6 Mei 2024

Penulis : Dwi Perwita Sari, S.Pd (Guru dan Aktivis Dakwah Islam)

Dimensi.id-Ditengah wabah yang belum kunjung menemukan titik akhirnya, kini beban masyarakat berdatangan silih berganti. Belum selesai dengan kegundahan karna mendidik anak sendiri ditambah lebaran di kala pandemi. Satu persatu telah terlewati dan kini memasuki kembali masa sulit yang membuat masyarakat semakin menjerit, yaitu terkait kenaikan harga listrik  yang semakin membukit dikarnakan keluhan dari berbagai golongan masyarakat.

Akibat dari banyaknya keluhan masyarakat diberbagai media sosial membuat PT. PLN (Persero) angkat suara. Bahwasannya pihak PT. PLN (Persero) memastikan seluruh anggapan itu tidak benar. PLN tidak pernah menaikkan tarif listrik karena bukan kewenangan BUMN. (detik.com,7/6/2020).

Direktur Human Capital Management  PT PLN (Persero), Syofvi F. Roekman menegaskan, bahwa pihaknya juga tidak pernah melakukan manipulasi dalam penghitungan tarif. Penghitungan dilakukan berdasarkan hasil meteran yang juga bisa dilakukan oleh pelanggan sendiri. “Prinsipnya kami tidak pernah melakukan adjustment terhadap tarif karena itu domainnya pemerintah, dan bukan domain PLN,” ujarnya melalui video conference, Sabtu (6/6/2020).
Disisi lain, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Syahril mengatakan, perhitungan yang dilakukan PLN secara transparan. Oleh sebabnya, masyarakat yang tagihannya mengalami kenaikan bukan karena manipulasi atau kenaikan tarif melainkan karena pembatasan sosial.

Menurut Bob, selama pandemi Covid-19, masyarakat diharuskan untuk melakukan kegiatan dari rumah baik untuk kegiatan bekerja hingga sekolah. Dimana tidak hanya orang tua tapi anak dan anggota keluarga lainnya harus di rumah. Maka otomatis penggunaan listrik akan bertambah sehingga ada kenaikan. Lanjutnya, sejak ada kebijakan pembatasan sosial oleh Pemerintah, PLN memang tidak melakukan pencatatan meter langsung ke pelanggan karena mempertimbangkan kesehatan. Oleh karenanya penghitungan tagihan pada Maret dan April dilakukan menggunakan rata-rata pemakaian 3 bulan terakhir.

Pencatatan meteran kembali dilakukan pada bulan Mei untuk tagihan Juni sehingga menggunakan tarif pasti bukan rata-rata. Dengan demikian seolah terlihat ada kenaikan tarif listrik padahal memang itu tarif yang sebenarnya yang memang sudah terjadi kenaikan sejak awal PSBB.

“Pada waktu pemakaian bulan Maret dan April, dipakai sebenarnya lebih tinggi. Tapi dalam PLN melihat meter yang tertera di situ melihat 3 bulan belakang yang (kondisi) normal, makannya Mei membengkak. Padahal PLN paling transparan baca meternya karena diletakkan di tempatnya pelanggan. Artinya pelanggan setiap saat bisa mengecek,” tegasnya. (cnbcindonesia.com,6/6/2020)

Tidak berenti sampai disitu, bahkan dari kalangan artis pun mengeluhkan hal yang sama seperti Tompi yang mengaku terkejut dengan tagihan listrik kantornya. Pasalnya, kantor itu sudah kosong karena hampir 3 bulan tidak dipakai dan tutup. Selain terkait harga yang melonjak, keluhan  juga datang dari pasangan suami-istri Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang mengeluhkan seputar aliran listrik bermasalah yang membuat rumah mereka kerap kali mati listriknya. Sebab menurut mereka dengan aliran listrik berdaya 33 ribu, seharusnya sudah cukup untuk rumahnya.

