9 Mei 2024

Dimensi.id-Berjalan sampai ke batas, berlayar sampai ke pulau. Namun ternyata usaha pemerintah dalam menangani kondisi pandemik covid-19 yaitu dengan melakukan  penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa paket sembako untuk rakyat yang terdampak malah tidak disambut hangat oleh publik. Bansos ini berupa paket sembako senilai Rp600 ribu kepada warga tak mampu di Jabodetabek. Sementara, keluarga di luar Jabodetabek akan mendapat Bantuan Langsung Tunai senilai Rp600.000.

Tetapi penyaluran bansos malah mengalami keterlambatan, hal ini langsung diakui oleh Menteri Sosial (Mensos) Julia Batubara beliau mengatakan penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa paket sembako untuk warga terdampak virus Corona (Covid-19) sempat tersendat. Hal itu dikarenakan harus menunggu tas pembungkus untuk mengemas paket sembako. Akibat dari pembukus alias tas tersebut belum tersedia karena produsen mengalami kesulitan import bahan baku.

“Awalnya iya (sempat tersendat) karena ternyata pemasok-pemasok sebelumnya kesulitan bahan baku yang harus import,” Merdeka.com, Rabu (29/4).

Namun tak disangka program bansos ini malah digunakan sebagai ajang trik kampanye dalam politik. Seperti yang dilakukan Sri Mulyani Bupati Klaten. Terdapat foto dia di berbagai paket bantuan sosial mulai dari beras, masker, hingga buku tulis untuk siswa diwarnai wajah salah satu politikus PDIP tersebut.

Kejadian politisasi bansos tak hanya terjadi di Klaten. Publik juga mengkritisi surat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang diselipkan dalam bantuan sosial untuk warga Jakarta. Dalam 1,2 juta paket sembako yang dibagikan di Ibu Kota, terdapat surat berisi pesan Anies Baswedan kepada warga. Dalam surat itu, Anies berharap bantuan sosial tersebut dapat meringankan beban warganya. Ia juga mengajak masyarakat bersama menghadapi krisis corona ini.

Tak hanya di tingkat daerah, politisasi bansos juga terjadi di tingkat nasional. Publik mempermasalahkan bantuan sosial yang digelontorkan pemerintahan Joko Widodo dengan nama Bantuan Presiden RI.

Tas untuk mengemas paket sembako itu berwarna merah putih dan bertuliskan ‘Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19’. Di tas itu juga terdapat logo Presiden Republik Indonesia dan Kementerian Sosial serta cara-cara agar terhindar dari virus corona.

Nama bansos itu dinilai seolah-olah bantuan dikeluarkan langsung oleh Jokowi. Padahal sumber dana bantuan sosial berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipungut dari uang rakyat.

Kunto Adi Wibowo, Direktur Eksekuti Lembaga Survei KedaiKopi berpendapat kultur politisasi bansos sudah terjadi sejak lama di dunia politik. Di Indonesia, praktik ini marak dilakukan setidaknya sejak pemerintahan SBY meluncurkan bantuan langsung tunai (BLT)

Kunto mengatakan politisasi bansos merupakan salah satu trik kampanye dalam politik. Eropa lebih mengenalnya dengan istilah pork barrel atau gentong babi.

“Istilahnya pork barrel, tong yang isinya daging babi dulu di Eropa. Jadi memberikan supply makanan kepada konstituennya, bahkan jauh hari sebelum pemilu. Tujuannya membangun favorability, kesukaan terhadap dia,” tutur Kunto kepada CNNIndonesia.com, Rabu (29/4).

Trik ini serupa dengan serangan fajar jelang pemilu, tetapi perbedaannya pork barrel berbalut kewenangan pemerintah mengelola anggaran bantuan sosial. Sehingga tidak menutup kemungkinan cara ini dilakukan oleh kepala daerah atau kepala negara baik yang sedang berkompetisi maupun tidak akan lagi.

Hal ini guna mempertahankan approval rate, untuk mempertahankan dukungan warga terhadap kepemimpinan. nalis Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai politisasi bansos bertentangan dengan asas tata kelola pemerintahan yang baik karena mengabaikan transparansi.

Dia berpendapat, pencitraan lewat bansos dilakukan karena pemerintah tidak transparan, sehingga seolah-olah bantuan itu diberikan langsung oleh sang kepala daerah atau kepala negara.

