7 Mei 2024

Penulis : Mustin Alfiani S.pdI, Pemerhati Ummat

Dimensi.id-Masih segar dalam ingatan kasus tentang terbunuhnya George Floyd seorang warga negara Amerika Serikat berkulit hitam akibat kebrutalan anggota polisi minneapolis berkulit putih akhir Mei lalu. Anggota polisi tersebut kedapatan melakukan kekerasan terhadap George Floyd dan aksi tersebut kebetulan terekam oleh warga sekitar.

Adegan di dalam video memperlihatkan, sang polisi mencekik dengan bagian lututnya, sampai laki-laki Afro-Amerika tadi kesulitan bernafas. Korban pencekikan yang diidentifikasi bernama George Floyd, akhirnya harus meninggal dunia, dan polisi yang melakukan kekerasan sekaligus rasisme tak lama kemudian di pecat.

Mengutip BBC, Jumat (29/5/2020), kasus rasisme di AS memang sudah tidak mengherankan lagi. Bahkan, negara sebesar AS masih menjadikan rasisme sebagai momok utama hingga bahan kampanye paling sensitif.

Dan kita tahu bahwa isu rasisme sesungguhnya tidak hanya marak terjadi di negeri Paman Sam, namun di hampir sebagian besar negara Eropa juga banyak terjadi meski tak sebanyak Amerika. Sebagian pengamat sepakat bahwa isu rasisme di Amerika cenderung unik dan berbeda dengan sebagian besar kasus rasisme di seluruh dunia.

Awal mula rasisme di Amerika

Rasisme sistemik Amerika dimulai di masa perbudakan ketika kapal budak pertama kali mendarat di Amerika. Berbagai kode atau undang-undang negara bagian atau federal mengodifikasi praktik perbudakan chattel yang tidak manusiawi menjadi hukum. Amerika Selatan disebut sebagai wilayah mayoritas “masyarakat budak”, bukan hanya masyarakat dengan budak. Namun, setelah penghapusan perbudakan, hukum yang mirip dengan kode budak terus menindas orang kulit hitam.

Berdasarkan sejarah, kasus rasisme di Amerika sebenarnya sudah terjadi berabad-abad lamanya. Sejak awal ketika kapal budak merapat ke Amerika, orang kulit hitam diangap identik dengan budak dan hak-hak mereka dibatasi oleh orang kulit putih. Keyakinan bahwa orang kulit putih memiliki kedudukan yang lebih tinggi Bu dari orang kulit hitam menjadi keyakinan yang mendarah daging hingga hari ini.

Islam memandang rasisme

Perbuatan rasisme tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia manapun. Meremehkan, merendahkan dan menghina orang lain hanya karena berbeda suku, berbeda warna kulit, berbeda bangsa atau negara. Kita dapati rasisme ini masih ada di beberapa tempat di dunia ini dan ini memang yang sangat tidak kita harapkan. Ketahuilah, Islam agama yang mulia telah menghapus dan mengharamkan rasisme tersebut di muka bumi ini. Semua orang pada asalnya sama kedudukannya dan memiliki hak-hak dasar kemanusiaan yang sama serta tidak boleh dibedakan, satu di istimewakan dan satu lagi dihinakan hanya karena alasan perbedaan suku, ras, bangsa semata.

Lihat-lah bagaimana Bilal bin Rabah, seorang sahabat yang mulia. Beliau adalah mantan budak dan berkulit hitam legam, tetapi kedudukan beliau tinggi di antara para sahabat. Beliau telah dipersaksikan masuk surga secara khusus yang belum tentu ada pada semua sahabat lainnya.[1] Beliau juga adalah sayyid para muadzzin dan pengumandang adzan pertama umat Islam.[2]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abu Dzar,

 ﺍﻧْﻈُﺮْ ﻓَﺈِﻧَّﻚَ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺨَﻴْﺮٍ ﻣِﻦْ ﺃَﺣْﻤَﺮَ ﻭَﻻَ ﺃَﺳْﻮَﺩَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻔْﻀُﻠَﻪُ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ

“Lihatlah, engkau tidaklah akan baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa.”[3]

Prinsip kesetaraan hak tanpa memandang suku bangsa dan warna kulit sudah menjadi ajaran dalam Islam. Secara tersurat, ayat-ayat Alquran tegas menjelaskan itu. Allah SWT menyampaikan jika kemuliaan diri bukan diperoleh secara given, seperti suku bangsa. Kemuliaan harus diraih dengan usaha berupa takwa.

