14 Mei 2024

Beberapa hari yang lalu tepatnya pada Kamis (4/3/2021) dalam pembukaan rapat kerja nasional Kementerian Perdagangan 2021 di Istana Negara, pernyataan Presiden Joko Widodo terkait kampanye cinta produk indonesia dan benci produk luar negeri menjadi perbincangan hangat dikalangan bebrapa pihak sekaligus menjadi berita kontroversial.

Dilansir dari Kompas.com, Jumat (5/3/2021) “Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk dari luar negeri. Sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal sekali lagi untuk produk-produk Indonesia,” ujarnya seperti diberitakan. Sempat menjadi trending topic dengan #benci yang dibagikan warga net lebih dari 28.600 tweet hingga jumat siang. Keriuhan yang terjadi di media sosial, tidak lepas dari liputan media asing yang turut memberitakan tentang Jokowi yang menggaungkan benci produk asing.

Prihatin terhadap perkembangan produk-produk lokal melalui pemberdayaan UMKM yang jauh tertinggal dalam pencapaian dan harapan melatarbelakangi munculnya ungkapan kontroversial tersebut. Menanggapi hal ini, meskipun banyak yang setuju dengan ajakan membenci produk asing, di lain sisi juga banyak yang menyimpulkan ini sebagai sikap paradoks pemerintah, masyarakat masih bertanya-tanya ketidakseimbangan antara ajakan tersebut dengan fakta yang meliputi tertinggalnya dunia bisnis UMKM.

Diungkapkan oleh Direktur Eksekutif  Parameter Politik, Adi Prayitno yang menilai pernyataan Presiden Joko Widodo terkait ajakan untuk membenci produk asing sebagai bentuk kegalauan pemerintah, sekaligus menunjukkan sikap paradoks. Sebab, saat ini hampir semua sektor melakukan impor. Sedangkan banyak sektor yang bisa di kapitalisasi oleh negara. Dikutip dari laman CNNIndoensia.com “Ini yang saya kira membuat pemerintah lagi pening, lagi pusing, sehingga harus mengeluarkan (pernyataan) semacam itu,” kata Adi saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (4/3).

Mendengar kata kontroversi diawal pembahasan seolah menjadi sesuatu yang lazim terjadi. Antara pemimpin dan pernyataannya yang kontroversial akan segera di klarifikasi pejabat yang diberi tanggung jawab setelahnya. Sebagaimana dikatakan oleh Guru Besar Komunikasi Politik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Karim Suryadi, panduan etis komunikasi pejabat publik tidak pernah berubah dan menjadi gaya pemerintahan saat ini.  Beginilah tabiat asli kepemimpinan para pelaku demokrasi, seolah mengayomi padahal sejatinya hanya lipservice saja.

Seruan untuk membenci produk luar negeri, tak ubahnya juga merupakan  retorika politik memikat hati rakyat setelah banyaknya kegagalan pemerintah dalam menjalankan setiap kebijakan yang diperparah selama pandemi covid-19 melanda hingga saat ini.

Membenci produk luar negeri bukanlah jalan yang tepat dalam hal ini, dikarenakan pemerintah sendiri masih membuka keran impor sejumlah komoditas yang sejatinya bisa diproduksi dalam negeri. Ditambah dengan beda perlakuan untuk industri dalam negeri yang seolah tak mendapat dukungan dan perlindungan.

Dilansir dari laman CNN.com, dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2021 yang membahas terkait upaya pemerintah untuk mengimpor 1 juta-1,5 juta ton beras dalam waktu dekat ini. Alasan dilakukannya impor ini oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto adalah untuk menjaga ketersediaannya di dalam negeri supaya harganya tetap terkendali. Selain beras, pemerintah juga akan menjaga ketersediaan daging dan gula melalui kegiatan impor, Kamis (4/3).

Hal itu dilakukan untuk persiapan lebaran 2021. Pemerintah memutuskan akan mengimpor 80 ribu ton daging kerbau dari India, 20 ribu ton daging sapi dari Brasil, dan 150 ton gula kristal. Bagi pemerintah, impor adalah solusi yang tepat saat persedian pangan menipis. Orientasi perekonomian yang jatuh dalam sistem pasar bebas dan perdagangan bebas (liberalisasi pertanian) menjadikan produk impor semakin menyudutkan dan menguasai pertanian Indonesia.

Efeknya justru lebih menguntungkan para importir atas dasar mekanisme pasar dan merugikan bahkan memiskinkan petani-petani Indonesia akibat kurangnya dukungan kebijakan dari pemerintah. Diperparah dengan terikatnya negara pada World Trade Organization (WTO), menjadikan Indonesia tidak ada pilihan selain tunduk pada ketentuan perdagangan bebas tersebut.  Beginilah penampakan dari kebijakan instan dalam sistem ekonomi liberal kapitalisme. Masihkah kita berharap dengan sistem ini?

Lalu adakah cara untuk terbebas dari sistem yang banyak merugikan dan merampas kesejahteraan ummat ini? Jawabannya tentu dengan menerapkan syariah Islam kaffah dalam bingkai daulah khilafah. Mengutip dari laman Muslimahnews.com, Khilafah memiliki sejumlah mekanisme dalam mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung pada negara lain :

Pertama, mengoptimalkan kualitas produk pangan melalui usaha menghidupkan tanah mati serta peningkatan kualitas bibit, pupuk dan alat-alat produksi dan teknologi terkini.

Kedua, mekanisme pasar yang sehat. Dimana negara akan melarang penimbunan, penipuan, praktik riba dan monopoli.

Ketiga, manajemen logistik. Negara akan memasok cadangan lebih saat panen raya dan pendistribusian secara selektif bila ketersediaan pangan berkurang.

Keempat, negara mengatur kebijakan ekspor impor yang merupakan bentuk perdagangan luar negeri. Ekspor dilakukan jika kebutuhan pokok rakyat sepenuhnya telah terpenuhi sedangkan impor lebih menekankan pada pelaku perdagangan bukan pada barang yang diperdagangkan.

Kelima, prediksi cuaca menjadi penentu dan pengaruh dalam produksi pangan negeri. Sehingga, kajian mendalam tentang perubahan cuaca akan dilakukan yang disokong oleh fasilitas dan teknologi mutakhir.

Keenam, mitigasi kerawanan pangan. Negara menetapkan kebijakan antisipasi jika bencana kekeringan atau bencana alam lainnya.

Kurang lebih seperti inilah langkah strategis negara khilafah dalam menjamin sehatnya persaingan usaha, memberi dukungan segala bentuk terhadap pengembangan produk dalam negeri, menolak tekanan global perdagangan bebas dan menetapkan regulasi impor agar tidak menjadi jalan menguasai muslim.

Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, selama kurang lebih 14 abad penerapan syariah Islam dalam bernegara dan jangkauannya seluas 2/3 bagian dunia menjadi rekor yang tidak terbantahkan untuk suatu peradaban yang menjamin kesejahteraan seluruh manusia tanpa memandang agama, ras, warna kulit sebagaimana yang dicemaskan kaum liberal hari ini. Dimana prinsip yang di jaga dalam upaya menerapkan khilafah adalah menyebarkan rahmatan lil’alamin bukan yang lain. WalLahu a’lam bi ash-shawab.  

Penulis: Yulinar | Aktivis Kampus Makasar

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.