29 Maret 2024
Marak demo, sumber: pixabay
68 / 100

Dimensi.id-Saat menjelang pemilu, calon wakil rakyat berusaha mendekat agar rakyat mau menjatuhkan pilihannya pada mereka. Bahkan tidak jarang memberikan hadiah serta menyebar janji-janji manis jika mereka terpilih nanti. Tapi apa yang terjadi saat mereka sudah duduk di kursi kekuasaan sebagai wakil rakyat. 

Mereka lupa dengan komitmen dan janji-janji manis untuk berpihak pada rakyat. Mereka tidak lagi membela kepentingan rakyat, tapi lebih pada oligarki yang dianggap telah berjasa mengantarkan untuk meraih kursi kekuasaan. Hutang budi politik membuat wakil rakyat tidak berdaya untuk membela rakyat yang diwakilinya.  

Demo berjilid-jilid adalah bukti nyata wakil rakyat yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat. Mereka tidak peka dan tanggap dengan suara rakyat yang sudah dibeli oleh oligarki. Mereka hanya melayani tuannya, dan lupa dengan janji-janji mereka sebagai wakil rakyat. 

Saat rancangan UU yang tidak membela kepentingan rakyat hendak diterbitkan, suara rakyat menolak, tapi jeritan rakyat dianggap angin lalu, dan UU yang tidak berpihak pada rakyat terus saja dilegalkan dan bahkan meskipun secara legal formal cacat hukum, bertentangan dengan UUD. Sebagai contoh nyata, disahkannya UU Ciptakerja yang diprotes banyak kalangan karena sangat merugikan rakyat. 

Saat banyak penyimpangan terjadi di negeri ini, rakyat bersuara dan melakukan demo berjilid-jilid, namun wakil rakyat seolah tidak peduli dan menutup mata dan telinga mereka. Rakyat butuh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan, namun wakil rakyat tidak mau memperjuangkannya. 

Rakyat sering diperlakukan tidak adil oleh penguasa tapi wakil rakyat tidak datang untuk membela. Tuduhan radikal, intoleran, anti kebhinekaan bahkan makar dan terorisme sering tidak berdasar. Mereka dikriminalkan bahkan dihukum tanpa proses peradilan, tapi dimana wakil rakyat yang dulu menjelang pemilu berjanji untuk membela kepentingan rakyat. 

Baca juga: Islamophobia di Balik Narasi Politik Identitas

Mereka asyik menikmati berbagi kue kekuasaan dengan penguasa. Saat rakyat menggugat penguasa dianggap menyebar hoaks dan menyebarkan ujaran kebencian sehingga bisa ditangkap tanpa proses peradilan. Sementara penguasa bebas menghasilkan kebohongan tanpa bisa disalahkan dan diproses hukum.

Lalu untuk apa mereka duduk di kursi kekuasaan sebagai wakil rakyat jika mereka tidak mau memperjuangkan urusan rakyat. Demo berjilid-jilid adalah bukti nyata bahwa wakil rakyat tidak lagi peka mendengar aspirasi rakyat. Mereka hanya memikirkan diri sendiri agar bisa merasa aman menduduki kursi kekuasaan. Mereka juga menganggarkan uang rakyat hanya untuk kesejahteraan mereka sendiri. 

Saat rakyat disakiti dan diperlakukan tidak adil seperti yang terjadi pada tragedi Morowali, apakah wakil rakyat bereaksi untuk membela rakyat yang terdzolimi. Kebijakan yang membiarkan banyak tenaga kerja asing membanjiri negeri ini, menghilangkan peluang bagi penduduk lokal untuk mendapatkan pekerjaan. 

Membiarkan sumber daya alam dikuasai swasta asing adalah bentuk penjajahan gaya baru yang memberi karpet merah bagi asing untuk menguasai negeri ini dengan dalih investasi. Satu persatu sumber kekayaan alam yang bisa mensejahterakan rakyat jika dikelola negara secara profesional diserahkan pada swasta asing. 

Lalu apakah Wakil rakyat harus diam saja melihat hak-hak rakyat dirampas dan tidak dipenuhi oleh penguasa zalim. Jangan merasa aman dan enak-enakan menikmati semua fasilitas yang diperoleh dari tetesan keringat rakyat. 

Ingatlah pengadilan akhirat yang akan meminta pertanggung jawaban mereka sebagai wakil rakyat yang tidak amanah untuk memenuhi kewajibannya sebagai wakil rakyat yang seharusnya berpihak, membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan hanya menjadi stempel yang selalu mendukung apa kata penguasa. 

Saat keyakinan umat dihina dan dinistakan, mereka tidak peduli. Saat aksi pembakaran al-Qur’an oleh Paludan di Swedia menyakiti hati mayoritas rakyat yang beragama Islam di negeri ini, wakil rakyat terdiam seribu bahasa dan tidak melakukan tindakan apa-apa. 

Mereka menutup mata da telinga dan menganggap itu bukan urusan mereka. Rakyat marah dan turun ke jalan dengan melakukan aksi demo adalah bukti nyata bahwa wakil rakyat tidak peka dengan apa yang dirasakan oleh rakyat. 

Saat hati rakyat tersakiti, wakil rakyat tidak merasa sakit seolah mereka sudah mati rasa dengan apa yang dirasakan rakyat yang diwakilinya. Lalu, untuk apa mereka duduk di kursi parlemen, jika hanya menghabiskan uang rakyat, tapi tidak peduli dengan urusan rakyat.

Baca juga: Masalah Stunting, Apa Solusi Tuntasnya?

Demo, aksi turun ke jalan adalah ungkapan rasa tidak puas dari rakyat yang harus didengar, diperhatikan dan diperjuangkan oleh mereka yang sudah duduk di kursi parlemen sebagai wakil rakyat. Aksi demo jangan dimusuhi dengan tuduhan radikal dan pembuat kegaduhan, tapi harus didengar dan dipahami untuk diperjuangkan dan diwujudkan. 

Aksi turun ke jalan bukanlah keinginan, tapi tuntutan agar mereka yang duduk di kursi kekuasaan ingat dengan kewajibannya mengurusi urusan rakyat. Hanya dengan satu cara agar rakyat terjamin keamanan, keadilan dan kesejahteraan mereka yakni dengan menerapkan Islam secara kaffah. 

Terbukti hukum buatan manusia hanya menguntungkan segelintir orang yang ada di lingkaran kekuasaan dan juga para pemilik modal, bukan seluruh rakyat seperti yang diamanatkan dalam UUD 45. Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (Al-Maidah ayat 50). [AW]

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.