19 Mei 2024

Penulis : Pipit Agustin

Dimensi.id-Tak hanya Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), rakyat Indonesia berkabung atas meninggalnya para dokter Tanah Air selama pandemi COVID-19.

Data per 30 Agustus 2020 malam, PB IDI mencatat sudah 100 dokter yang gugur terkait COVID-19. Selang empat hari, tepatnya Kamis, 3 September 2020, daftar dokter yang meninggal karena COVID-19 bertambah lima. Berarti, sudah 105 dokter yang gugur dalam kurun waktu sekitar enam bulan. (Liputan6.com, 4/9/2020)

Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto menuding banyaknya tenaga medis yang gugur tersebut, lantaran kurang disiplinnya penegakan protokol kesehatan oleh tenaga medis.

“Jadi kenapa masih terkena (Covid-19), ya pasti karena tidak disiplin, di situ celahnya,” kata Terawan, dilansir dari republika.co.id (27/8/2020).

Menurut Menkes, kunci dari memutus rantai penularan Covid-19 adalah kalau semua orang memakai masker dan menjaga jarak. Risiko penularan turun mendekati 1,5 persen jika seseorang memakai masker dan bertambah menjadi 0 persen jika ditambah jaga jarak.

Penulis sangat menyayangkan respons Menkes. Statemennya sebagai pejabat publik sangat menyakitkan hati. Bukannya empati dan mengevaluasi kebijakan, Menkes justru menyalahkan para dokter yang menjadi korban. Blame the victim. Miris sekali.

Semua orang tahu bahwa awal masuknya pandemi di negeri ini dikarenakan pemerintah abai dalam menerapkan penguncian areal wabah. Pemerintah malah membuka lebar pintu masuknya wabah, bahkan dari Cina sebagai pusat bermulanya wabah.

Selain itu, rantai penularan terus mengular liar. Kondisi ini lebih tepat menggambarkan abainya pemerintah terhadap tindakan isolasi dan pengobatan memadai bagi yang terinfeksi. Rendahnya testing dan lemahnya upaya tracing terlihat dari tingginya angka kematian dan cepatnya rantai penularan.

Tidak sampai di situ, masyarakat yang apatis dan cenderung meremehkan pandemi adalah buah dari buruknya edukasi yang mencerdaskan dari pemerintah. Ditambah  pemerintah yang alam kadarnya dalam menjamin pemenuhan kebutuhan hidup termasuk perawatan kesehatan masyarakat.

Wajar jika pada akhirnya bermunculan klaster-klaster baru di banyak area publik, tidak terkecuali di rumah sakit-rumah sakit. Alhasil, banyak nakes dan dokter terinfeksi.

Makin tingginya laju peningkatan kasus positif baru tidak diiringi upaya sebanding dari pemerintah. Padahal, secara riil, negara memiliki kapasitas untuk itu, yaitu dengan meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan terstandar.

Kematian memanglah musibah, tetapi musibah yang lebih besar adalah matinya nurani. Sejak awal pemerintah tidak menyediakan APD yang memadai secara merata bagi seluruh nakes. Mereka memakai APD seadanya melawan virus yang amat berbahaya.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Para dokter telah gugur. Dan kini masyarakat ‘dipaksa’ untuk tetap setia menanti hadirnya vaksin dan obat yang diharapkan manjur. Kondisi seperti ini tentu bukan sesuatu yang mudah bagi staf medis.

Sekarang, masyarakat membutuhkan aksi konkrit pemerintah. Sebagai wujud tanggung jawabnya dalam mengatur urusan warga negaranya. Saatnya pemerintah menyadari dan melakukan introspeksi kebijakan secara total. Kegagalan fantastis pemerintah dalam menghalau pandemi bukan hanya soal teknis, melainkan juga sistemis.

Kapitalisme yang dianut negeri ini begitu rapuh dan tak pernah tulus dalam menyelamatkan nyawa manusia. Cenderung berhitung laba-rugi. Nyata sekali ketika ‘nyawa’ ekonomi lebih diprioritaskan ketimbang nyawa rakyat. Melimpahnya anggaran untuk aneka program receh dan nirfaedah telah mengorbankan banyak nyawa tak berdosa.

Kapitalisme juga tidak kompatibel dalan mengatasi wabah. Negara menjadi disfungsi akibat dominasi korporasi dan turut campurnya asing mengintervensi kebijakan negeri. Alih-alih melengkapi segala sarana dan prasarana kesehatan sesuai standar berikut para dokternya, pemerintah sibuk ekspor APD dan berwacana impor dokter. Sungguh anggara terbuang sia-sia.

Semestinya, negeri ini memiliki sistem pendidikan yang tepat sehingga negara segera mampu mengatasi kekurangan dokter. Segala bentuk riset dan industri harus dibangun dalam rangka mencari obat dan menemukan vaksin yang manjur melalui uji klinis. Semua itu agar negeri ini bisa mandiri dan tidak mudah diintervensi asing dan aseng.

Belum lagi persoalan anggaran yang selama ini selalu menjadi momok di negeri ini. Semestinya negara memiliki konsep anggaran yang bersifat mutlak, ditopang bukan dari pajak, melainkan hasil pengelolaan SDA yang melimpah sebagai anugrah dari Allah SWT. Hal ini memungkinkan kemampuan finansial yang kuat sehingga negara memiliki anggaran yang sangat memadai untuk pembiayaan kesehatan dan kebutuhan pokok lain bagi rakyat.

Semua itu tidaklah mustahil jika negara mengadopsi Islam sebagai solusi menggantikan kapitalisme sekuler. Kuncinya adalah kemauan dan kesadaran. Semoga berbagai kesulitan hidup di tengah pandemi ini menyadarkan kita semua bahwa di atas langit masih ada langit. Di atas bumi ada Allah yang Maha Mengawasi. Bahwa tak satupun perbuatan hamba yang lepas dari pertanggungjawaban di hadapan-Nya kelak.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.