19 April 2024
Tolak khilafah, sumber: google
61 / 100

Dimensi.id-Nahdlatul Ulama menggelar Muktamar Internasional Fiqh dan  Peradaban I di hotel Shangri-La Surabaya, Senin 6 februari 2023, mengangkat tema soal kedudukan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam pandangan syariat Islam.

Menurut Gus Yahya (ketua umum PBNU), alasan pengambilan tema tersebut karena umat manusia di dunia ini mulai membicarakan toleransi dan perdamaian belum lama. Orang-orang di dunia ini baru berpikir soal tata dunia damai setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Piagam PBB.

Inilah permulaan dari perbincangan mengenai upaya membangun perdamaian di muka bumi. Dalam sudut pandang Islam, kata Gus Yahya, apabila hendak mengembangkan wacana syariat tentang perdamaian dan toleransi maka harus bermuara dari Piagam PBB.

Kalau dinyatakan sah oleh para ulama dunia di Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I, maka Piagam PBB itu akan menjadi pijakan untuk mengembangkan wacana yang lebih lugas dalam kerangka syariat Islam tentang perdamaian, toleransi, dan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) universal.Untuk itulah, menurut beliau hal pertama yang harus disepakati adalah soal kejelasan kedudukan Piagam PBB di mata syariat.

Rekomendasi dari muktamar tersebut berupa Piagam yang dibacakan pada acara puncak resepsi Harlah 1 abad NU.  Piagam ini menyatakan bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fiqih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara Khilafah harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat.

Cita-cita mendirikan kembali negara Khilafah yang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia, namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan non-Muslim bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi. Benarkah demikian?

Kesimpulan sikap ini diambil dengan pertimbangan yang disampaikan antara lain:

  1. Upaya mendirikan negara Khilafah (studi kasus ISIS) akan berakhir dalam kekacauan, menimbulkan ketidakstabilan dan merusak keteraturan sosial politik dan justru berlawanan dengan tujuan-tujuan pokok agama atau maqashid syariah yang tergambar dalam lima prinsip; menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga akal, menjaga keluarga, dan menjaga harta. 
  2. Lebih dari itu, jika pun akhirnya berhasil, usaha-usaha ini juga akan menyebabkan runtuhnya sistem negara-bangsa serta menyebabkan konflik berbau kekerasan yang akan menimpa sebagian besar wilayah di dunia (studi sejarah kekacauan karena perang dengan penghancuran yang luas atas rumah ibadah, hilangnya nyawa manusia, hancurnya akhlak, keluarga, dan harta benda).

Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia (al-ummah al-islamiyyah) adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik muslim atau non-Muslim serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia, anak cucu Adam (ukhuwah basyariyyah).

Baca juga: Benarkah Umat Islam Kehilangan Nyali?

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berikut piagamnya dipandang memanglah tidak sempurna dan harus diakui masih mengandung masalah hingga saat ini. Namun karena piagam PBB itu dimaksudkan sejak awal sebagai upaya untuk mengakhiri perang yang amat merusak dan praktik-praktik biadab yang mencirikan hubungan internasional sepanjang sejarah manusia, maka piagam PBB bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fiqih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis. 

Mengkritisi Piagam Rekomendasi Muktamar Fiqih dan Peradaban I

Ada beberapa hal yang perlu kita kritisi dalam rekomendasi Muktamar peradaban I, karena banyak kekacauan berfikir jika disandarkan pada qidah fikriyyahnya seorang muslim.  antara lain:

Pertama, Kekacauan dalam mengambil sumber hukum. Wakil Rais Aam PBNU K.H. Afifuddin Muhajir menegaskan bahwa inti dari Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I adalah bahwa Piagam PBB mempunyai legalitas syar’i.

Hal tersebut berlandaskan ajaran Islam yang mendasar bahwa orang harus mematuhi perjanjian yang tidak melanggar aturan agama. Padahal Piagam PBB tertolak secara normatif  berdasarkan ilmu ushul fiqih, karena ia bukan terkategori  ijma’ syar’i juga tidak ada berakar dari sumber hukum islam. Imam Syafi’i, radhiyallāhu ‘anhu, menyatakan bahwa sumber hukum Islam (mashādirul ahkām), haruslah bersumber dari wahyu dari langit, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. 

