3 Mei 2024

 

Dimensi.id-Dewasa ini salah satu brand kecantikan kenamaan Indonesia ‘Mustika Ratu’ tengah menjadi buah bibir di kalangan warganet. Hal ini karena tagar dengan hastag boikot mustika ratu menjadi trending topik di Twitter pada Minggu, 16 April 2022. Usut punya usut ternyata tagar tersebut muncul karena sang pemilik Mustika Ratu Putri Kuswisnu Wardhani datang menjenguk Ade Armando (AA), korban pengeroyokan pada demo mahasiswa kemarin. (IndeksNews.com, 16/4/2022)

Untuk diketahui, AA dikeroyok oleh massa demonstran pada 11 April 2022 kemarin, lantaran AA telah menistakan agama (Islam) lewat beberapa postingannya di sosial media. Di antara beberapa postingan AA yang dianggap menistakan agama Islam adalah mengatakan bahwa Al-Qur’an saat ini sudah tidak penting karena sudah era digital, menyebut LGBT tidak diharamkan dalam Al-Qur’an, mengatakan Allah bukan orang Arab, meminta menghentikan haji dan umroh, dan masih banyak lagi. (Radarpalembang, 12/4/2022)

Menyaksikan fakta di atas, mencuatnya tagar boikot mustika ratu adalah bentuk kekecewaan dan kemarahan masyarakat terhadap pemilik brand kecantikan tersebut. Karena publik melihat pengusaha tersebut memiliki keberpihakan pada AA orang yang telah berkali-kali menista Islam, namun selalu lolos dari hukum.

Sejatinya, pengeroyokan terhadap AA merupakan bentuk kemarahan masyarakat atas kekebalan hukum pada dirinya. Sebagaimana kita ketahui bersama, bukan hanya satu kali AA menista dan menyerukan ujaran kebenciannya kepada Islam beserta ajarannya, tetapi selama ini perbuatan AA selalu dibiarkan dan terkesan dilindungi. Hal ini terbukti dari tidak adanya satu pun hukum yang mampu menyentuhnya. Padahal perbuatan AA jelas sudah kelewat batas dan melanggar UU KUHP Pasal 156 (a). Dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang sengaja di muka umum mengeluarkan perasan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama, maka hukumannya adalah dipenjara selama-lamanya lima tahun (Yuridis.id, 16/11/2021).

Jika kita telaah, kasus penistaan agama Islam di negeri ini bak fenomena gunung es, tak pernah ada habisnya. Bahkan seolah telah menggurita dan menjadi hal yang tak bisa dihindari. Penistaan agama telah berulang kali terjadi yang pelakunya pun datang dari berbagai kalangan. Mulai dari orang biasa hingga petinggi negeri. Sebagai contoh kasus penistaan agama yang melibatkan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada tahun 2017 dan juga putri Sang Proklamator, Sukmawati Soekarnoputri pada tahun 2019 lalu. Berkaca dari sini, maka kasus penistaan agama yang dilakukan AA semakin menambah daftar panjang kasus penistaan agama (Islam) yang terjadi di negeri ini.

Sejatinya, kasus penistaan agama yang senantiasa berulang, adalah akibat diterapkannya sistem Kapitalisme-sekuler yang mengusung paham kebebasan di negeri ini. Dalam sistem ini, Islam dan umatnya tak punya wibawa, karena tidak ada pemimpin yang memberlakukan Islam kafah (menyeluruh).

Penerapan sistem ini, telah menjadikan negara dan penguasa gagal melindungi agama (Islam) beserta ajaran dan umatnya. Dalam sistem Kapitalisme-sekuler, penista agama dibiarkan, bahkan dianggap biasa. Sementara para penyuara kebenaran yang menyebarkan paham Islam kafah dipersekusi hingga berujung pidana, karena dianggap melakukan ujaran kebencian. Pasal ujaran kebencian pun dijadikan pasal karet yang akan bisa menakut-nakuti siapa saja yang kritis dan diduga berseberangan pandangan dengan rezim.

