27 Maret 2024
8 / 100

Dimensi.id-Fenomena ‘mengemis online’ dengan cara live di TikTok sedang ramai menjadi pembahasan warganet. Hal itu karena sejumlah orang yang mengaku kreator melakukan siaran langsung atau live di TikTok dengan melakukan kegiatan ekstrem atau tak wajar. Mereka memanfaatkan fitur ‘gift’ yang ada di TikTok dan berharap bisa mendapatkan gift dengan jumlah banyak dari penonton dan kemudian menukarnya dengan uang. Tarifnya pun beragam dari setiap ikon yang diberikan penonton.

Sebenarnya tak hanya tok tok yang bisa digunakan untuk mendapatkan cuan (uang), banyak kalangan anak muda yang kini terjun kedunia maya untuk menjadi konten kreator, hanya bermodalkan kreatifitas tanpa batas, apapun, tak pandang agama apa, tak harus patuh dengan larangan agama, ditambah dengan alat sederhana yang umum yaitu handphone jika rutin memposting sudah barang tentu bisa mendapatkan uang, tak jarang bisa mengalahkan gaji pokok seorang PNS.

Seringkali sang kreator meminta untuk di like, komen dan subscribe atau jelas-jelas meminta tidak diskip jika iklannya muncul. Sebab disitulah pengaruh terhadap besar kecilnya pendapatannya. Jika kontennya mendidik, eksplore yang kemudian bisa memberikan informasi tambahan terkait suatu hal, edukasi tak mengapa. Namun jika kemudian berpengaruh secara negatif, masyarakat jugalah yang akan dirugikan, tak semua warga bisa menyaring, mengevaluasi bahkan memilah mana yang baik atau sebaliknya.

Masih hangat viralnya peristiwa di Makassar dimana dua remaja tega membunuh anak tetangganya sendiri hanya agar mereka bisa menjual organ tubuh sang korban di situs jual beli organ tubuh. Karena tak tahu caranya, begitu pula dengan nomor telpon situs itu tak bisa dihubungi lagi, membuat dua remaja ini panik dan sepakat membuang jenasah begitu saja di sungai. Sungguh konyol bukan? Inilah yang terjadi jika kemajuan digitalisasi tidak dibarengi dengan informasi yang memadai bahkan tidak ada akidah kuat yang melandasi, maka beginilah yang tejadi, yaitu kerusakan demi kerusakan .

Menanggapi fenomena ini, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengaku bakal menyurati pemerintah daerah (pemda) guna menindak orang-orang yang melakukan fenomena “ngemis online” di platform media sosial “Tiktok”. Ia menegaskan bahwa fenomena mengemis, baik online maupun offline memang tidak diperbolehkan. Dalam surat edaran tersebut, Risma mengimbau gubernur dan bupati/wali kota untuk mencegah kegiatan mengemis, baik secara offline maupun online di media sosial yang mengeksploitasi para lanjut usia, anak, penyandang disabilitas, dan/atau kelompok rentan lainnya.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, Fenomen ini sebetulnya bukan hal baru. Tapi mulai membesar sejak pandemi Covid-19. kemungkinan besar diorganisir oleh sindikat. Sebab dibanyak negara dunia didapati fenomena yang sama, dan susah ditindak oleh aparat kepolisian lantaran diketahui ada indikasi ekploitasi anak.

Devie Rahmawati pun mengatakan saat pandemi, banyak orang terkena PHK, itulah mengapa konten pengemis online dianggap menguntungkan. Pertama karena mudah, murah, dan akan lebih luas potensi cakupan orang-orang yang bisa dimintai pertolongan. Konten-konten ini juga dilatari oleh persoalan keterdesakan hidup akibat diberhentikan bekerja atau butuh dana untuk berobat.

Kedua, karena ada kebutuhan-kebutuhan “gaya hidup” yang harus dipenuhi sehingga memilih jalan pintas ketiga karena adanya sindikat kejahatan di balik konten seperti itu. Mereka memanfaatkan rasa iba untuk mendapatkan penghasilan.

Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkoinfo, Usman Kansong, mengatakan pihaknya masih mendalami kategori konten jenis ini, apakah termasuk konten negatif atau bukan.“Kita harus diskusi juga dengan ahlinya. Jangan sampai itu salah, ternyata itu tidak termasuk, bahaya juga kan.” Usman menambahkan konten yang dilarang itu di antaranya mengandung unsur pornografi, perjudian, radikalisme, hoaks, terorisme, prostitusi maupun kekerasan terhadap anak ( BBC com, 13/1/2023).

Kapitalisme Tak Pandang Bulu

Transformasi digital adalah sebuah hal yang alamiah, ia adalah hasil dari buah pikir manusia yang juga selalu berkembang. Namun, ketika sebuah negara sistem ekonominya menggunakan sistem kapitalisme maka saat itulah terjadi penderitaan yang panjang, dikarenakan pengusung sistem ini sekaligus mengusung ide sekulerisme, pemisahan agama dari negara, masyarakat dan keluarga. Tidak ada halal haram, tidak ada pembatasan kepemilikan, selama memiliki modal besar maka selama itu bisa memenangkan setiap transaksi dan menguasai pasar.

Dalam sistem kapitalis, apapun dimanfaatkan demi meraih keuntungan materi. Kemiskinan pun dieksploitasi menggunakan kemajuan teknologi, meski merendahkan harkat dan martabat diri sendiri ataupun orang lain. Bahkan ada yang melakukan demi tuntunan gaya hidup masa kini. Justru ini bukan modern yang dimaksud. Fenomena ini menggambarkan masyarakat yang sakit yang hidup di tengah sistem yang rusak, dimana negara mandul, tidak mampu menyejahterakan rakyatnya. Tak ada lagi teladan, semakin gila atau heboh konten atau kepribadian seseorang maka makin viral, makj banyak pengikut dan artinya makin banyak uang yang dia terima. Dimana letak keadilan?

Sementara konten yang berisi konten mencerdaskan manusia dan selalu mendorong seseorang untuk berbuat baik dan memiliki semangat memperjuangkan agamanya justru dibredel dianggap memecah belah kesatuan bangsa dan lainnya.

Islam Selamatkan Dengan Tak Merendahkan

Negara seharusnya menyelesaikan problem kemiskinan dari akar masalah sehingga tak terjadi hal yang merendahkan manusia atau ada mafia yang memanfaatkaan kemiskinan rakyat demi meraih keuntungan pribadi. Negara mengatur pengelolaan sumber daya alam berdasarkan hukum syarat terkait kepemilikan umum dan negara. Dimana hasilnya adalah dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan fasilitas publik misal Rumah sakit, sekolah, lapangan dan lainnya. Dengan begitu akan terbuka kesempatan kerja bagi individu rakyat, sehingga seorang ayah bisa menafkahi keluarganya, memberikan makanan dan pakaian secara makruf.

Seorang ibu bisa menyusui anaknya hingga dua tahun. Semua karena negara menjadi seorang periayah ( pengurus) dan junnah (pelindung). Sehingga setiap kebijakan memang ditujukan kepada manusia sebagaimana kedudukannya sebagai manusia. Tak ada eksploitasi yang memang diharamkan dalam Islam.

Solusi tuntas persoalan ini membutuhkan kerjasama semua pihak. Mulai dari individu yang memiliki kesadaran untuk menjaga kemuliaan sebagai manusia, masyarakat yang memberikan kontrol dan juga negara yanag menjamin hidup rakyat dan juga memberikan asas yang tepat dalam memanfaatkan teknologi untuk kemajuan banagsa dan kebaikan umat manusia. Jelas bukan dengan kapitalisme, namun dengan penerapan Islam kaffah. Wallahu a’lam bish showab. [DMS]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.