3 Mei 2024

Penulis : Reni Rosmawati, Ibu Rumah Tangga, Pegiat Literasi AMK

Dimensi.id-“Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan Ruwaibidhah turut bicara.” Lalu beliau ditanya, “Apakah al-ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab,”Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum.”(HR Ibnu Majah)

Menjelang Pilkada 2020, kaum selebritis banjir pinangan parpol untuk maju di medan pilkada. Ketenaran dan  popularitas menjadi modal dasar mendulang suara di tengah kejenuhan sistem oligarki.

Sebagaimana dilansir oleh laman GalamediaNews.com, (5/8/2020), sejumlah partai politik berlomba-lomba menggaet figur dari kalangan selebritas untuk mendongkrak perolehan suara pada semua segmentasi pemilih, demi meraih kemenangan dalam pesta demokrasi.

Pengamat Komunikasi Politik Unikom Bandung yang juga Direktur Eksekutif Lingkar Kajian Komunikasi dan Politik (LKKP), Adiyana Slamet menuturkan, partai politik yang mengusung figur dari kalangan selebritas mempunyai modal dasar sebagai awal untuk meraih kemenangan.

Dalam persaingan partai politik, kontestan harus mampu menempatkan produk politik dan image politik dalam benak masyarakat. Maka dari itu, diperlukan figur selebritas untuk memenangi kontestasi tersebut, tak terkecuali di Pilkada Kabupaten Bandung 2020.

Ia menuturkan, pelaksanaan Pilkada langsung secara serentak ini menunjukan bahwa Kabupaten Bandung tengah memasuki babak baru menuju good governance dan clean government. Karena ada faktor dimana kalangan selebritas diyakini bisa meruntuhkan kekuasaan yang telah lama dikuasai. Terlebih ada indikasi dari jenuhnya masyarakat dengan sistem oligarki, di Kabupaten Bandung. Selain itu, partai politik juga berlomba untuk memenangkan Pilgub pada 2023 dan Pilpres serta Pileg 2024. Sehingga, kata dia, kepopularitasan selebritas memang digadang-gadang menjadi senjata utama partai politik.

Menurutnya, jika dilihat dari sisi positifnya maka selebritis yang memiliki modal dasar memang berimplikasi kepada voters (pemilih). Sebab, dengan strategi repositioning (mengubah persepsi) politik, maka daerah dimana voters-nya lemah bagi pasangannya bisa diambil alih sang selebritis hanya dengan embel-embel keartisannya, yang tentu saja tingkat kepopularitasannya cukup tinggi. Terlebih, di dalam sistem demokrasi elektoral, selebritis memungkinkan bisa merepositioning politik kandidat pasangannya.

Kendati demikian, kata Adiyana, dalam strategi demokrasi elektoral, kepopularitasan tinggi bukan menjadi penentu. Karena di demokrasi elektoral ada aturan mainnya. Popularitas bukan hal yang mutlak. Harus diimbangi kapasitas di diri si artis. Baik kapasitas pendidikan politiknya, kredibilitas, elektabilitas dan aksesibilitasnya. Itulah sebabnya, Parpol harus betul-betul jeli melihat potensi kapasitas dan kredibilitas sang selebritas agar betul-betul meningkatkan elektabilitas kandidat pasangan calon. Pungkasnya.

Panggung politik Indonesia tidak pernah sepi dari hingar-bingar dinamika yang menyertainya. Politik selebriti kian ramai diperbincangkan dan kerap kali menjadi menu hangat yang tak ada habis-habisnya dalam pemberitaan media massa. Baik cetak maupun elektronik. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum ketika musim Pilkada tiba, parpol gaet artis menjadi caleg sebagai senjata untuk mendongkrak elektabilitas.  

Kehadiran artis dalam dunia politik mengundang decak kagum dan banyak pihak yang berharap kepada kalangan ini. Tapi, tidak sedikit juga yang menentang, pesimis dan menyangsikan kemampuan mereka. Apakah mampu membawa nafas baru bagi dunia perpolitikan ataukah tidak. Mengingat, profesi artis dan politikus itu demikian berbeda. 

Tak bisa dipungkiri, keberadaan artis di tubuh Parpol, adalah salah satu cara untuk meraup banyak keuntungan bagi Parpol yang menaunginya. Dengan modal popularitas serta finansial yang cukup memadai, hadirnya artis bak angin segar bagi partai politik, mereka pun tidak perlu susah-susah mengeluarkan modal banyak untuk mengusung calon.

Sayangnya, meski berpotensi mendongkrak suara partai, fenomena caleg artis setidaknya menunjukan kelemahan Parpol dalam menghasilkan kader-kader yang dikenal. Terkesan tidak percaya diri bahkan malas mengusung kadernya sendiri, sehingga caleg artis menjadi cara instan meraih suara dan kursi kekuasaan. Perekrutan caleg pun tak mengenal kualitas pribadi yang penting terkenal sana sini. Sungguh ironis, mereka tidak sadar bahwa pelan tapi pasti idealisme partai sedang tergadaikan. Pasalnya, artis yang direkrut untuk maju menjadi calon hanyalah mengandalkan popularitas semata, kebanyakan mereka buta dan awam akan pengetahuan dan pengalaman politik. Padahal jamak diketahui bahwa dunia politik penuh teka-teki yang teramat kompleks.

