ini bukan hanya menyebabkan rakyat sulit mencari pekerjaan tapi juga menyulitkan negara mencari sumber pemasukan. Selama ini sumber pemasukan negara berasal dari pajak dan utang. Sumber daya alam yang melimpah ruah ini bukan negara yang mengelola. Sistem ekonomi kaitalisme memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada individu yang memiliki modal besar untuk mengelola sumber daya alam. Tidak adanya pembagian kepemilikan yang jelas dalam sistem kapitalisme menjadikan individu boleh mengelola sumber daya alam sebanyak-banyaknya.

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam dibangun atas dasar 3 pilar:

  1. Kepemilikan
  2. Pemanfaatan kepemilikan
  3. Distribusi kekekayaan di tengah manusia

Kepemilikan menurut syara adalah izin dari asy-syari’ untuk memnfaatkan suatu al-‘ain (dzat). Kepemilikan individu  adalah izin asy-syari’ kepada individu berupa otoritas atas kekayaan melalui mekanisme tertentu sehingga kepemilikannya menjadi hak individu yang ditetapkan syariat (baik hak atas zat maupun kegunaannya). Kepemilikan individu itu diperoleh dari bekerja, waris, keperluan mendesak, pemberian negara, hadiah, hibah, sedekah.

Kepemilikan umum adalah izin asy-syari’ kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan barang/benda. Benda-benda yang masuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang dinyatakan Asy-syari’ diperuntukkan bagi masyarakat dan mereka saling membutuhkan. Benda-benda yang termasuk kepemilikan umum ini tidak boleh dimiliki/ dikuasai individu. Benda-benda yang menjadi kepemilikan umum ini dibagi menjadi tiga  Yaitu

1.    Barang kebutuhan vital masyarakat misal air, hutan, listrik, sumber daya energi (minyak bumi, gas, batu bara dan lain-lain)

2.    Barang tambang yang besar/ melimpah seperti tambang emas, perak, timah, tembaga,nikel dan lain-lain

3.    Sumber daya alam seperti sungai, danau, pantai, laut, jalan, dan lain-lain

Kepemilikan negara adalah harta yang menjadi hak seluru kaum muslim, sementara pengelolaannya menjadi wewenang khilafah. Kepemilikan negara berupa jizyah, ghanimah, fa’i, kharaj, ‘usyur, khumus (seperlima) rikaz.

Dari pembagian kepemilikan tersebut jelaslah sumber daya alam, barang tambang yang melimpah ruah di negara ini milik umum. Yang berhak mengelolanya adalah negara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Kalau dilihat pendapatan negara diperoleh dari bagian fai, bagian kepemilikan umum, bagian sadqah. Jadi dengan sistem ekonomi islam, negara mempunyai banyak sumber pemasukan untuk membiayai belanja negara dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Negara juga tidak perlu membebani rakyatnya dengan pajak dan utang. Dengan banyaknya sumber pemasukan negara, wajar saja pada masa kekhilafahan, kebutuhan dasar masyarakat seperti kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, keamanan dan lainnya dapat terpenuhi dengan baik bahkan disediakan gratis oleh khilafah. Hal ini bisa kita telusuri di kisah-kisah para Khalifah. Contoh praktisnya pada masa Khalifah Al Muntahsir billah. Beliau pernah mendirikan madrasah Al-Muntashiriah di Baghdad. Setiap siswanya menerima beasiswa emas seharga satu dinar (4,25 gr emas). Kehidupan siswanya juga ditanggung. Selain itu sekolahnya benar-benar difasilitasi dengan sebaik-baiknya. Sehingga fasilitas sekolah lengkap dan bisa menunjang siswa untuk mendapatkan pelajaran dengan lebih baik lagi.

Melihat kondisi saat ini, jelaslah bahwa sistem kapitalisme yang dianut rezim ini tidak bisa memberikan solusi yang bisa menyelesaikan segala permasalahan di negara ini secara tuntas. Hanya sistem Islamlah yang mampu menuntaskan segala persoalan yang dialami negeri ini. Dengan sistem ekonomi Islam akan mampu menjadikan negara ini memiliki kemandirian ekonomi. Hanya saja utuk menjadi Kekuatan sistem ekonomi Islam ini tidak berdiri sendiri. Tapi ditopang dengan sistem politik islam dibawah sistem pemerintahan islam yaitu Khilafah Islamiyah.

Wallahu a’lam bish-shawabi.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.