19 Mei 2024

Penulis : Asha Tridayana

Dimensi.id-Pemerintah DKI Jakarta akan meniadakan isolasi mandiri khusus bagi pasien positif Covid-19 bergejala ringan dan orang tanpa gejala (OTG). Mereka harus menjalani isolasi di tempat yang disediakan pemerintah, baik rumah sakit, Wisma Altlet, dan lokasi lainnya, bukan di rumah masing-masing. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pihaknya tengah menggodok aturan untuk mengisolasi orang di tempat milik pemerintah. Mereka yang dianjurkan isolasi mandiri di fasilitas milik pemerintah hanya penduduk di permukiman padat. Sementara warga yang rumahnya cukup memadai bisa isolasi mandiri di tempat masing-masing.

Kebijakan ini didukung oleh dua epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono dan Pandu Riono, yang sebelumnya pernah melontarkan kritikan soal isolasi mandiri. Tri mengingatkan jumlah pasien positif Covid-19, tak terkecuali di Jakarta, bisa membeludak jika masih diterapkan isolasi mandiri. Sebab, isolasi mandiri tidak dapat menjamin pasien Covid-19 berdiam di rumah, apalagi tanpa adanya pengawasan ketat. Selain itu, Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di DPRD DKI, Idris Ahmad juga menilai bahwa rencana ini sudah tepat meski terlambat dan meminta pemerintah DKI tidak menjadikan langkah tersebut sekadar wacana.

Namun, pro kontra dari warga Ibu Kota pun muncul. Ada yang manut dengan ketentuan ini, tapi pemerintah DKI harus menjamin seluruh kebutuhannya serta anak-anak. Tapi, seorang pemilik toko bahan pangan bernama Ayu menilai, sebaiknya pemerintah DKI tetap mengizinkan pasien memilih antara isolasi mandiri di rumah atau fasilitas milik pemerintah. Karena tidak yakin pemerintah DKI bisa menjamin semua keperluan pasien. Kalaupun ada tunjangan, kebutuhan setiap orang berbeda-beda.

Hal senada juga disampaikan oleh wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra, Mohamad Taufik, yang tidak setuju dengan rencana Gubernur DKI Jakarta ini. Menurutnya hanya akan menambah beban fasilitas kesehatan. Karena sampai akhir Agustus 2020 saja, 70 persen tempat tidur isolasi dan ruang ICU di rumah sakit rujukan Covid-19 Jakarta sudah terisi. Sebelumnya, Anggota DPRD DKI Fraksi PDIP Gilbert Simanjuntak juga mengecam kebijakan larangan isolasi mandiri. Menurutnya langkah Pemprov DKI gegabah dan hanya menambah beban tenaga medis yang sudah selama enam bulan menjadi garda terdepan melawan Covid-19. Gilbert pun lantas mengungkit kasus kematian 100 dokter di Indonesia ketika berjuang melawan penyakit menular ini. Jangan sampai peristiwa ini kembali terulang karena beratnya tanggung jawab yang harus diemban (akurat.co 04/09/2020).

Berbagai pendapat muncul terkait rencana pemerintah DKI Jakarta tersebut dan dianggap sebagai suatu pilihan yang buruk. Karena realita selama ini menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal menyiapkan sejumlah tenaga medis, anggaran, dan fasilitas kesehatan untuk menangani para korban covid-19. Padahal secara logis, pilihan tersebut merupakan opsi terbaik yang semestinya diambil sejak awal kemunculan covid-19. Sehingga sebaran virus dapat dicegah dan dihentikan sedini mungkin. Tidak seperti sekarang ini, korban positif sudah membludak bahkan tanpa disertai gejala maka semakin terkendala dalam mengendalikan penularan virus. Kondisi tersebut menjadikan masyarakat enggan dan semakin ragu dengan rencana pemerintah. Karena dirasa sudah sangat terlambat direalisasikan, sementara setiap individu masyarakat harus tetap memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan pemerintah belum tentu dapat menjamin keberlangsungan hidup masyarakatnya.

