17 Mei 2024

Dimensi.id-Staf khusus millenial Presiden, Andi Taufan Garuda Putra menjadi buah bibir. Penyebabnya, Andi mengirim surat yang disertai kop Sekretariat Kabinet kepada Camat di seluruh Indonesia agar mendukung relawan perusahaannya, PT Amartha Mikro Fintek menanggulangi Covid-19 (14/4/2020).

Tindakan ini langsung memicu reaksi netizen. Sejumlah 38 ribu tagar #stafsus menempati trending topik Twitter merespon tindakan yang dilakukan Andi. Penulis dan penggiat jurnalisme, Andrea Harsono mengatakan bahwa Universitas Harvard tempat Andi mengenyam pendidikan mengajarkan tentang materi `konflik kepentingan’. Menurutnya Andi telah memanfaatkan jabatannya sebagai pembantu Presiden di Istana untuk kepentingan perusahaannya. Sindiran ini dicuitkan melalui akun twitter pribadinya.

Kini Andi Tufan telah mencabut surat tersebut dan menyampaikan permohonan maafnya. Komisioner Ombudsman RI, Alvin Lie meminta pemerintah melakukan evaluasi tugas, fungsi, kewenangan dan kompetensi kepada jajaran stafsus millenial yang selama ini dibanggakan namun di sisi lain kerap melakukan kesalahan (ayobandung.com 14/4/2020).

Meminjam kembali pendapat Riker (1982) bahwa salah satu keunikan demokrasi adalah kesepaduan antar proses dan tujuan yang ingin dicapai. Jika mekanisme demokrasi merupakan bagian dari proses melahirkan kualitas bagi mereka yang akan memerintah, maka rakyat sudah menyaksikan sendiri bagaimana mekanisme tersebut benar-benar merepresentasikan tujuan yang telah ditetapkan.

Semakin tinggi prasyarat yang ditetapkan oleh demokrasi, semakin tinggi pula harapan rakyat bagi lahirnya kualitas kepemimpinan pemerintahan yang baik. Sebaliknya, semakin rendah prasyarat yang ditentukan demokrasi, semakin rendah pula harapan rakyat menanti hadirnya kepemimpinan pemerintahan yang bermutu. Premis ini setidaknya mendapatkan tempat dalam kasus penempatan stafsus, dimana kelemahan mekanisme penunjukannya telah mereduksi kualitas kepemimpinan pemerintahan itu sendiri.

Sejauh ini penempatan stafsus telah melahirkan empat permasalahan krusial; pertama stafsus gagal menggambarkan eksistensinya dengan baik dan benar. Sejak awal stafsus dinilai kurang berkontribusi kepada permasalahan negara. Berkali-kali para stafsus yang dibangga-bangakan membuat blunder yang cukup serius. Mulai dari Billy Mambrasar, Angkie Yudistia hingga Adamas Belva Syah Devara.

Kedua, munculnya sifat pragmatisme. Tindakan stafsus yang mengeluarkan surat edaran berkop Sekretariat kabinet yang ditujukan kepada Camat di seluruh Indonesia adalah perbuatan maladministrasi. Hal ini karena telah melampaui kewenangannya.

Tugas berkorespondensi dengan para Camat di seluruh Indonesia adalah kewenangan dari Kementerian Dalam Negeri. Sebagai staf khusus, Andi tidak memiliki kewenangan eksekutif apalagi sampai mengeluarkan surat edaran kepada camat. Tindakan Andi cenderung memiliki konflik kepentingan, sebab turut mencantumkan PT Amartha Mikro Fintek, sebuah perusahaan bidang pinjaman dana kepada usaha mikro kecil dan menengah di mana Andi menjadi CEO-nya.

Ketiga, lahirnya oligarkhi dan kecanduan kekuasaan. Rakyat mempertanyakan sejauh mana kebutuhan presiden terhadap keberadaan stafsus, benar-benar butuh atau hanya sekadar mempermanis pencitraan saja. Atau malah hanya sekadar implementasi politik transaksional demokrasi semata?

Keempat, penggunaan anggaran negara oleh stafsus. Para stafsus memiliki tim komunikasi. Sementara tugas dari stafsus untuk memberikan masukan kepada presiden. Pembentukan tim komunikasi oleh stafsus tentu menjadi pertanyaan. Termasuk pula mempertanyakan sebesar apa realitas anggaran untuk stafsus presiden, apakah ini sudah tepat di saat kita harus efisien anggaran? Semua kementerian dipangkas, namun terdapat sejumlah kesan pemborosan anggaran bagi staf khusus ini.