Allah menciptakan kita berbeda-beda agar kita saling mengenal satu sama lainnya. Yang membedakan di sisi Allah hanyalah ketakwaannya. Perhatikan ayat berikut:

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇِﻧَّﺎ ﺧَﻠَﻘْﻨَﺎﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺫَﻛَﺮٍ ﻭَﺃُﻧْﺜَﻰ ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻛُﻢْ ﺷُﻌُﻮﺑًﺎ ﻭَﻗَﺒَﺎﺋِﻞَ ﻟِﺘَﻌَﺎﺭَﻓُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”. (Al-Hujurat: 13)

Jadi kita diciptakan berbeda-beda suku, ras dan bangsa agar kita saling mengenal. Allah menegaskan setelah ayat ini bahwa yang paling mulia adalah yang paling taqwa. Ath-Thabari menafsirkan,

 ﺇﻥ ﺃﻛﺮﻣﻜﻢ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﺪ ﺭﺑﻜﻢ ، ﺃﺷﺪﻛﻢ ﺍﺗﻘﺎﺀ ﻟﻪ ﺑﺄﺩﺍﺀ ﻓﺮﺍﺋﻀﻪ ﻭﺍﺟﺘﻨﺎﺏ ﻣﻌﺎﺻﻴﻪ ، ﻻ ﺃﻋﻈﻤﻜﻢ ﺑﻴﺘﺎ ﻭﻻ ﺃﻛﺜﺮﻛﻢ ﻋﺸﻴﺮﺓ

“Yang paling mulia di sisi Rabb kalian adalah yang paling bertakwa dalam melaksanakan perintah dan menjauhi maksiat. Hukan yang paling besar rumah atau yang paling banyak keluarganya.”[4]

Bahkan Islam melarang keras bentuk ta’assub yaitu membela serta membabi buta hanya berdasarkan suku, rasa atau bangsa tertentu, tidak peduli apakah salah atau benar, dzalim atau terdzalimi.  Perkatikan hadits berikut, Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu,ia berkata:

ﻛُﻨَّﺎ ﻣَﻊَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰِّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓِﻰ ﻏَﺰَﺍﺓٍ ﻓَﻜَﺴَﻊَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻳﻦَ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻦَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻯُّ ﻳَﺎ ﻟَﻸَﻧْﺼَﺎﺭِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻯُّ ﻳَﺎ ﻟَﻠْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻳﻦَ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ‏« ﻣَﺎ ﺑَﺎﻝُ ﺩَﻋْﻮَﻯ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ‏» . ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﺴَﻊَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻳﻦَ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻦَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ‏« ﺩَﻋُﻮﻫَﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣُﻨْﺘِﻨَﺔٌ ‏»

Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Gaza, Lalu ada seorang laki-laki dari kaum Muhajirin yang memukul pantat seorang lelaki dari kaum Anshar. Maka orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (tolong aku).’ Orang Muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang muhajirin (tolong aku).’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Seruan Jahiliyyah macam apa ini?!.’ Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah memukul pantat seorang dari kaum Anshar.’ Beliau bersabda: ‘Tinggalkan hal itu, karena hal itu adalah buruk.’ ” (HR. Al Bukhari dan yang lainnya)

Tidak hanya lewat dalil, Rasulullah mencontohkan bagaimana akhlak berperilaku dengan orang yang berbeda warna kulit. Bilal bin Rabah menjadi simbol jika Islam memang mengukur kemuliaan berdasarkan ketakwaan. Bilal membuat Rasulullah amat menyayanginya. Rasulullah SAW bahkan pernah mendengar terompah Bilal di surga.

Pembelaan Rasulullah tampak saat Bilal berselisih dengan salah satu sahabat, Abu Dzar al-Ghifari, yang notabene masih memiliki darah Quraisy. Abu Dzar mengemukakan pendapatnya tentang salah satu strategi perang, tetapi itu ditolak Bilal.