Tak siap-siap penderitaan masyarakat di sistem Kapitalis-Liberal yang menjadikan segala sesuatunya merupakan ajang bisnis, bukan lagi tentang kesejahteraan masyarakat yang utama. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesulitan rakyat dan sektor strategis layanan publik apalagi dimasa pandemi seperti saat ini.

Yang  seharusnya sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menanggung beban rakyatnya hadapi tagihan listrik yang membengkak. Namun sayang, yang terjadi saat ini, pemerintah abai dan berlepas diri dari segala penderitaan yang ada, mulai dari awal pandemi kita rasakan akan tidak maunya pemerintah menanggung makan rakyatnya sehingga sulit mengambil langkah ekstrem untuk melockdown negeri dari sumber-sumber pandemi, tidak adanya penangguhan kredit bank dan leasing yang membuat rakyat tercekik dari berbagai sisi, dana bansos pun tak luput dari pemangkasan dan tidak tepat sasaran.

Bukankah kita melihat bagaimana sistem ini menunjukkan wajah aslinya dalam menyelesaikan permasalahan. Bukan menyelesaikan permasalahan yang ada, justru menambah permasalahan baru lainnya. Bukankah seharusnya kita beralih kesistem yang sudah teruji selama 1.300 Tahun lamanya dalam menyelesaikan problematika yang ada?

Islam telah menetapkan bahwa pemimpinlah yang mengatur produksi dan distribusi energi (termasuk listrik) untuk kepentingan rakyat. Negara tidak boleh mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum ini. Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi biaya produksi dan distribusi barang-barang tersebut (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla)

Tarif yang diambil dari rakyat juga dalam nilai yang wajar, tidak boleh melebih-lebihkan hingga membuat rakyat sulit untuk membayar tagihannya. Negara juga tidak boleh memadamkan listrik seenaknya tanpa banyak pertimbangan sebelumnya yang akan merugikan rakyat. Negara juga haram menyerahkan kepemilikan umum atau penguasaannya kepada pihak swasta atau asing berdasarkan hadis Rasulullah saw:

“Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : padang gembalaan, air, dan api.” (HR Ibn Majah)

Maka, untuk menyelesaikan masalah yang terus terjadi di tubuh PLN hingga merugikan rakyat sendiri dengan menghentikan liberalisasi energi dan mengembalikan seluruhnya ke tangan negara sebagai pengelola utama.

Listrik harus dikelola badan milik negara yang statusnya adalah institusi pelayanan, bukan dijadikan sebagai institusi bisnis. Konsekuensinya, badan milik negara yang mengelola listrik memang harus terus disubsidi negara.

Pertanyaannya, dari mana negara –dalam hal ini Indonesia– bisa mendanainya? Jawabannya mudah:  Dari kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah ruah.

Liberalisasi energi masih terus terjadi disebabkan masih bercokolnya sistem kapitalisme-sekuler di negeri ini. Maka kita tidak akan pernah bisa keluar dari berbagai macam masalah, termasuk masalah listrik, karena disebabkan kapitalisme-sekuler itulah yang menjadi sumber masalah.

Jika rakyat merindukan kehidupan yang tenang, penerangan yang terang benderang, itu hanya didapatkan dalam naungan Islam (Khilafah). Sebagai contoh, bukti majunya peradaban Islam ialah pada masa Khilafah Bani Umayyah, Cordoba menjadi ibu kota Andalusia, pada malam harinya diterangi dengan lampu-lampu sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Ada sebuah masjid dengan 4.700 buah lampu yang menerangi, yang setiap tahunnya menghabiskan 24.000 liter minyak. (al-waie.id, 1/12/2017)

Bisa dipastikan, penerangan untuk fasilitas umum saja mendapatkan perhatian dari negara, apalagi penerangan untuk setiap rumah penduduknya, tentu menjadi prioritas utama bagi Khilafah.

Editor : Fadlli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.