17 Mei 2024

Penulis : Anggreni el Lu’lu’ (Praktisi pendidikan)

Dimensi.id-Pendidikan di masa pandemi semakin hari semakin memprihatinkan. Butuh perjuangan untuk bisa memperoleh pendidikan yang layak. Orangtua pun harus berjuang dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Di tengah kesulitan ekonomi dan beratnya biaya hidup, para orang tua harus berjuang lebih keras lagi demi mengais biaya tambahan untuk kuota internet. Orang tua yang tidak memiliki smartphone untuk anaknya mau tak mau harus gigit jari dan kebingungan untuk membuat anaknya tetap dapat menuntut ilmu.

Meski kendala tersebut telah diupayakan untuk disiasati oleh pemerintah, namun tak jua membuahkan hasil. Beberapa daerah terpencil yang tak terjangkau akses jaringan telekomunikasi dan listrik seperti misalnya di Kampung Todang Ili Gai, Desa Hokor, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, mencoba menetapkan pembelajaran melalui radio. Hanya saja, ternyata tak semua orang tua mampu untuk membeli radio. Rata-rata orang tua murid di Todang adalah para petani miskin. Jangankan untuk membeli radio, kehidupan mereka saja sudah pas-pasan (merdeka.com, 26/07/2020).

Sebuah kasus yang terjadi pada Mohammad Rafli (14) pelajar kelas VIII di SMPN 7 Pamekasan. Rafli hidup bersama keluarganya di Desa Bettet, Kota Pamekasan. Latar belakang keluarganya adalah petani yang hidup sangat sederhana. Ibu Rafli, Hawati menangis saat ditemui CNNIndonesia.com di rumahnya, Jumat (24/7). Dia kasihan melihat anaknya selama ini ketinggalan pelajaran.

Hawati mengatakan Rafli tidak pernah mengikuti pelajaran sejak virus corona mewabah karena keluarganya tak mampu membeli ponsel. Sementara kegiatan belajar mengajar sudah dilakukan via internet. Ayah Rafli atau suami Hawati hanya bekerja sebagai kuli. Pendapatannya juga tidak seberapa. Akan tetapi, ayah dan ibu Rafli tetap berusaha menabung agar bisa membelikan ponsel pintar untuk putranya. Hawati juga kasihan melihat Rafli jadi turut membantu ekonomi keluarga. Sejauh ini, Rafli menjual rumput kepada peternak hewan. Hasilnya yang dia peroleh sekitar Rp 5-10 ribu. Pendapatannya yang minim itu dia tabung untuk membantu keluarganya membelikan ponsel.

Tak cukup sampai di sini, demi mencukupi kebutuhan anak sekolah yang harus belajar daring. Hermansyah (44), mencuri laptop. Sasarannya rumah Dedi (21), seorang mahasiswa yang berada di Jalan M. Nur 1, Kampung Ari, Labuhanratu. (Radarlampung.co.id, Rabu, 22/7/2020)

Beberapa fakta memilukan di atas telah menoreh luka pada pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Tentu hal ini membutuhkan pemikiran serius agar mampu menjawab problem hak pendidikan anak Indonesia. Paling tidak ada tiga hal yang bisa ditelisik dari PJJ yang berlangsung selama pandemi:

Pertama, absennya pemerintah dalam upaya pemenuhan hak pendidikan anak Indonesia. Pemerintah pusat terlalu fokus kepada pelaksanaan PJJ di Jakarta sehingga tidak melihat fakta yang terjadi di daerah. Akibatnya, fakta memilukan di atas luput dari penglihatan pemerintah.

Selain itu, Kemendikbud terlalu banyak mencurahkan pemikirannya kepada POP maupun pendidikan vokasi yang berujung pada pernikahan SMK dan kampus dengan industri. Sehingga polemik yang seharusnya menjadi konsentrasi utama, yakni pemenuhan jaminan pendidikan bagi seluruh anak di negeri ini terutama di masa pandemi menjadi terabaikan atau bahkan tidak pernah dipikirkan sekali pun.

Kedua, kurangnya kepekaan negara untuk mengeluarkan anggaran demi terlaksananya pemenuhan hak pendidikan anak. Sejatinya negara wajib memberikan jaminan pemenuhan pendidikan. Akan tetapi, negeri ini tidak menjadikan hal tersebut sebagai kewajiban. Bahkan cenderung dikesampingkan. Pemerintah justru fokus kepada pembangunan infrastruktur di kala wabah berlangsung, yang notabenenya bukan demi rakyat.

