30 April 2024

Penulis : Suci Tiasari Kaputri

Dimensi.id-Pada tanggal 6 Mei 2020 Presiden Jokowi telah menandatangani peraturan presiden no 62 thn 2020. Perpres tersebut salah satunya adalah menetapkan perubahan tarif iuran BPJS kesehatan untuk peserta bukan penerima upah atau peserta mandiri.

Dan berdasarkan Protes tersebut, tarif iuran BPJS untuk kelas mandiri antara lain,  Kelas I sebesar Rp.150.000/Orang perbulan, Kelas II sebesar Rp.100.000/Orang perbulan. Kelas III sebesar Rp.25.000 dan menjadi Rp.35.000 berlaku mulai bulan Juli 2020.

Disaat wabah Corona masih mengamuk, krisis ekonomi menghantam dunia, kebutuhan kuota melonjak untuk belajar OnLine, PHK terjadi dimana-mana, dan harga  BBM yang tak kunjung turun. Pemerintah justru malah menaikan tarif iuran BPJS kesehatan yang turut menambah penderitaan masyarakat. Kebijakan ini sungguh tak sensitif terhadap penderitaan rakyat. Penguasa tak menunjukkan empati sama sekali.

Sedangkan rakyat, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, kejedot tembok pula. Bisa dipastikan kenaikan iuran BPJS akan membuat daya beli makin menurun dan pertumbuhan ekonomi bisa minus. Selain itu, kenaikan iuran BPJS kesehatan juga melanggar keputusan Mahkamah Agung (MA). Sebelumnya, MA memutuskan untuk membatalkan keputusan Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Keputusan ini menjadi jawaban atas gugatan pasien cuci darah ke MA.

Sebelumnya Jokowi pernah menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri sebesar 100 persen mulai awal tahun ini. Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres Jaminan Kesehatan tak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Selain itu, pasal tersebut juga dinyatakan bertentangan dengan sejumlah undang-undang. Dalam putusan pembatalan saat itu, MA menilai bahwa defisit BPJS Kesehatan disebabkan salah satunya karena kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS.

Oleh karenanya, menurut MA, defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan iuran bagi Peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja). Haruslah dicarikan jalan keluar yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki kesalahan dan kecurangan yang telah terjadi tanpa harus membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan.

Keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan meski telah dibatalkan MA menunjukkan bahwa keberadaan BPJS bukanlah sebagai jaminan atas kesehatan rakyat. BPJS tak ubahnya asuransi kesehatan. Aspek untung rugi menjadi pertimbangan utama dalam pelayanannya. Padahal, dana BPJS itu semuanya dari rakyat.

Baik melalui iuran maupun subsidi APBN. Namun BPJS sangat tega, mencekik rakyat bahkan saat sedang lemas dihajar corona. Inilah fakta negara kapitalis. Urusan hidup seperti kesehatan harus cari sendiri, bayar sendiri. Kalaupun ada subsidi, uangnya bersumber dari rakyat lagi, yakni dari pajak.

Islam memiliki paradigma yang benar tentang kesehatan, yaitu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh penguasa. Karena penguasa/pemimpin bertanggung jawab atas rakyatnya. Nabi shallallahu’alaihi  wasallam bersabda,  “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.”(Bukhari dan Muslim). Negara khilafah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara optimal dan terjangkau oleh masyarakat.

Khalifah memosisikan dirinya sebagai penanggung jawab urusan rakyat, termasuk urusan kesehatan. Khilafah tidak akan menyerahkan urusan kesehatan pada lembaga asuransi seperti BPJS-K. Lembaga asuransi bertujuan meraup untung, bukan melayani rakyat. Islam meletakkan dinding tebal antara kesehatan dengan kapitalisasi, sehingga kesehatan bisa diakses oleh semua orang tanpa ada kastanisasi secara ekonomi.

Dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari tiga unsur sistem. Pertama, peraturan, baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua, sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit,alat-alat medis,dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga, sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana sistem kesehatan, yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya.

Untuk memenuhi kebutuhan rakyat terhadap layanan kesehatan, khilafah banyak mendirikan institusi layanan kesehatan. Pasien dilayani tanpa membedakan ras, warna kulit dan agama, tanpa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh.

Selain memperoleh perawatan, obat dmakanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Negara juga tidak luput melaksanakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang mempunyai kondisi sosial khusus, seperti yang tinggal di tempat-tempat yang belum mempunyai rumah sakit, para tahanan, orang cacat, dan para musafir.

Untuk itu, negara mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Ini seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). Rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi kedokteran dan sejumlah dokter. Rumah sakit ini menelusuri pelosok-pelosok negara.

Dalam Islam pembiayaan kesehatan bersifat berkelanjutan.Kesehatan telah ditetapkan Allah SWT sebagai salah satu pos pengeluaran pada baitulmal,dengan pengeluaran yang bersifat mutlak.

Artinya, sekalipun tidak mencukupi dan atau tidak ada harta tersedia di pos yang diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan, sementara ada kebutuhan pengeluaran untuk pembiayaan pelayanan kesehatan, maka boleh dilakukan penarikan pajak temporer sebesar yang dibutuhkan saja.

Jika upaya ini berakibat pada terjadinya mudarat pada masyarakat,negara diizinkan berutang secara syar’i.Yakni utang pada rakyat yang kaya dan tanpa riba. Sumber-sumber pemasukan untuk pembiayaan kesehatan, telah didesain Allah SWT sedemikian sehingga memadai untuk pembiayaan yang berkelanjutan.Salah satunya berasal dari barang tambang yang jumlahnya berlimpah.

Mulai dari tambang batu bara,gas bumi,minyak bumi,hingga tambang emas dan berbagai logam mulia lainnya, yang jumlahnya berlimpah. Hal ini meniscayakan khilafah memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan berbagai fungsinya. Pembiayaan dan pengeluaran tersebut diperuntukan bagi terwujudnya pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi semua individu masyarakat.

Dengan demikian Islam tidak mengenal pembiayaan berbasis asuransi wajib karena merupakan konsep batil yang diharamkan Allah SWT. Wallohu a’lam[S]

Editor : azkabaik

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.