Abu Dzar pun secara refleks berkata kepada Bilal, “Beraninya kamu menyalahkanku, wahai anak wanita berkulit hitam? La ilahaillallah! Becerminlah engkau. Lihatlah siapa dirimu sebenarnya?” Bilal marah atas sikap Abu Dzar dan mengadukannya kepada Rasulullah. Mendengar laporan Bilal, rona muka Rasulullah berubah. Abu Dzar pun bergegas datang kepada Rasulullah dan mengucap salam. Ketika itu, Rasulullah sangat marah kemudian bersabda. “Wahai Abu Dzar. Engkau telah menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Di dalam dirimu terdapat sifat jahiliyah.”

Mendengar sabda Rasulullah, Abu Dzar menangis. Dia lantas memintakan ampunan Rasulullah dari Allah SWT atas kesalahannya. Dia pergi. Untuk menebus kesalahannya, Abu Dzar meletakkan kepalanya di atas tanah yang dilalui Bilal. Dia mengempaskan pipinya ke atas tanah. Dia meminta Bilal untuk menginjak pipinya sambil berkata. “Engkaulah orang yang mulia dan akulah orang yang hina.”

Fondasi kesetaraan hak antarsesama manusia sudah ditanamkan Islam yang lahir sejak abad ke-7 Masehi. Padahal, masalah diskriminasi masih saja menghantui umat manusia pada era serbamodern ini.

Fenomena tewasnya George Floyd, seorang petugas keamanan Afro-Amerika, akibat ditindih polisi kulit putih membuktikan betapa diskriminasi masih menjadi racun pada masyarakat serbamaju ini. Bukankah mereka selalu mengajarkan demokrasi? Padahal, Malcolm X sudah menawarkan solusi dari krisis yang mereka hadapi lewat ‘wasiatnya’ dari Tanah Suci.

Islam sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, hal inilah yang kemudian memberi inspirasi kepada dua tokoh pejuang ras di Amerika yaitu Malcom X atau yang dikenal sebagai El-Hajj Malik El-Shabazz, beliau terinspirasi dengan spirit kemanusiaan dalam agama Islam Islam setelah beliau pulang melaksanakan ibadah haji pada tahun 1964, dalam otobiografinya ia menceritakan dengan sangat menarik pengalaman-pengalam yang ia dapat ketika melakukan ibadah haji, ia menulis dalam otobiografinya: “Aku benar-benar merasa bersyukur bisa naik pesawat terbang bersama-sama dengan mereka yang terdiri dari berbagai ras.”

Kulit putih, kulit hitam, merah, kuning, coklat, dan juga mereka yang berambut sedikit kemerah-merahan, satu sama lain menganggap masing-masing sebagai saudara. Kemuliaan Allah yang membukakan mata hati kami, sehingga kami bisa saling menghargai. Terjadi perubahan besar dalam diriku, yang tidak bisa kujelaskan dengan gamblang. Di sini, di tempat ini, selama aku menunggu pelaksanaan ibadah haji, jendela hatiku mulai terbuka terhadap apa-apa yang berbau Barat.

Saat jalanan dipenuhi oleh calon jamaah haji dari seluruh penjuru dunia, aku belum pernah mengalami situasi menyenangkan sebelumnya. Meskipun aku terasing, aku merasa aman dan terlindungi. Aku berada di lingkungan yang ribuan kali berbeda dari yang pernah kualami.

Demikianlah pengalaman Menarik Malcom X melihat sisi humanisme dalam sudut pandang Islam ketika ia melakukan ibadah haji.

Hampir bersamaan dengan Malcom X, Muhammad Ali sang petinju legendaris dunia yang kematiannya membuat tangis haru masyarakat seantero dunia juga kerap memperjuangkan hak asasi kemanusiaan dan melawan rasisme dengan caranya sendiri, lewat media olahraga yang ia tekuni, ia kerap menyerukan pertentangannya terhadap sikap-sikap rasisme yang masih berkembang di Amerika.

Demikianlah Islam telah memberi inspirasi kepada banyak tokoh dunia, membuka pemikiran mereka melihat dunia dari sisi kemanusiaan, bahwa kita semua adalah sama dihadapan Tuhan, kita hanyalah Makhluk kecil yang tercipta dari segenggam tanah, lantas hidup sesaat diatas tanah dan kemudian akan terjepit di dasar tanah, lantas apa yang mau kita sombongkan?

Wallahu ‘alam bi ash-shawwab

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.