Jika empat gejala tersebut dijadikan logika bagi kerangka tujuan yang akan dicapai dalam penempatan stafsus, maka dengan logika sebaliknya kita sepakat untuk me-recovery keberadaan stafsus kedepan dengan satu pertanyaan besar, bagaimana menempatkan keahlian khusus membersamai kepemimpinan negara yang baik dan benar, menghilangkan sifat pragmatisme, membatasi oligarkhi dan kecanduan kekuasaan serta mencegah maraknya penggunaan anggaran negara.

Sekali lagi rakyat menyaksikan betapa bobroknya manajerial kepemimpinan negara. Etika, norma dan nilai yang baik benar-benar langka. Jabatan sebagai staf khusus presiden adalah jabatan publik, menjadi keharusan bagi mereka untuk berpegang pada prinsip etika publik.  

Salah satu bentuk menjunjung tinggi etika publik ini adalah dengan menghindari konflik kepentingan dalam menghasilkan kebijakan. Konflik kepentingan bukan hanya sekadar sebuah upaya untuk mendapat keuntungan material, namun segala hal yang mengarah kepada kepentingan diri, keluarga, perusahaan pribadi hingga partai politik. Konflik kepentingan adalah celah yang sangat lebar di dalam sistem demokrasi yang menyebabkan terjadinya korupsi.

Berbeda halnya dengan fakta yang ditetapkan oleh negara Khilafah Islam. Sistem Khilafah Islamiyah mengatur agar tidak terjadi conflict of interest pejabat publik yang memegang amanah kepemimpinan. Bagi pejabat negara, dalam kapasitasnya sebagai hukkam (penguasa), mereka telah mendapatkan ta`widh (kompensasi dari negara). Status ta`widh ini sebagai tafarugh atau kompensasi melepaskan seluruh pekerjaannya untuk fokus mengurus negara. Karena itu secara langsung mereka tidak boleh berbisnis. Karena waktu mereka telah diambil oleh negara untuk mengurus urusan negara. Mereka yang termasuk golongan ini adalah Khalifah, Mu`awin Tafwidh, Wali dan Amil.

Namun jika mereka adalah pejabat negara yang statusnya sebagai pegawai biasa, meski jabatannya tinggi, statusnya adalah sebagai pegawai negara. Karena statusnya sebagai pegawai negara, berarti mereka adalah ajir khas negara. Waktu dan jasa mereka telah diambil oleh negara dengan imbalan upah (ujrah). Mereka ini seperti Mu`awin Tanfiz, dirjen, Kepala Biro atau pegawai biasa. Bagi ajir khas, waktu dan jasa yang telah ditetapkan sebagai hak negara tidak boleh mereka gunakan untuk yang lain, termasuk bisnis. Mereka dapat berbisnis di luar waktu yang ditetapkan negara sebagai hak negara.

Negara Khilafah benar-benar melakukan kontrol yang ketat terhadap pejabat dan pegawai negara. Masing-masing struktur yang lebih tinggi benar-benar memastikan, bahwa pejabat dan pegawai negara di bawahnya tidak melanggar amanah, termasuk memanfaatkan jabatan dan posisinya untuk kepentingan bisnisnya, keluarga dan mitranya.

Umar bin Khattab pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy`ari, saat itu jabatannya sebagai Wali, “Kamu jangan sekali-kali melakukan jual-beli.” (`Abdurrazzaq, al-Mushannaf, Juz VIII/300).  Ketika Umar mengetahui Abu Hurairah yang dikirim ke Bahrain sebagai wali sibuk berbisnis, dengan tegas Umar mengingatkannya, karena dianggap sibuk mengurus urusan yang bukan menjadi alasan dia diangkat sebagai wali ditempat tersebut. Bahkan Umar mengatakan, “Bisnis amir (penguasa) itu merupakan kerugian.” (al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra).

Jika terbukti mereka memanfaatkan jabatan dan posisinya, maka harus dihentikan. Pelakunya pun harus ditindak dengan tegas. Mulai dari peringatan, diambil tindakan, hingga pemberhentian dari pos dimana pejabat dan pegawai tersebut ditempatkan. Jika dalam praktiknya mereka mengambil hak orang lain, maka hak tersebut harus dikembalikan.

Demikianlah negara Khilafah, dengan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah, mempunyai aturan dan mekanisme yang jelas dalam mengatur urusan bisnis pejabat dan pegawai negaranya. Tanpa mengurangi atau menghilangkan haknya sebagai warga negara. Inilah mekanisme yang terbukti mampu melahirkan pemerintahan yang besih dan berwibawa.[ia]

Penulis : Aisyah karim

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.