Dan yang sangat mengenaskan setelah program bansos ini dijadikan ajang tunjuk citra pemimpin kepada warga, ada agenda lain yang dipraktikan pemimpin tingkat bawah yaitu RT melakukan sunat Bansos dengan alasan data pemkot tidak akurat. Praktik ini terjadi di Kota Depok. Ketua DKR Kota Depok, Roy Pangharapan berujar, sejumlah ketua RT akhirnya memotong sebagian nominal bantuan sosial untuk dihimpun dan diberikan kepada warganya yang “lebih” berhak.

“Akibat dari pembagian bantuan sosial yang tidak merata, sejumlah ketua RT melakukan terobosan dengan memotong jumlah bantuan sosial,” ujar Roy kepada Kompas.com melalui keterangan tertulis, Senin (20/4/2020).

Meski demikian, terobosan yang notabene inisiatif para ketua RT tak serta-merta disambut positif. Langkah itu juga rentan dicurigai sebagai aksi para ketua RT untuk menguntungkan diri sendiri.

Maka sudah sangat jelas bahwa politisasi bansos di tengah krisis tidak akan memberikan dampak positif kembali, dan akan berdampak buruk bagi pengambilan kebijakan karena semua tidak dituju sepenuhnya untuk kepentingan rakyat dan adanya selalu usaha menyelipkan keuntungan pribadi.

Semua ini hanya akan memunculkan kesan publik yang menilai sebagai kontraproduktif dan menurunkan citra yang ditandai dengan ketidakpekaan terhadap kondisi publik. Sehingga berujung melukai hati publik.

Begitu banyak drama “kepentingan sendiri” yang dilakukan pemerintah menjadikan keadaan rakyat sebagai taruhannya. Tak heran banyak terjadi kelaparan salah satunya di daerah Tolitoli, Sulawesi Tengah dimana satu keluarga lemas karena kelaparan di tengah kebun karena sang kepala keluarga kehilangan pekerjaan.

Sudah menjadi rahasia umum, banyak orang yang kehilangan pekerjaan akibat keadaan wabah covid-19 membuat angka peningkatan pengangguran sulit direm. Sekadar catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (5/5/2020) melaporkan per Februari 2020, atau sebelum pandemi Covid-19 menyeruak, angka pengangguran di Indonesia mencapai 6,88 juta naik 60.000 orang secara tahunan.

Adapun, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2020 turun menjadi 4,99 persen dari 5,01 persen periode yang sama tahun lalu. Total angkatan kerja pada bulan kedua tahun berjalan mencapai 137,91 juta orang, dengan jumlah penduduk bekerja mencapai 131,03 juta orang.

Maka banyak kondisi finansial masyarakat semakin memprihatinkan akibatnya muncul masalah lain salah satunya gejolak sosial. Yang terjadi kondisi terburuk dibidang keamanan bukan hanya semata-mata masalah kesehatan tapi yang utama adalah masalah ekonomi. “Ketika masalah ekonomi menyentuh masyarakat pada akar rumput, ini berkaitan erat dengan masalah perut. Ketika masalah perut, maka bisa menjadi penyulut masalah keamanan yang lebih besar,” ujar TNI Mayjen Sisriadi.

Gejolak sosial ini dapat mempengaruhi alam mental masyarakat yang akhirnya mendorong mereka untuk mengambil berbagai jalan pintas demi memenuhi kebutuhan perut.

Dapat disimpulkan kondisi ekonomi memang kian memburuk. Kebijakan yang tidak disertai kesiapan dan kapabilitas kepemimpinan membuat rakyat harus berjuang sendirian bak mengalami seleksi alam di tengah keadaan pandemi covid-19 dengan segala keterbatasan.

Banyak hal yang perlu dimintai pertanggungjawabannya mengingat kewajiban penguasa harusnya melakakun riayah (pengurusan) terhadap rakyat makin tak wajar arahnya. Penguasa nampak tidak memiliki banyak daya, karena sebelum pandemi pun banyak sekali masalah yang menumpuk. Tidak menyelesaikan masalah tetapi malah membuat masalah baru.

Padahal kesejahteraan rakyat merupakan masalah utama yang harusnya menjadi skala proritas untuk diurusi. Alih-alih meringankan beban rakyat, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan penguasa justru membuat rakyat bertambah sengsara. Tak ada keseriusan. Bahkan rusaknya paradigma kepemimpinan membuat riayah tak ubahnya sebuah dagelan yang dipertontonkan kepada seluruh rakyat negri ini.

