6 Mei 2024

Penulis : Ade Cassidy

Dimensi.id-Ditengah sulitnya ekonomi saat ini karena pandemi yang belum berakhir, kini rakyat harus kembali menelan pil pahit dalam kebijakan yang disahkan pemerintah.

Sebelumnya pemerintah tetap menaikkan iuran BPJS meskipun pada keputusan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 7/P/HUM/2020 yang membatalkan kenaikan iuran jaminan kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Dan kenaikan iuran BPJS tetap dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Dan hal ini sebenarnya adalah pengkhianatan kepada rakyat. Disaat rakyat kesulitan justru pemerintah mengkhianatinya dengan mengambil kebijakan yang menambah kesulitan rakyatnya.

Belum selesai beban yang diderita rakyat ,  hari ini pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan baru. Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam aturan itu, seluruh pekerja baik di pemerintahan dan swasta diwajibkan mengikuti program Tapera.

Dalam keputusan itu, mulai tahun 2020 Badan Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) sudah bisa mulai memungut iuran untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selanjutnya, BP Tapera akan memotong gaji TNI Polri serta pegawai swasta dan mandiri sebesar 2,5 persen dari gaji per bulan.

Mekanisme pelaksanaan iuran Tapera akan memberatkan perusahaan dan pekerja. Sebab, PP Tapera mengatur besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah. Porsinya perusahaan berkewajiban bayar 0,5 persen dari jumlah iuran, sementara sisanya dibayar karyawan.

Program Tapera ini  pemerintah mengklaim pelaksanaannya demi kesehahteraan rakyat yang masih belum memiliki rumah. Namun pada kenyataannya justru program ini menambah beban kesulitan baru bagi masyarakat yang ekonominya tengah terhimpit di tengah pandemic COVID-19. Sedangkan kenaikan iuran BPJS saja masih harus dievaluasi ulang kini sudah ada kebijakan lain.

Kebijakan tersebut mendapat sorotan tajam dari peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus. Ia berkata dengan adanya pungutan baru itu, pemerintah kembali menambah beban pada masyarakat dengan potongan iuran yang akan mengurangi pemasukan mereka. “Semua mengalami beban ekonomi berat karena menurunnya income dan daya beli. Pendapatan dari dunia usaha juga menurun. Iuran Tapera itu kan memberatkan,” ujarnya saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (3/6/2020).

Selain momentum yang kurang tepat, ekonom Indef lainnya, Bhima Yudhistira menilai resminya iuran Tapera mengmbuat masyarakat berprasangka. Pemerintah terlihat tengah mencari pendapatan baru di tengah kondisi keuangan negara yang tengah tertekan. Motif terselubung iuran Tapera terlihat jelas di Pasal 27 PP Tapera. Dalam pasal tersebut dijelaskan, dana iuran bisa diinvestasikan ke surat utang pemerintah, kata Bhima.

Jakarta, CNN Indonesia — Pengamat Tata Kota dan Perumahan Universitas Trisaksi Yayat Supriyatna mengkritik Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut dia, program itu tidak menjamin peserta memiliki rumah, meskipun peserta membayarkan iuran.

Bahkan kalau dilihat pada poin atau mekanismenya tidak ada yang memastikan pemanfaatan tabungan perumahan, termasuk kepemilikan tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 terkait Penyelenggaraan Tapera dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. Karena kewenangan BP Tapera tidak dirinci untuk menyediakan rumah atau sekadar menghimpun dan mengelola dana masyarakat saja.

Sementara itu , UU Tapera bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 soal Perumahan dan Kawasan Permukiman, di mana aturan tersebut mengungkap negara wajib mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Sementara, PP Tapera dan UU Tapera tidak menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab bagi penyediaan dana perumahan MBR.

Dan juga saat ini di dalam program JHT yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan telah mengalokasikan dana untuk perumahan juga. Lantas untuk apa ada Tapera lagi ?

Maka tidak salah kalau masyarakat berpendapat bahwa sepertinya pemerintah sedang berusaha mencari dana segar untuk menutupi defisit anggaran negara. Luar biasa hari ini rakyat sepertinya hanya dijadikan komoditi dalam pemenuhan hasrat para penguasa yang abai terhadap kesejahteraan rakyatnya. Alih-alih memberikan kesejahteraan justru menambah beban rakyat.

Karena kalau kita lihat fakta yang terjadi inilah kebobrokan sistem demokrasi Neo liberal yang dianut oleh rezim saat ini. Hanya mementingkan kepentingan para penguasa dan para elitnya saja. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana mempertahankan kekuasaannya. Rakyat bukanlah yang menjadi pertimbangan atas segala kebijakan yang diambil.

Hai ini akan terus berlanjut selama sistem ini dipertahankan. Beginilah jika aturan dibuat sesuai kebutuhan dan kepentingan. Atas nama kesejahteraan rakyat, justru mereka yang dikorbankan. Rakyat miskin dikarenakan memang dimiskinkan oleh sistemnya. Kesenjangan sosial akan terus berlanjut. Tidak akan pernah terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat dalam sistem ini.

Hal ini tidak akan terjadi jika negeri ini dikelola dengan sistem yang lebih baik yang akan menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Yaitu sistem pemerintahan khilafah. Sisutem yang berakidahkan Islam. Sistem ini akan menerapkan seluruh syariah Islam secara sempurna.

Seorang pemimpin didalam Islam menjadikan kepemimpinan sebagai periayah (pengurus) urusan rakyat. Amanah itu harus dijalankan dengan tanggung jawab dunia dan akhirat. Seorang pemimpin yang bertakwa tak akan menyalahi tugasnya. Ia bahkan tak akan berani membebani rakyat dengan beban sekecil apa pun. Karena dalam Islam ketakwaan individu memegang peranan yang sangat penting.

Sumber pemasukan didalam Islam adalah dengan mengelola sumber daya alam yang terdapat didalam negri itu dengan optimal.   Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah Saw ,

“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api” (HR Ibnu Majah). Kemudian, Rasul saw juga bersabda: “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api” (HR Ibnu Majah).

Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola  sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).

Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, setiap Muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumberdaya alam, harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:

“Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir ” (TQS an-Nisa [4] : 59).

Begitulah Islam mengatur, maka dalam sistem Islam sumber pemasukan negara bukanlah dari pajak ataupun dari hasil iuran dari rakyatnya. Dan hal ini sangat berbeda dengan sistem demokrasi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama negara. Rakyat terbebani dengan berbagai iuran dan pungutan negara, sementara di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing.

Sudah saatnya kita kembali kepada sistem yang shahih. Yang berasal dari tuntunan dari Allah swt, yaitu kembali kepada sistem Islam secara kaffah. Sistem pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Khalifah yang insyaAllah akan amanah menjalankan semua tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang meriayah rakyatnya. Wallahu a’lam bissawab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.