3 Mei 2024

Penulis : Merli Ummu Khila (Kontributor Media, Pemerhati Kebijakan Publik)

Dimensi.id-“Ora obah ora mamah’’ sebuah pepatah Jawa yang artinya tidak bekerja tidak bisa makan. Mungkin bagi sebagian masyarakat wacana new normal life merupakan kabar baik. Pasalnya sejak pandemi ini merebak setidaknya dari awal Maret lalu, keuangan keluarga mulai babak belur.

Namun kabar baik tersebut bisa jadi juga kabar buruk. Rencana pemerintah melonggarkan PSBB ditengah tingginya angka penyebaran tentu saja sangat beresiko. Ibarat makan buah simalakama. Namun apapun kebijakan pemerintah, masyarakatlah yang menjadi objek penderita.

Sedari awal munculnya pandemi memang negara kita sudah gagap dan gagal dalam upaya pencegahan dan penanganan terhadap pandemi Covid-19 ini. Saat korban wabah semakin meningkat, semakin kelimpungan mencari jalan keluar.

Setelah diberlakukan PSBB, perekonomian yang paling terdampak. Mulai dari perindustrian hingga perdagangan. Dari UKM hingga pedagang di pasar. Sepinya pembeli hingga pelarangan berjualan memunculkan permasalahan baru.

Seperti diketahui, yang paling terdampak di bidang perekonomian adalah pedagang khususnya pedagang pasar. Ketika diberlakukan PSBB, banyak sekali pasar yang harus ditutup sementara. Karena tingginya tingkat penyebaran virus Covid-19 di tempat kerumunan seperti di pasar.

Seperti dilansir oleh Okezone.com, 13/06/2020, Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) mencatat 529 orang pedagang positif virus corona. Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy mengakui pasar menjadi tempat kerumunan yang paling rawan. “Pasar memang tempat kerumunan yang paling rawan. Potensi untuk menjadi cluster sangat tinggi,” ujar Muhadjir saat dihubungi Okezone, Sabtu (13/6/2020).

Menghadapi kebijakan pemerintah sebagai pedagang sungguh delimatis. Ketika diberlakukan PSBB mereka terpaksa berhenti berdagang. Namun kebutuhan hidup tidak serta merta ikut berhenti. Pemenuhan kebutuhannya pun tidak berpindah tanggungjawab.

Hal yang sama pun dirasakan pemerintah. Berhentinya roda perekonomian sama dengan bertambahnya hutang. Bagaimana tidak, demi menutupi defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang semakin melebar. Sedangkan pemasukan negara nihil. Tidak ada jalan lain kecuali berhutang.

Demi menyelamatkan perekonomian akhirnya negara mengambil resiko tinggi yaitu mulai melonggarkan PSBB dengan wacana kelaziman baru. Lagi-lagi pedagang akhirnya harus berjibaku dengan pandemi ini. Diantara dua pilihan beresiko terpapar atau terancam lapar.

Begitulah gambaran pemerintahan saat ini. Ibarat hendak tenggelam namun tidak mendapatkan pegangan yang kokoh untuk diraih. Mengeluarkan kebijakan tanpa pertimbangan yang matang. Baik secara sains maupun kesiapan masyarakat.

Setiap kebijakan yang diambil tidak ada yang berpihak pada rakyat. Alih-alih memberikan bantuan untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Justru rakyat dibebani berbagai kenaikan tagihan seperti BPJS, tarif listrik serta yang baru-baru ini dibahas yaitu Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA). Mirisnya minyak dunia yang anjlok tidak membuat pemerintah menurunkan harga BBM.

Sebuah negara hendaknya mempunyai manajemen krisis dalam mengelola pemerintahan. Mempunyai perangkat yang mampu memcegah sebuah masalah. Menangani masalah yang terjadi serta melakukan perbaikan pasca krisis. Dan semua itu harus menjadi sebuah sistem yang paripurna tanpa intervensi pihak luar.

Hal ini tidak akan mampu diterapkan dengan sistem kapitalisme liberal. Karena ciri khas negara kapitalisme lebih cenderung menjadi perpanjangan tangan pemilik modal ketimbang sebagai pelayan rakyat. Pengelolaan daya alam alam didominasi swasta. Harga komoditi diserahkan pada kebijakan pasar.

Berharap perubahan dalam sistem ini ibarat menggantang asap. Hanya memperpanjang penderitaan rakyat.  Serta mewarisi anak cucu dengan segudang permasalahan. Ibarat mengurai benang kusut yang tidak kunjung bertemu ujung pangkalnya.

Disisi lain, ada sebuah jalan keluar yang terbaik. Peluang sebuah perubahan besar sangat mungkin terjadi. Perubahan yang pundamental demi keluar dari segala problematika kehidupan. Yaitu pergeseran sistem kembali kepada sistem Islam.

Setidaknya ada dua faktor yang menjadi alasan perlunya kembali mengadopsi ideologi Islam.

– Faktor Eksternal

Mantan Menlu As, Henry Kissinger, memprediksi kemungkinan pandemi Corona ini mengubah sistem global selamanya. Sebagaimana dikutip oleh Kantor Berita Al-Jazeera(4/4/2020) dalam sebuah artikel di Wall Street Journal.

Amerika dan China sebagai negara adidaya penganut ideologi kapitalisme dan sosialisme sudah terbukti takluk hanya karena pandemi. Resesi ekonomi yang terjadi di seluruh dunia menunjukkan bahwa rapuhnya perekonomian yang dibangun dengan pilar kapitalis.

– Faktor Internal

Kesadaran umat bahwa perlunya satu kepemimpinan mulai tinggi. Berbagai kasus kekerasan terhadap umat Islam di berbagai belahan dunia ternyata tidak mampu diselesaikan. Perpecahan antar sesama umat Islam akibat propaganda Barat pun terbukti telah mencerai-beraikan umat tanpa pelindung.

Narasi terorisme, radikalisme, anti pancasila yang dihembuskan oleh pembenci Islam justru menjadi bumerang. Umat semakin sadar dan  kebangkitan Islam mulai terlihat.

Dan faktor pendukungnya adalah Islam menguasai 72% cadangan minyak dunia. Secara geografis menempati posisi strategis jalur laut dunia. Serta secara demografi mempunyai jumlah penduduk terbesar sebagai kekuatan.

Lalu apa yang harus dikhawatirkan? kita tidak sedang mencoba sistem baru. Akan tetapi hanya mengulang sejarah dan menjalankan bisyarah Rasulullah Saw. Dan yang paling penting adalah menegakkan syariah Islam adalah kewajiban. Hidup dalam naungan Khilafah Islamiyah ala Manhajin Nubuwwah adalah sebuah keniscayaan.

Wallahu’alam bishawab

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.