Mirisnya, negara yang berlandaskan sistem ini, tidak menempatkan Islam sebagai sumber aturan. Maka tidak heran, penerapan hukum bagi para penista pun bersifat alakadarnya, hanya meredam sementara dan tidak memberikan efek jera. Bahkan ada yang sama sekali tidak terjamah hukum, meskipun telah berulang kali melakukan kesalahan yang sama seperti AA. Inilah yang menjadikan para penista semakin merajalela dan memunculkan frustrasi di tengah masyarakat.

Sungguh, kasus penistaan agama akan terus berlanjut dan melahirkan oknum-oknum baru dengan motif berbeda, jika sistem Kapitalisme-sekuler masih dijadikan parameter kehidupan. Karena itu untuk menyelesaikan ini semua kita membutuhkan sistem yang benar-benar mampu melindungi Islam beserta ajarannya. Serta mampu membawa umat pada perubahan hakiki yang tidak hanya berhenti pada melampiaskan kebencian kepada para penista secara spontan. Tapi mengakhirinya dengan tuntunan sesuai syariat. Sistem itu tiada lain adalah Islam.

Sebagai agama sekaligus ideologi, Islam telah teruji kemampuannya dalam melindungi umat dan ajaran Islam dari segala bentuk ancaman. Termasuk tindak penistaan agama. Jika ada kasus penistaan agama maka negara Islam (Khilafah) akan dengan sigap memberikan sanksi tegas kepada para pelaku, baik muslim atau pun nonmuslim.

Secara umum, hukuman atas pelaku penistaan agama dalam pandangan Islam (apapun bentuknya) adalah hukuman mati. Menurut Khalil Ibn Ishaq al-Jundiy, ulama besar mazhab Maliki, siapa saja yang mencela Nabi saw., melaknat, mengejek, menuduh, merendahkan, melabeli dengan sifat yang bukan sifat beliau, menyebutkan kekurangan pada diri dan karakter beliau, merasa iri karena ketinggian martabat, ilmu dan kezuhudannya, menisbatkan hal-hal yang tidak pantas kepada beliau, mencela, dan lain-lain, hukumannya adalah dibunuh.

Para pemimpin pemerintahan Islam di masa lalu telah mencontohkan bagaimana menindak para penista agama. Seperti kasus penistaan agama di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab misalnya, maka khalifah memerintahkan untuk membunuh para penghina Allah dan rasul-Nya.

Hal yang sama juga dilakukan Sultan Abdul Hamid ll (sultan ke-34 kekhilafahan Utsmaniyah). Beliau pernah marah dan geram dengan perbuatan pemerintah Prancis yang memuat surat kabar dengan berita tentang pertunjukan teater yang melibatkan Nabi Muhammad saw.. Bahkan, Sang Sultan menyatakan siap bangkit dari kematian jika terjadi penghinaan atas Islam dan Nabi saw.. Sehingga akhirnya teater tersebut batal digelar karena takutnya Prancis, akan ketegasan Sultan Abdul Hamid ll.

Demikianlah ketegasan para pemimpin Islam dalam menghadapi dan menindak para penista. Mereka pantang berkompromi atau bersikap lemah lembut, jika sudah menyangkut agama. Dari sini, maka jelaslah hanya Islam satu-satunya sistem yang mampu menjaga kemuliaan agama dan melindungi umat dari berbagai tindak kezaliman.

Karenanya, sudah menjadi kewajiban kita untuk kembali kepada Islam dan menerapkannya secara kafah (menyeluruh) dalam seluruh sendi kehidupan. Serta mencampakkan sistem Kapitalisme-sekuler yang menjadi biang kasus penistaan terus berulang. Dengan demikian, kemuliaan umat dan syariat-Nya senantiasa terjaga, dan para para penista pun jera.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Oleh Reni Rosmawati
Ibu Rumah Tangga

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.