7 Mei 2024

Penulis : Retno Hanifah (Pengasuh MT Mutiara Umat Batam)

Buruk muka cermin dibelah. Begitulah peribahasa yang menggambarkan tentang keadaan seseorang yang buruk tapi menyalahkan orang atau kelompok lain. Padahal kondisi buruk itu karena kesalahannya sendiri.

Dilansir dari Republika.co.id, 20/05/2020,  Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) mewaspadai aksi teror yang dilakukan kelompok radikal dengan memanfaatkan situasi pandemi Covid-19. Deputi IV Bidang Pertahanan Negara Kemenko Polhukam Mayjen TNI Rudianto saat Diskusi Publik Virtual, bertema “Menjaga Stabilitas Keamanan Nasional di Tengah Covid-19”, yang digelar Majelis Nasional KAHMI, di Jakarta, pada Rabu (20/5), menyatakan bahwa dalam situasi nasional seperti ini, masih ada yang menyuarakan khilafah, radikal dan teror. Bahkan melakukan konsolidasi dan menyiapkan amaliyah-amaliyah di tengah pandemi ini.

Jika dilihat dari redaksionalnya, pernyataan ini terlihat tendensius terhadap dakwah Islam yang menyerukan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Bagi seorang muslim setiap pendapatnya memang harus disandarkan pada aturan-aturan Islam.

Maka tidak ada yang salah ketika menyatakan bahwa Khilafah adalah solusi dalam mengatasi pandemi. Kewajiban pengangkatan khalifah sudah sering dibahas dalam berbagai diskusi lisan dan tulisan. Salah satu dalilnya adalah bagaimana para sahabat bersegera untuk mencari dan mengangkat pemimpin pengganti Rasulullah SAW setelah Rasulullah SAW wafat. Meskipun harus menunda pemakaman jenazah Rasulullah SAW.

Banyaknya opini tentang cara khilafah dalam mengatasi wabah juga tidak lepas dari realita sigapnya khalifah dalam mengatasi wabah. Semuanya tidak sekedar disandarkan pada kecerdasan manusia, tapi juga disandarkan pada perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.

Salah satu yang sangat popular adalah yang dilakukan Amirul Mukminin Umar Bin Khaththab dalam penanganan bencana kekeringan yang melanda Madinah pada tahun 18 Hijriyah dan wabah Thaun Amwas yang menyerang Syam. Wabah ini sampai menewaskan sekitar 30.000 orang.

Dalam Islam, keselamatan satu orang sangat diperhatikan. Rasulullah SAW bersabda,  “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan al-Albani). Sehingga pengambilan keputusan penanganan wabah sangat hati-hati.

Kondisi yang dilakukan saat Khilafah ada sangat berbeda jauh dengan kondisi saat ini. Bagaimana tidak? Dari awal merebaknya COVID-19 di Wuhan ini, dijadikan guyonan oleh pejabat terkait. Hingga akhirnya negeri ini kecolongan dengan ditemukannya 2 penderita positif, awal Maret lalu.

Semakin lama, jumlah penderita semakin banyak. Ketika negara lain memberlakukan lockdown atau karantina wilayah, negeri ini masih santai saja. Bahkan ada pejabat yang mengatakan, yang mati kan tidak sampai 500 orang dari 270 juta penduduk Indonesia, pertengahan April lalu.

Akhirnya, kebijakan yang diambil hanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), karena untuk karantina wilayah merasa tidak punya biaya utk menanggung kebutuhan rakyat.

Tapi anehnya pembangunan calon ibu kota baru yang entah bermanfaat untuk siapa, jalan terus. Tenaga Kerja Asing bahkan masih mudah masuk ke wilayah Indonesia, meski berasal dari China. Padahal, WNI yang baru pulang dari China saja, saat itu harus dikarantina di Natuna.

Kemudian untuk membantu masyarakat terdampak COVID-19, dibuatlah program bantuan sosial, namun ternyata bermasalah di pendataan penduduk. Yang mampu mendapat bantuan, yang mendadak tidak mampu, terlewatkan. Meskipun kalau di Jakarta ada usaha untuk memperbaiki data.

Setelah itu, ada lagi program kartu prakerja. Dana yang digelontorkan tak tanggung-tanggung 5,6 T. Namun, yang diuntungkan adalah penyelenggara pelatihan, yaitu Ruang Guru. Bukan rakyat. Karena konten pelatihan yang diajarkan ternyata bisa diunduh gratis di youtube dan dijual dengan harga mahal dalam program kartu prakerja.

Jika diceritakan, carut marut penanganan COVID-19 ini luar biasa. Sampai yang terakhir masyatakat mulai muak, mall dibuka, masjid harus ditutup. Bahkan BPIP dan lembaga negara lainnya membuat konser amal yang tidak menunjukkan social distancing.

Akhirnya beredar di grup-grup WA seruan untuk kembali ke masjid. Masyarakat cenderung disalahkan karena melanggar aturan PSBB atau social distancing karena ada keperluan di luar rumah. Sementara negara tak memberikan jaminan apa-apa ketika mereka diam di rumah.

Maka, daripada sibuk mencari kambing hitam dalam pandemi ini, sebaiknya pemerintah mengevaluasi diri. Tindakan yang dilakukan benar-benar untuk kepentingan rakyat atau tidak? Jika hanya “sekedar” untuk terlihat mengurusi urusan rakyat, betapa tidak bergunanya aktivitas itu.

Betapa harus direnungkan sabda Rasulullah SAW, “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”. (HR al-Bukhari)

Dalam hadis tersebut jelas bahwa para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.

Rasulullah SAW juga bersabda, “Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad)

Jadi, jika membuat kesalahan sendiri, jangan lempar tuduhan pada yang lain. Jika buruk muka, cermin jangan dibelah.[S]

Editor : azkabaik

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.