Sejatinya, untuk memasuki ranah politik tidaklah cukup hanya dengan menjual popularitas semata. Yang dibutuhkan adalah orang-orang yang kapabel; cakap dalam berpolitik dan memiliki kemampuan untuk mengemban amanah mengurusi rakyat.

Apabila ditelaah secara mendalam, praktik asal pilih kandidat termasuk dari kalangan selebritis untuk menjadi caleg, justru akan menimbulkan efek yang sangat berbahaya serta hanya akan melanggengkan kaum ruwaibidhah menghancurkan tatanan kehidupan umat dalam segala aspek. Roda kualitas pemerintahan dipertaruhkan dan terancam kacau balau, sebab dijalankan oleh orang-orang yang minim pengetahuan dan pengalaman.

Fenomena masifnya partai politik meminang artis untuk maju ke Pilkada meski minim  pengalaman dan buta politik, semakin menunjukkan wajah bobrok sistem kapitalis-sekuler yang sudah sejak lama diemban negeri ini. Semua aktivitas politik praktis dalam sistem ini berada dalam pusaran kepentingan/kemanfaatkan.

Dalam sistem kapitalis-sekuler yang mengusung paham liberal, bukan hal yang asing jika demi meraih kursi politik, berbagai cara dilakukan parpol agar suara umat bisa mengantarkan kandidatnya meraih kekuasaan. Jalan politik pun dijadikan ajang meraup keuntungan materi dibanding sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang kian terpuruk. Lebih parahnya, buruknya sistem kufur ini berbanding lurus dengan output sosok pemimpin saat sudah duduk di pemerintahan. kekuasaan diraih, kekayaan berlimpah, status sosial melambung, rakyat dihempaskan

Tidak demikian dengan Islam. Sebagai agama sempurna, Islam memiliki seperangkat peraturan untuk mengatasi seluruh problematika kehidupan, termasuk dalam berpolitik dan memilih pemimpin.

Politik dalam Islam memiliki hakikat yang demikian mulia. Secara lughah (bahasa) politik (siyasah) berasal dari kata sasa, yasusu, siyasatan yang berarti pemeliharaan/pengurusan. Adapun secara Istilah/syara siyasah adalah ri’ayahasy-syu’unalummahdakhiliyyanwa  kharijiyyan (mengatur/memelihara urusan umat di dalam dan di luar negeri).

Karena untuk mengatur urusan umat, maka Islam memandang praktik politik dan memilih pemimpin sebagai perkara yang berat. Itulah sebabnya, Islam dan syariatnya memiliki cara tersendiri bagaimana berpolitik dan memilih pemimpin; baik sebagai kepala negara maupun kepala daerah. Orang-orang yang terjun ke panggung politik Islam, harus bersih (tidak serakah akan duniawi), paham syariat agama serta betul-betul memahami apa itu politik dalam arti yang sebenarnya. Sebab, aktivitas berpolitik dalam Islam bukanlah sekedar bermain peran, bukan pula ajang menunjukkan eksistensi diri atau coba-coba. Tetapi politik itu untuk mengatur berbagai urusan. Bahkan, bagi umat Islam politik adalah sarana untuk menerapkan syariat Islam.

Uniknya, dalam proses pelaksanaannya, politik dalam Islam tidak berbiaya mahal. Hal ini karena setiap memilih pemimpin baik wali (gubernur) atau ‘amil (penguasa setingkat kabupaten/kota) diangkat dan dipilih  langsung oleh khalifah, tidak dipilih oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung. Meski demikian, rakyatlah yang menentukan keberlanjutan jabatan wali dan ‘amil  itu. Jika rakyat, baik secara langsung ataupun melalui wakilnya menunjukkan ketidak sukaan terhadap wali dan ‘amil serta meminta diganti, maka khalifah akan segera menggantinya. Dengan mekanisme demikian, maka partai politik tidak perlu repot-repot menggaet kandidat yang hanya mengandalkan popularitas untuk mendongkrak suara.

Selain itu, pelaku politik dalam Islam pun tidak memanfaatkan aktivitas politik sebagai jalan untuk berebut kursi kekuasaan dan mempertebal kantong pribadi. Yang demikian karena mereka sadar betul bahwa kepemimpinan adalah amanah besar yang akan dimintai pertangungjawaban di hadapan Allah Swt. kelak.

Rasulullah saw. bersabda:

“Setiap pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Berbekal hadits inilah pemimpin gemblengan Islam mampu menempatkan posisinya sebagai pelayan/penggembala bukan bos/majikan. Mereka pun akan benar-benar berlaku adil, mengurusi, dan mencintai rakyat dengan sepenuh hati. Bukan demi seonggok materi.

Demikianlah, betapa sempurnanya Islam dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Termasuk dalam berpolitik dan memilih figur pemimpin. Dalam Islam pemimpin bukan hanya soal figur terkenal, tapi ia harus sosok yang memahami bagaimana Islam mengatur urusan dan memenuhi kebutuhan rakyat dengan landasan syariat, bukan yang lain. Sehingga output-nya terwujud sosok pemimpin amanah, adil dan cinta rakyat di atas landasan akidah Islamiyah.

Namun, semua itu hanya bisa terwujud jika kita menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi kita semua untuk kembali kepada Islam beserta aturannya. Dan sudah saatnya kita mencampakkan sistem kapitalis-sekuler biang segala kerusakan dan kehancuran.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.