8 Mei 2024

Dimensi.id-Apa yang keluar dari mulutnya sering tidak sesuai dengan fakta yang ada. Kata-katanya juga sering berubah-rubah sehingga tidak heran jika Aliansi Mahasiswa UGM kabarnya menobatkan Presiden RI Joko Widodo sebagai juara umum lomba inkonsistensi. Akun Twitter yang mengatasnamakan @UGMBergerak itu memberikan ucapan selamat kepada Jokowi atas kemenangannya sebagai juara lomba ketidaksesuaian omongan dengan kenyataan. (https://depok-pikiran–rakyat-com.).

Bukankah selama ini banyak yang mengkritik malah diserang buzzer-buzzer istana yang dibayar mahal berdasarkan pengakuan salah satu buzzer. Bahkan sebagian dilaporkan dan diproses hukum karena berani mengkritik penguasa rezim. Sungguh otoriter bahkan melebihi order baru sehingga Kwik Kian Gie  tidak berani menyampaikan kritikanya pada rezim.  Jadi sangat aneh jika Pak Jokowi minta dikritik.

Jika pemerintah mengharapkan Dikritik maka UU ITE, undang- undang karet yang sering digunakan untuk menjerat lawan politik rezim harus dicabut.  Bagaimana bisa minta Dikritik sementara rakyat tidak memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya karena ancaman bagi siapa yang berani membenci penguasa. Disatu sisi minta Dikritik tapi disisi lain ada ancaman bagi siapa saja yang kritis.

Apalagi buzzer buzzer bayaran siap untuk menyerang dengan kata-kata kebencian dan membully siapa saja yang berani mengkritik pemerintah. Setidaknya itulah yang dirasakan rakyat yang tidak memiliki kebebasan menyampaikan aspirasinya dan kritikan pada pemerintah.

Sungguh mengherankan jika tiba-tiba pemerintah minta Dikritik. Bermain ganda, dan bermuka dua melekat pada rezim dzalim dan anti kritik. Kata-kata yang terucap tidak sesuai dengan apa yang dilakukan.

Rakyat semakin tidak percaya dengan apa yang disampaikan rezim. Sehingga sulit bagi rezim untuk mengajak rakyatnya untuk bersama-sama melawan pandemi dan keluar dari masalah karena permasalahanhya ada pada rezim yang kehilangan kepercayaan dari rakyat.

Sebagai contoh, terjadi penolakan dari rakyat bahkan dari wakil rakyat saat pemerintah meluncurkan program vaksin covid-19. Rakyat enggan divaksin meskipun gratis. Bahkan label rezim anti kritik sudah melekat pada rezim. Ditambah lagi inkonsisten yang tidak sinkron antara kata-kata dan perbuatan membuat rakyat semakin tidak percaya.

Pajabat atau pemimpin satu negara harus memiliki hati besar untuk menerima masukan. Pemimpin besar tidak boleh bertelinga tipis sehingga mudah tersinggung. Siap untuk Mendengar keluhan rakyat, sekalipun dengan bahasa beranggam dan terkadang menyakitkan. Pemimpin jangan hanya suka dipuji tapi tidak siap untuk dicaci.

Perlu untuk dipahami bahwa pujian akan membawa pada kebaikan. Bahkan sering pujian akan membuat seorang pemimpin lupa diri. Dan tidak jarang cacian dan kata-kata yang menyakitkan bisa menjadi kritikan pedals bagi penguasa untuk berbenah atas kesalahannya yang sudah mengabaikan tugas sebagai pengayom masyarakat dan yang menjamin keananan dan kesejahteraan rakyatnya.

Memang idealnya seorang pemimpin siap untuk dikritik dan bahkan harus berterima kasih pada rakyat kritis yang mau mengkritik. Tapi keinginan untuk dikritik jangan hanya diucapkan dengan kata-kata tapi harus ditunjukkan dengan perbuatan. Kritikan harus diapresiasi bukan malah dianggap musuh yang harus dihabisi. Ruang publik untuk mengkritik harus tersedia tanpa harus ada ancaman untuk diperkarakan hukum.

Khalifah Abu Bakar selaku pemimpin pertama negara Islam pasca wafatnya Rasulullah menerima amanah Khalifah dengan berat dan penuh ketakutan pada Allah. Dalam pidato pertamanya pasca menerima bai’at, ia berpidato dengan sebuah pidato yang masyhur, “Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku …”.

pula Khalifah Umar Bin Khatab memberikan keteladanan yang baik dalam kepemimpinan. Beliau justru senang ketika dikritik oleh rakyatnya, karena sadar kritik sejatinya bisa mendatangkan maslahat bersama. Diambil contoh ketika Umar Bin Khatab pernah di kritik oleh seorang perempuan secara terbuka. Beliau tak marah, justru berterima kasih.

Kesadaran hubungan dengan Tuhannya, membuat seorang pemimpin takut berbuat salah dan mendzolimi rakyatnya dalam kepemimpinanhya, sehingga membuat dia senang jika ada yang mengkritik. Namun, pemimpin dalam sistem demokrasi lebih mengedepankan pada keinginnannya untuk berkuasa.

Dia takut bukan karena harus mempertanggung jawabankan pada Allah SWT selama dalam kepemimpinanhya tapi lebih pada ketakutan kehilangan kekuasaannya, sehingga menganggap orang-orang kritis yang berseberangan dengan kebijakan penguasa rezim dianggap musuh yang harus dihabisi dengan ancaman ataupun dengan bullyan yang dilakukan oleh buzzer-buzzer istana yang tidak membiarkan tuannya untuk dikritik.

Jadi sistem demokrasi hanya mendorong para pemimpin anti kritik karena tujuannya dalam berpolitik hanya untuk kekuasaan. Sebaliknya sistem Islam akan melahirkan pemimpin yang suka dikritik.

Penulis: Mochamad Efendi

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.