Permasalahan tersebut menjadi sederet bukti bahwa kegagalan sistem kapitalisme demokrasi yang diterapkan saat ini semakin nyata. Terlihat dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut nyawa rakyatnya pun salah perhitungan. Padahal keselamatan masyarakat seharusnya menjadi prioritas dan diupayakan semaksimal mungkin tanpa memikirkan untung rugi yang didapatkan dari setiap kebijakan. Namun, realitanya rakyat dibuat berkali-kali kecewa karena dinomerduakan bahkan diabaikan keselamatannya. Negara yang semestinya menjadi pelindung rakyat justru tidak peduli dan seolah menganggap baik-baik saja kondisi masyarakat saat ini.

Lain halnya jika Islam diadopsi dan diterapkan seutuhnya. Karantina pembawa virus dan area tertentu yang menjadi sumber sebaran akan segera dilaksanakan. Sebagai upaya mencegah tersebarnya virus meluas ke wilayah-wilayah lain. Bukan lockdown total melainkan blanket lockdown sehingga wilayah-wilayah lain yang bebas virus masih dapat menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Roda perekonomian tetap berputar, tanpa ancaman resesi dan sebagainya. Kegiatan sekolah pun dapat berjalan semestinya, tanpa kesulitan pengajaran tatap muka langsung. Belum lagi, tenaga kesehatan dapat merawat pasien positif covid-19 dengan fasilitas memadai. Dan pastinya tidak kewalahan seperti sekarang, bahkan nyawa tenaga kesehatan pun ikut terancam.

Kebijakan tersebut diterapkan negara dengan landasan kesadaran bahwa memang negaralah yang berkewajiban menjadi pelindung dan pelayan rakyat. Bukan hanya mencari keuntungan di setiap kebijakan, tapi benar-benar menjadikan rakyat sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Maka dari itu, penerapan sistem Islam mewajibkan negara menyediakan semua fasilitas dalam menanggulangi berbagai musibah seperti covid-19 saat ini.

Bagi wilayah yang terdampak virus atau area yang diisolasi, negara menyediakan kebutuhan hidupnya. Seperti makanan, minuman, obat-obatan, masker, handsanitizer, layanan kesehatan yang memadai dan lain sebagainya dalam rangka memulihkan dan menyesehatkan kembali korban positif covid-19. Sementara di wilayah yang tidak diisolasi, negara mengadakan pengecekan kesehatan dan mengedukasi masyarakatnya untuk selalu menerapkan pola hidup sehat guna menjaga imunitas tubuh. Selain itu, negara juga berupaya menemukan vaksin covid-19 dengan berbagai penelitian yang dilakukan. Ditambah lagi, pengontrolan kegiatan ekspor impor barang atau aktivitas-aktivitas lain seperti sektor pariwisata. Dalam rangka meminimalisir kontak dengan negara lain terlebih negara terdampak covid-19.

Berbagai kebijakan tersebut dapat diwujudkan dengan penggunaan sumber anggaran dari kas Baitulmal seperti yang telah ditetapkan syara’. Namun, jika belum mencukupi maka negara boleh menarik dana dari masyarakat mampu untuk menutupi kekurangannya. Hal tersebut dilakukan saat dibutuhkan saja, tidak terus menerus. Karena negara tetap yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kemaslahatan rakyatnya. Sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw :

عن أبي مريمَ الأَزدِيِّ رضي اللَّه عنه ، أَنه قَالَ لمعَاوِيةَ رضي اللَّه عنه : سَمِعتُ رسولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم  يقول : من ولاَّهُ اللَّه شَيئاً مِن أُمورِ المُسلِمينَ فَاحَتجَبَ دُونَ حَاجتهِمِ وخَلَّتِهم وفَقرِهم ، احتَجَب اللَّه دُونَ حَاجَتِه وخَلَّتِهِ وفَقرِهِ يومَ القِيامةِ » فَجعَل مُعَاوِيةُ رجُلا على حَوَائجِ الناسِ . رواه أبو داودَ ،

“Barangsiapa diserahi urusan manusia lalu menghindar melayani kamu yang lemah dan mereka yang memerlukan bantuan, maka kelak di hari kiamat, Allah tidak akan mengindahkannya.” (HR. Abu Dawud).

Demikianlah ketika sistem Islam diterapkan secara total dan keseluruhan. Termasuk dalam mengatasi wabah virus covid-19. Dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut dapat memutus mata rantai penyebaran virus secara efektif. Terlebih korban positif juga dapat tertangani dengan optimal. Sehingga  virus covid-19 ini dapat diatasi sebelum meluas ke wilayah-wilayah lain, bahkan negara lain.

Wallahu’alam bishowab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.