3 Mei 2024

Penulis : Eni Imami S.Si (Pendidik, member Revowriter)

Dimensi.id-Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 akan dilaksanakan tanggal 9 Desember mendatang. Di tengah wabah penyebaran virus corona yang masih masif, tentu saja sangat mengkhawatirkan. Tuntutan penundaan Pilkada pun muncul dari berbagai pihak. Namun, tak sedikit pihak yang ngotot Pilkada tetap dilakukan apapun kondisinya. Ada 270 daerah, terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang akan menyelenggarakan Pilkada.

Ngotot Pilkada

Alasan agar tidak terjadi kekosongan jabatan di daerah menjadi pembenaran untuk tetap penyelanggaran Pilkada 2020. Sebagaimana pernyataan Saydiman Marto dari Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri. “Pilkada ini akan diikuti 270 daerah, dan ada 200 kepala daerah yang habis masa jabatannya dan terjadi kekosongan jika ditunda,” kata Saydiman. (bbc.com, 10/9/2020)

Alasan kedua adalah pilkada akan mendorong perputaran roda ekonomi di tingkat bawah yang terkoyak akibat wabah virus corona. “60% anggaran pilkada digunakan untuk tiga juta lebih penyelenggara pilkada, 40% untuk logistik. Anggaran itu salah satu perangsang bagi UMKM, seperti pengadaan masker, kaca muka, dan perekonomian lainnya,” katanya. Lebih dari itu, Saydiman mengatakan akan ada banyak pasang calon di 270 daerah melakukan pengadaan dan pemesanan atribut kampanye yang kemudian akan menggerakkan roda ekonomi di daerah.

Sebagian pihak menyebut Pilkada di tengah wabah diputuskan agar kroni penguasa tidak kehilangan kesempatan duduk di kursi kekuasaan. Seperti yang disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Raja Muda Batanoa, ia menyatakan pelaksanaan pilkada 2020 yang berlangsung di tengah pandemi Covid-19 akan menguntungkan oligarki politik. Termasuk juga petahana dan calon-calon baru yang punya kekuatan uang dan logistik. (elshinta.com, 23/6/2020)

Apakah Pilkada saat ini begitu mendesak? Padahal setiap hari nyawa rakyat meregang akibat Corona. Banyak dokter dan nakes kelelahan serta gugur dalam menyelamatkan kesehatan rakyat. Harusnya persoalan wabah ini lebih diperhatikan bagaimana memutus penyebarannya. Bukan membuka celah kerumunan orang dengan adanya Pilkada.

Bukankah beberapa tahapan penting Pilkada memungkinkan menimbulkan kerumunan massa? Seperti kampanye, konvoi, dan saat proses pemilihan. Tidakkah itu dipikirkan dengan matang-matang bagi pemangku kekuasaan di negeri ini? Meski sudah berdalih disiapkan protokol kesehatan ketat, nyatanya sudah banyak yang di langgar. Lantas, kenapa masih ngotot selenggarakan Pilkada di tengah wabah? Demi pesta Demokrasi nyawa rakyat dipertaruhkan.

Tak Dapatkah Ditunda?

Tuntutan penundaan Pilkada muncul dari berbagai pihak. Termasuk dari ormas besar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Dengan pertimbangan Pilkada berpeluang muncul klaster baru, saat ini keselamatan dan kesehatan rakyat lebih diutamakan.

Epidemiologi dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo menilai pelaksanaan kontestasi politik pada Pilkada mendatang belum memiliki kesiapan optimal, berpotensi besar menciptakan lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia, (cnnindonesia.com, 4/9/2020)

Dirut Indobarometer Mohammad Qadari merasionalisasi mudarat Pilkada 2020. Potensi orang tanpa gejala (OTG) yang ikut bergabung dan menjadi agen penularan Covid-19 untuk hari pencoblosan 9 Desember 2020 bisa mencapai 15.608.500 orang. Yang kemungkinan terlibat dalam 306.000 titik kerumunan (tempat pemungutan suara) dengan memakai target partisipasi 77,5% dari KPU. Oleh karenanya Qodari merekomendasikan agar tahapan Pilkada 2020 kembali ditunda. (porostimur.com, 13/9/2020)

               

Desakan menunda Pilkada dari berbagai pihak tersebut tak mendapat respon positif dari penguasa. Mahfud MD selaku Menkopolhukam menyampaikan keputusan pelaksaaan Pilkada telah ditetapkan oleh KPU dan DPR. Untuk mengubah keputusan tersebut harus ada UU. Tentu saja membutuhkan proses panjang.

Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dari sisi regulasi sebetulnya ada celah untuk menunda Pilkada 2020. Melihat kedaruratan Covid-19 dan Pilkada yang berpotensi menjadi klaster baru, maka Pemerintah dengan segala kewenangan konstitusionalnya dapat menetapkan Perppu untuk menundanya. “Sesuai UU Dasar, dalam keadaan genting dan memaksa, pemerintah dapat menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksanakan UU sebagaimana mestinya. (Jika) UU diubah, prosesnya lama. Tetapi kalau perppu, wewenangnya kan ada di tangan presiden.” Ujarnya. (Republika.co.id, 21/9/2020)

Sepertinya usulan demikian tak akan diambil. Mengingat Pilkada merupakan instrumen pengokohan kekuasaan mereka. Faktanya tak sedikit Paslon yang diusung oleh Partai penguasa saat ini dan masih kerabat para pejabat. Tampaklah bahwa sistem negara ini tak pernah berpihak pada rakyat. Jargon demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah pepesan kosong. Yang ada rakyat ditumbalkan demi keserakahan mereka atas kekuasaan.

Pilkada Dalam Sistem Islam

Kepemimpinan dalam Islam bukan berbicara apa dan siapa yang berhasil duduk di kursi kekuasaan. Lebih dari itu, kepemimpinan merupakan amanah terkait pengurusan berbagai urusan rakyat. Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafii, di dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyah menyatakan, “Sungguh Allah Yang Maha tinggi kekuasaan-Nya menyuruh umat mengangkat pemimpin untuk menggantikan kenabian, melindungi agama dan mendelegasikan kepada dirinya as-siyâsah (pemeliharaan urusan umat) agar pengaturan itu bersumber dari agama yang masyru’, dan agar kalimat menyatu di atas pendapat yang diikuti. Karena itu Imamah (Khilafah) adalah pokok yang menjadi fondasi kokohnya pilar-pilar agama dan teraturnya kemaslahatan-kemaslahatan umat.”

               

Kepala daerah dalam sistem Islam di sebut Wali. Wali diangkat dan diberhentikan oleh kepala negara yang di sebut Khalifah. Rakyat yang telah memilih dan membaiat Khalifah mempercayakan urusan pemerintahan kepadanya. Tentu saja Khalifah tidak akan sembarangan memilih Wali, harus terikat dengan hukum syara’.

Pemberhentian Wali juga bukan berdasarkan masa jabatan yang disepakati. Tapi karena amanah ataukah tidak menjalankan kepemimpinan. Sebab pelanggaran, penyimpangan, kezaliman, ketidakmampuan atau karena faktor lainnya. Bisa juga mereka diberhentikan tanpa sebab dan kesalahan tertentu. Rasul saw. pernah memberhentikan Muadz bin Jabal dari jabatan Wali Yaman tanpa sebab. Khalifah Umar ra. juga pernah memberhentikan Ziyad bin Abi Sufyan tanpa sebab tertentu.

Karena kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh Khalifah maka pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah sangat efektif dan efisien. Berbiaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Problem politik biaya tinggi seperti dalam sistem Demokrasi dengan berbagai dampaknya tidak akan terjadi. Uang negara tidak akan tersedot untuk Pilkada dan bisa dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat.

Sungguh tampak berbeda dengan Pilkada dalam sistem Demokrasi. Sistem Islam patut dijadikan pilihan. Agar lahir para pemimpin yang amanah dengan proses efisien, sesuai hukum syara’, dan berbiaya murah. Rakyat tak perlu ribet, partai politik tak perlu sikut kanan-kiri demi rebutan kursi kekuasaan. Partisipasi rakyat akan tinggi dan kontrol terhadap pemimpin daerah akan mudah. Allahu ‘alam Bis Shawab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.