Suatu pendapat tidaklah menjadi keharusan (berlaku mengikat) dalam setiap-tiap kasus, kecuali berdasarkan Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya SAW, dan apa saja selain keduanya [haruslah] mengikuti keduanya (Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya)”. Dari Al-Qur`an dan As-Sunnah itulah, para ulama kemudian mengistinbat sumber-sumber hukum Islam lainnya, yaitu ijmak dan qiyas. 

Berhukum dengan selain hukum Allah berarti berhukum kepada thaghut. Al-Qur’an surah Annisa ayat 60 menjelaskan: 

Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum mu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.”

Kedua, dalam mendudukkan maqoshidusy syari’ah, karena Maqoshidusy syari; akan terwujud jika syariatnya dilaksanakan. Jadi, bagaimana mungkin menolak syariat (khilafah) sambil  berharap maqashidnya terwujud, yaitu rahmatan lil alamin (terwujud dunia yang aman damai, makmur, dan sejahtera).

Piagam  disamping tidak ada akar syar’i juga tidak punya konsep aplikatif untuk mewujudkan tujuannya, maka bagaimana mungkin apa yang dinyatakan sebagai tujuan (maqashid) itu bisa terwujud.

Ketiga, kekacauan dalam memahami sejarah PBB,  karena secara historis PBB justru berasal dari LBB yang sebelumnya adalah aliansi negara-negara kafir dari Eropa untuk menghadapi futūḥāt Khilafah Utsmaniyah.

Keempat, kekacauan dalam memahami piagam PBB, Piagam PBB tidak memiliki kekuatan yang mengikat dan memaksa, PBB juga telah gagal mewujudkan perdamaian dan mencegah perang,PBB gagal menghentikan perang Ukraina, invasi militer AS ke Irak bahkan gagal dalam menghentikan kebrutalan Israel atas Palestina. Piagam PBB bahkan merupakan instrumen politik negara-negara kafir penjajah untuk mewujudkan kepentingannya.

Memaknai piagam Rekomendasi Muktamar internasional Fiqih dan Peradaban I

Menurut Ustad Yuana Ryan Tresna, kutipan dalam piagam tersebut menegaskan tiga aspek penting:

Pertama, pengakuan bahwa khilafah memang bukan sesuatu yang baru, apalagi dianggap tidak ada di dalam kitab-kitab fiqih para ulama.

Asal usul kata khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Istilah khalifah, imam dan amirul mukminin adalah kata yang sinonim.

Demikian juga dengan istilah khilafah dan Imamah. (Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al Syarbini, Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132) Imam al-Mawardi mendefinisikan khilafah sebagai:

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya dunia” (Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5)

Adapun Imam al-Juwaini memberikan definisi:

الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا

“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.” (Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyath al-Umam fi al-Tiyatsi al-Dzulam, hlm.15).

Baca juga: Masalah Stunting, Apa Solusi Tuntasnya?

Kedua, pengakuan bahwa khilafah bukan pendapat baru dari ormas atau kelompok tertentu, melainkan pendapat para ulama sebagaimana termaktub dalam kitab fiqih mereka.

​Bukti bahwa khilafah adalah ajaran Islam yang mulai dapat kita jumpai dalam banyak kitab para ulama.

(1) Khilafah adalah kewajiban paling penting. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya menyebutkan,

اعلم أيضا أن الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات

“Ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para sahabat ra. telah berijmak (konsensus) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah kewajiban, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang terpenting.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Sawa’iq al Muhriqah, juz 1, hlm. 25)

(2) Khilafah adalah metode dalam menegakkan hudud (hukum-hukum) Allah. Ulama nusantara syaikh Abu al-Fadhal al-Sinori menyatakan:

وإنما يجب على المسلمين نصب الإمام ليقوم بمصالحهم كتنفيذ أحكامهم، وإقامة حدودهم، وسد ثغورهم، وتجهيز جيوشهم، وأخذ صدقاتهم إن دفعوها، وقهر المتغلبة والمتلصصة وقطاع الطريق، وقطع المنازعات بين الخصوم، وقسم الغنائم وغير ذلك، إذ لا يتم جميع ذلك إلا بإ يرجعون إليه في أمورهم.“

