6 Mei 2024

DimensiID-Semua orang berharap pandemi ini segera berakhir. Selain telah merenggut banyak nyawa, wabah covid-19 juga telah membuat jutaan orang terdampak secara ekonomi. Jilid I pandemi tahun 2020, setidaknya telah mengakibatkan gelombang PHK massal, UMKM mandek dan banyak masyarakat kehilangan pekerjaan. Tak hanya korban Covid-19 yang banyak berjatuhan, tapi korban ‘dampak’ pademi pun tak kalah banyaknya, misalnya korban yang meninggal karena kelaparan.

Dampk primer terkait jumlah nyawa yang melayang sudah tidak diragukan lagi besarnya, belum lagi dampak sekunder hilangnya pendapatan masyarakat, ketidak-efektifan pembelajaran metode daring dan meningkatnya tindak kriminal dengan berbagai motif.

Tapi jangan heran, ternyata ada orang yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadinya. Kepentingan pribadi disatu sisi mengabaikan dampak buruk bagi orang lain.

Pertama, kasus fenomenal korupsi dana bansos oleh Menteri sosial Juliari Batubara. Dana 17 M berhasil ia curi dari anggaran bantuan sosial yang seharusnya didistribusikan untuk masyarakat terdampak pandemi.

Kedua, meskipun bukanlah kasus korupsi setidaknya juga merugikan orang lain. Ini berkaitan adanya permainan kabijakan oleh pemerintah daerah dalam menetapkan honor untuk pejabat daerah yang terlibat dalam penanganan korban Covid-19. Sejumlah pejabat yang tergabung dalam tim pemakaman jenazah Covid-19 Kabupaten Jember menerima honor fantastis dari kematian pasien Covid-19. Jumlah honor yang diterima oleh masing-masing pejabat sebesar 70,5 Juta. Besaran honor tersebut dihitung dari banyaknya kematian pasien Covid-19 dan diberikan atas dasar SK Bupati No. 188.45/107/1.12/2021 tertanggal 30 Maret 2021 tentang Struktur Tim Pemakaman Jenazah Covid-19. Untuk setiap pasien Covid-19 yang meninggal, mereka menerima honor Rp 100.000. (Kompas.com)

Meskipun bukan kasus korupsi, namun tindakan tersebut masuk kategori moral hazard, sebagaimana yang dikatakan oleh Hermawan Saputra, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI).

“ Wah moral hazard, tidak tepat itu. Itu bisa-bisanya, bagaimana bisa itu menjadikan orang meninggal sebagai sumber pendapatan. Ini sesuatu yang harus diinvestigasi,” katanya (27/8). (Merdeko.com)

Karena beberapa pekan terakhir terjadi lonjakan pasien Covid-19, sehingga honor yang diterima tim pun semakin besar. Honor yang diterima 4 (empat) pejabat daerah yang terdiri dari Bupati, Sekretaris Daerah, Plt. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember dan Ka. Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Jember jika ditotal senilai 282 Juta. Luar binasa.

Terlepas dari beban diluar jam kerja sehingga layak mendapat honor, pejabat daerah tersebut sudah diberikan gaji tetap oleh pemerintah. Dalam kondisi pailit seperti hari ini seharusnya yang diutamakan adalah kepentingan sosial bukan kepentingan pribadi mencari kesempatan dalam kesempitan. Sangat banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan untuk mencukupi kebutuhan perut sehari-hari. Jika anggaran honor senilai ratusan juta tersebut masuk segelintir kantong pejabat daerah, alangkah buruknya distribusi kesejahteraan di negeri ini. Di saat masyarakat berduka dan bersedih karena kehilangan anggota keluarga, kehilangan pekerjaan dan bingung dengan cara apa mendapatkan makanan. Tapi disaat yang sama, ada pejabat daerah yang tega memanfaatkan situasi untuk memperoleh keuntungan. Kata pepatah ‘bahagia diatas penderitaan orang lain’.

Potret pemimpin seperti ini adalah hal wajar dalam pemerintahan negara demokrasi. Yang menjadi perhatian utama seorang pemimpin bukanlah kepentingan rakyat akan tetapi kekuasaan. Ambisi terhadap kekuasaan dalam politik demokrasi sudah terlihat jauh-jauh hari sebelum menjabat atau ketika masih berstatus sebagai kandidat. Berbagai cara dihalalkan untuk memperoleh legitimasi masyarakat dalam memenangkan kontestasi politik. Bahkan suap-menyuap dalam hal ini sudah menjadi budaya dan hal biasa. Belajar dari kasus suap yang menjerat Ketua Komisioner KPU, Wahyu Setiawan pada tahun silam. Sudah cukup membenarkan adanya praktik politik kotor di negeri ini. Jika untuk mendapatan kursi kekuasaan saja sudah semahal dan serumit ini, bagaimana tidak ketika sudah menjabat menjadi pemimpin akan berusaha mencari cara untuk menambal ongkos politik yang telah dikeluarkan. Jabatan di kursi pemerintahan akan menjadi peluang untuk mengembalikan modal, tentu dengan melakukan banyak cara baik yang halal maupun haram. Sebut saja memanipulasi anggaran dalam pengadaan berbagai proyek atau bisa juga dengan melakukan korupsi secara langsung.