Dilansir dari muslimahnews.com[Editorial] Antara Kemiskinan dan Drama Penguasa

Sungguh kondisi ini berbeda jauh dengan paradigma kepemimpinan Islam. Dalam Islam, mewujudkan kesejahteraan rakyat merupakan amanah berat yang dipikulkan ke pundak para pemimpin mereka. Yang karenanya, amanah kepemimpinan ini menjadi amanah yang paling tak diinginkan siapapun yang menggunakan akalnya.

Inilah pula yang membuat para khalifah Rasulullah saw selalu menangis saat didaulat menjadi pemimpin umat. Karena mereka paham, umat tak boleh hidup tanpa kepemimpinan, tapi menjadi pemimpin mereka tanggung jawabnya sangat berat.

Bahkan sesaat setelah dibaiat, sayyidina Umar ra berpidato dengan pidato yang menggetarkan hati. Tampak betapa besar rasa takutnya saat beliau “terpaksa” menerima amanah kepemimpinan setelah Sayyidina Abu Bakar ra wafat.

الحمد الله كما اثن ربنا على نفسى، والصلاة والسلام على نبي الأ مين، ورحم الله أبي بكر الصديق. لقد أد أمته. و نصح أمته. ولم يترك إلى الناس بعض ما قاله. ولقد خلصن بعده تعبا، ومااجتهدنا يوم فى استبقاق الخيرات إلا وجدناه سابقا. فكيف اللحاقبه؟ فلله ما أخذ، وﷲ ما أعطى.

“Segala puji bagi Allah sebagaimana aku memuji Allah atas diriku. Selawat serta salam atas Nabi Al Amin. Semoga Allah merahmati Abu Bakar As Shiddiq. Ia telah melaksanakan amanah yang diembannya. Selalu membimbing umat. Ia telah meninggalkan umat tanpa ada yang menggunjingnya. Kita setelahnya, mengemban tugas yang berat.

Kita tidak mendapatkan kebaikan dari hasil ijtihad kita saat ini, kecuali telah ada pada masa sebelum kita. Bagaimanakah kemudian kita bergabung dengannya kelak? Kepunyaan Allahlah yang telah diambil. Dan kepunyaan Allahlah semua yang telah diberikan.”

أيها الناس! ما انا إلا رجل منكم، ولولا أني كرهت أن أرد أمر خليفة رسول ﷲ ماتقلدت أمركم.

“Saudara-saudara! Aku hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak perintah Khalifah Rasulullah (Abu Bakar Ash Shiddiq) aku pun akan enggan memikul tanggung jawab ini”.

اللهم إني غليظ فليني! اللهم إني ضعيف فقوني! اللهم إني بخيل فسخني!

“Ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku! Ya Allah, aku sangat lemah, maka berilah aku kekuatan! Ya Allah, aku ini kikir, jadikanlah aku orang dermawan!”

إن الله ابتلاكم بي، وابتلاني بكم، وأبقاني فيكم بعد صاحبي، فوﷲ لايحضرني شئ من امركم فيليه أحد دوني، ولايتغيب عنى فالو فيه عن الجزء والأمانة، ولئن أساءوا لأنكلن بهم.

“Allah telah menguji kalian denganku, dan mengujiku dengan kalian. Sepeninggal sahabatku (Abu Bakar Ash Shiddiq), sekarang aku yang berada di tengah-tengah kalian. Tak ada persoalan kalian yang harus aku hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain aku, dan tak ada yang tak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan aku balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan aku timpakan kepada mereka.” (Muhammad Husain Haekal dalam buku Biografi Umar bin Khattab)

Dalam menjalankan kekuasaan, para khalifah termasuk Sayyidina Umar nampak sangat hati-hati menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya, karena dengan itu, mereka akan terjatuh pada perbuatan dzalim pada rakyatnya.

Bahkan sepanjang sejarah kepemimpinannya, mereka begitu serius memenuhi kebutuhan rakyat, baik di masa lapang maupun sulit, sampai-sampai mereka akhirkan seluruh kepentingan diri dan keluarganya.

Di masa kekhilafahan Umar ra yang cukup panjang, bertebaran kisah-kisah teladan kepemimpinan yang tak mungkin ditiru oleh kepemimpinan yang paradigmanya bersebrangan seperti saat sekarang.

Penulis : Hanifa Hanjani (Aktivis Dakwah BMI Unpam & Mahasiswi STIU DQ Gunung Sindur)

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.