6 Mei 2024

Penulis : Indi Lestari

Dimensi.id-Bu, ibu sudah pada bayar listrik apa belum?

ada yang berubahkah, tambah ringan apa tambah menanjak, dompetnya masih aman. Misteri memang di tengah pandemi gonjang-ganjing keringanan pembayaran listrik akan diberikan kepada masyarakat tapi faktanya makin bikin ketegangan dalam pengeluaran. Keringanan pembayaran atau penggratisan memang hanya dirasakan golongan keluarga yang masih  menggunkan kwh 450 VA dan 900 VA bersubsidi yang mendapat potongan, ya kalau yang non subsidi sudah pasti tidak ada kabar terpapar covid-19. Padahal jika yang dibicarakan adalah terpapar bukankah semua kalangan juga terpapar.

Sangat membingungkan bukannya dapat keringanan tapi masyarakat tambah panik karena datang bulan baru tagihan listrik makin melonjak, besar harapan dapat potongan malah dapat lonjakan hampir 100%. Di sosial media begitu ramai kicauan keluhan dan protes masyarakat, mereka merasa sudah dalam batas minimun pemakaian. Tapi tagihan baru kekhawatiran baru, tagihan membengkak. Katanya sih karena perhitungan skema rata-rata selama 3 bulan, bahkan argumentasinya karena ada perubahan sistem perhitungan yang semula berdasarkan angka catat meter menjadi angka rata-rata.

Negeri yang berada dalam perekonomian kapitalisme sudah pasti perhitungannya untung dan rugi, bukan lagi mengurusi. PLN sebagai BUMN yang menjadi harapan untuk bisa memberikan hak atas sumber energi energi listri bagi setiap warga negara dengan mudah dan murah, kini hanya bertindak sebagai regulator saja. Adanya unbundling vertikal yang merupakan pemecahan tubuh secara fungsi yaitu fungsi pembangkit, transmisi dan distribusi yang awalnya ketiga fungsi ini merupakan satu birokrasi, telah dipecah menjadi birokrasi atau instansi sendiri. Alhasil pemecahan ini membuka lebar pintu bagi para korporasi asing untuk masuk berkompetisi mengeruk untung dalam sektor listrik nasional dan semakin mempersempit kehidupan rakyat.

Ekonomi kapitalisme menempatkan korporasi di posisi yang istimewa, rakyat hanyalah para pembeli jika dia yang mampu membeli jika tidak habislah. Listrik sudah barang tentu merupakan kepemilikan umum, setiap warga negara bisa mendapatkannya dengan cuma-cuma, ternyata hanya Islam lah yang menganggap bahwa listrik merupakan kepemilikan umum yang tergolong kategori api atau energi, sudah barang tentu tidak boleh dimiliki swasta bahkan perorangan, yang ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw :

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal padang rumput, air dan api (energi).” [HR.Ahmad]

Ketika kepemilikan umum dalam pengelolaan nya haruslah negara yang mengelola, oleh seorang pemimpin (khalifah) dan hasil dari pengelolaan sepenuhnya dikembalikan kepada masyarakat yang sudah menjadi hak nya.Tidak ada pembeda untuk mengambil hasilnya masyarakat kota atau di pedesaan, semuanya mendapat hak yang sama, sumber energi yang sama, sehingga tidak akan ada lagi wilayah yang tidak ada pemasok listriknya.

Negara dengan pemimpinnya (khalifah) dalam kepemimpinannya harus menempatkan dirinya sebagai rain (pengurus/penggembala) sekaligus junnah (pelindung) bagi umat. Bukan sebagai pengusaha dan customer. Dan kepemimpinan ini hanya akan terwujud dengan tegaknya Khilafah Islamiyah. Karena pemimpin menyadari beratnya pertanggungjawaban di sisi Allah SWT. Jaminan pengurusan dan perlindungan pun sudah ada sepaket dengan penerapan hukum-hukum Allah atas dasar iman.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.