Tidak hanya kotor, tapi politik di alam demokrasi sekuler juga berbiaya mahal. Ini membuka peluang para pejabat melakukan praktik KKN. Adanya kasus pejabat yang memanfaatkan bencana pandemi untuk mempertebal kantong juga salah satu dampak dari sistem demokrasi yang meniscayakan balik modal atas ongkos politik yang mahal. Seorang pejabat digaji dengan nominal yang tidak seimbang dengan modal yang telah ia keluarkan, berpotensi bagi pejabat untuk memanfaatkan jabatannya demi meraih keuntungan. Bahkan tindakan tersebut dilakukan tanpa hati nurani, tanpa melihat siapa yang ia rugikan atas tindakan amoral tersebut.

Fenomena semacam ini sangat bersebrangan dengan negara yang menerapkan syari’at Islam. Negara yang menerapkan Islam sebagai aturan hukumnya sangat memperhatikan esensi sebuah kepemimpinan. Politik pemerintahan dalam pandangan Islam adalah soal pe-riayah-an (pengaturan) urusan ummat, bukan soal kekuasaan. Seorang pemimpin dalam negara Islam memiliki tanggung jawab sebagai junnah (perisai/peindung) atas ummatnya. Melalui kepemimpinannya ia bertanggung jawab atas kehidupan dan urusan ummat. Ia akan senantiasa melihat sumber hukum syariat ; Al Qur’an dan As Sunnah dalam menjalankan roda kepemimpinan dan mengatur urusan ummatya. Bukan hawa nafsu yang membimbingnya melainkan perintah hukum syara’. Sehingga bisa dipastikan seorang pemimpin dalam negara Islam akan berupaya untuk memikirkan kepentingan rakyatnya di atas kepetingan pribadinya.

Sangat tidak mungkin ditemukan seorang pejabat dalam sistem pemerintahan/negara Islam yang melakukan tindakan moral hazard, meraup keuntungan diatas penderitaan rakyatnya.

Ketika Khalifah Ummar bin Khathab menjabat sebagai seorang Khalifah, ia dibersamai sabatanya Aslam pada suatu malam berkeliling kota untuk memantau kondisi rakyatnya. Dalam kisah diceritakan bahwa dari kejauhan, beliau mengamati ada sebuah gubuk yang diluarnya terlihat ada seorang Muslimah sedang sibuk mengaduk aduk panci diatas tungku api. Khalifah dan sahabatnya terus memperhatikan, hingga saat itu terdengar suara tangisan anak seorang Muslimah tadi dari dalam gubuk. Sang anak meronta kepada ibunya (Muslimah tadi) karena merasa sangat kelaparan. Sang ibu dari luar gubuk menghibur anak dengan mengatakan bahwa makanannya sedang dimasak dan sebentar lagi akan matang. Khalifah tidak tega mendengar rintihan sang anak, hingga membuatnya tergerak mendekati sang Muslimah yang sedang sibuk mengaduk-aduk panci. Ketika Khalifah Ummar mendekat, beliau bertanya apa yang sedang ia lakukan di luar gubuk, dan kenapa ia tidak memberikan makanan yang ia masak kepada anaknya. Sang Muslimah tersebut dengan suara sedih mengatakan bahwa yang ia aduk-aduk bukanlah makanan, melainkan batu. Hal tersebut ia lakukan lantaran ia tidak punya makanan sehingga untuk menenangkan anaknya agar tidak menangis menahan lapar sehingga ia melihat ibunya seolah sedang memasak makanan untuknya. Singkat cerita, setelah mendengar jawaban Wanita Muslimah tadi, Khalifah meninggalkannya dan bergegas menuju Baitul Maal untuk mengambil cadangan makanan yang tersimpan disana untuk diberikan kepada Wanita Muslimah. Saat Aslaam hendak membantu membawakan karung yang berisi sembako tersebut, Khalifah Ummar menolaknya dengan tegas.

Khalifah Ummar berkata kepada sahabatnya “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”

Khalifah berlaku demikian karena ia sangat takut akan tanggung jawabnya di hadapan Allah kelak atas kepemimpinannya.  Khalifah memikul langsung karung yang berisi sembako dengan berjalan kaki dan mengantarnya ke tempat Wanita Muslimah. Padahal jarak antara Baitul Maal dengan tempat Wanita Muslimah tinggal cukup jauh.

Inilah secuil kisah Khalifah Ummar bin Khathab, kisah seorang pemimpin yang menjadikan syariat Islam sebagai aturan hukum dalam mengatur urusan ummat. Kisah ini sangat masyhur di kalangan ummat islam karena mampu menggetarkan jiwa siapapun yang membaca kisah ini. Keteladan kepemimpinan Ummar bin Khathab yang sangat mustahil kita temukan dalam kehidupan hari ini, yakni dalam sistem negara yang menerapkan demokrasi. Sungguh kita merindukan kepemimpinan layaknya kepemimpianan Khalifah Ummar bin Khathab. Tentu kepemimpinan ini tidak akan kita temukan dalam negara demokrasi. Karena demokrasi adalah aturan hukum buatan manusia yang lemah, cacat dan terbatas, berbeda dengan syariat Islam yang sempurna dan paripurna sebagai aturan hukum buatan Sang Pencipta Allah azza wa jalla. Negara demokrasi meniscayakan lahirnya pemimpin  kapitalis-materialis. Hanya dengan menerapkan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam hal politik pemerintahan, maka Allah penuhi janjiNya untuk menurunkan rahmatNya sesuai dalam QS al A’raf : 96

“ Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. “

Wallahu ‘alam bi asshowab.[TH]

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.