Hal ini terlihat dari besarnya dana yang dikeluarkan Pemerintah selama pandemi untuk 89 proyek strategi nasional yang menelan anggaran Rp 1.422 triliun dan POP bernilai Rp 595 miliar yang justru dinikmati yayasan terafiliasi korporasi besar. Namun, nihil untuk pemenuhan hak pendidikan anak Indonesia.

Ketiga, Kapitalisme gagal penuhi hak pendidikan anak Indonesia. Indonesia sebagai negara yang mengadopsi sistem Kapitalisme telah menjelma menjadi negara yang pro kepada kepentingan korporat. Setiap kebijakan yang lahir bahkan di dunia pendidikan pun hanya memperpanjang napas Kapitalis. Tak ada barang satu kebijakan pun yang berpihak kepada rakyat terlebih untuk memenuhi hak pendidikan anak negeri ini.

Walhasil, rakyat didorong dan dipaksa untuk berjuang sendiri demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun kebutuhan pendidikan. Maka, sudah sepantasnya sistem yang hanya menyejahterakan para pemilik modal ini segera dibumihanguskan. Diganti dengan sistem yang terbukti mampu memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh anak di negeri ini. dan system inilah yang akan menjamin pelaksanaan pendidikan sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu sitem pendidikan dalam negara Khilafah.

Sistem pendidikan dalam Khilafah tidak akan dinodai dengan adanya modus-modus kepentingan. Sebab, pendidikan Khilafah berlandaskan akidah Islam. Mulai dari arah pendidikan, kurikulum, tujuan pendidikan, strategi pendidikan, strategi penyelenggaraan pendidikan, hingga anggaran pendidikan.

Pertama, arah pendidikan Islam, yakni mampu melahirkan generasi terbaik, sholih, penyenang hati, pemimpin orang-orang bertakwa, serta cerdas.

Kedua, kurikulum pendidikan Islam berlandaskan akidah Islam. Sebab, kurikulum merupakan ruh yang dirancang untuk mewujudkan output pendidikan sesuai yang diinginkan. Ketika yang diharapkan generasi emas, maka menanamkan akidah Islam sebagai dasar pemikiran adalah suatu kewajiban. Dari akidah Islam inilah akan lahir lifeskill yang mumpuni disertai pemahaman tsaqofah Islam untuk melaksanakan tujuan hidupnya sebagai pemimpin orang-orang yang bertakwa.

Ketiga, strategi pendidikan Islam adalah membentuk pola pikir Islami (aqliyah Islamiyah) dan pola sikap yang Islami (nafsiyah Islamiyah). Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut. Hal ini dilakukan agar tertancap konsekuensi keimanan seorang Muslim. Di mana sebagai seorang Muslim, dia memiliki keteguhan dalam memegang identitas kemuslimannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, tujuan pendidikan Islam ialah membentuk kepribadian Islami (Syakhsiyah Islamiyah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan anak-anak kaum Muslimin menjadi ulama-ulama yang ahli di bidangnya, baik ilmu keislaman (ijtihad, fiqih, dan lain-lain) maupun ilmu terapan (kedokteran, teknik, kimia, dan lain-lain).

Keempat, strategi penyelenggaraan pendidikan Islam mewajibkan negara untuk menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan, yaitu jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara gratis.

Kelima, pendanaan pendidikan berkualitas seperti yang diuraikan di atas dijamin bisa dinikmati oleh seluruh warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, kaya maupun miskin. Seluruh pembiayaan tersebut diambil dari Baitulmal, yakni pos fa’i dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah (kepemilikan umum) yang mencakup hasil-hasil sumber daya alam. Sehingga warga negara tidak akan mengeluarkan sepeser pun uang untuk mengenyam pendidikan berkualitas.

Semua itu hanya bisa diraih kala Khilafah kembali ditegakkan. Sebab, pendidikan Islam takkan pernah hidup di alam Kapitalisme. Dengan demikian, untuk menyelamatkan negeri ini dari kerusakan akibat kerakusan para Kapitalis tak ada jalan selain menegakkan Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.