“Wajibnya kaum muslim mengangkat seorang imam/khalifah tidak lain adalah agar ia mengurusi berbagai kemaslahatan mereka. Seperti menjalankan hukum-hukum Islam, menegakkan hudud, menjaga perbatasan wilayah kekuasaan serta menyiapkan pasukan umat Islam, menarik zakat mereka jika mereka menolak membayarkannya, memaksa tunduk kaum pembangkang, perampasan hak, dan pembegal, melerai persengketaan mereka-mereka yang bersengketa, membagi-bagikan ghanimah (harta rampasan perang), dan lain-lain. Karena semuanya itu tidak akan bisa sempurna terlaksana kecuali dengan keberadaan seorang imam/khalifah yang menjadi tempat kembalinya segala urusan mereka.” (Abu al-Fadhal al-Sinori, al-Durr al-Farid, hlm. 476)3).

(3) Khilafah adalah syiar paling agung. Ulama kontemporer syaikh Prof. Dr. Mushthafa Dib al-Bugha dalam al-Fiqh al-Manhajiy ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i menyampaikan bahwa mengangkat khalifah adalah syiar paling agung darisyiar-syiar Islam,

تنصيب الإمام بهذا الشكل الذي رأيت، ولتحقيق المهام التي تحدثنا عنها واجب متعلق بأعناق المسلمين حيثما كانوا، فإن لم ينهضوا به تحقيقا لأمر اللهعز وجل باؤوا جميعا بإثم كبير، إذ هو ـ بالإضافة إلي الضرورات الدينية والاجتماعية والسياسية المختلفة ـ شعيرة كبري من شعائر الإسلامالتي يجب أن تكون بارزة حية في بلاد المسلمين.“

“Mengangkat seorang Imam (sebutan bagi khalifah) dengan format yang telah anda lihat di atas, dan demi merealisasikan kepentingan-kepentingan yang telah kami bicarakan sebelumnya, hukumnya adalah wajib, melekat di leher kaum muslim di manapun mereka berada. Jika mereka tidak bangkit untuk itu, demi merealisasikan perintah Allah ‘azza wa jalla, maka mereka semuanya akan tertimpa dosa besar. Karena ia -selain terkait berbagai urusan agama,sosial, dan politik yang bersifat darurat- merupakan sebuah syiar yang paling agung di antara syiar-syiar agama Islam yang harus tampak dan hidup di negeri-negeri kaum muslim.” (Mushthafa Dib al-Bugha, dkk, al-Fiqh al-Manhajiy ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i, jilid 3, hlm. 451)

(4) Khilafah adalah mahkota kewajiban. Para ulama menyebut kewajiban mengangkat imam (khalifah) dan menegakkan khilafah adalah sebagai mahkota kewajiban (taaj al-furudh). Misalnya syaikh Dr. Muhammad al-Zuhaili, dalam kitabnya al-Wasith menyatakan, “Daulah Islam adalah al-taj (mahkota) yang berada di atas semua hukum syara’. Tak ada majal (tempat) untuk menerapkan Islam yang sempurna kecuali dengan menegakkan daulah Islam.” (Muhammad al-Zuhaili, al-Wasith fi al-Fiqh al-Syafi’i, juz 2, hlm. 693)

Ketiga, pengakuan bahwa khilafah adalah kepemimpinan tunggal dunia, bahkan dihadapkan dengan PBB yang juga level dunia.

Hal ini selaras dengan definisi para ulama muta’akhirin,

الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعا ً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم

“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Mahmud Abd al-Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 225-230)

Tentang kepemimpinan tunggal, imam al-Mawardi di dalam kitab al-Ahkam al-Shulthaniyah mengatakan,

وإذا عقدت الإمامة لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما لأنه لا يجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد وإن شذ قوم فجوزوه

“Apabila akad Imamah ditetapkan untuk dua imam di dua negeri, maka keimamahan keduanya tidak sah. Karena, tidak boleh ada dua imam bagi umat pada satu waktu, meskipun ada segolongan orang nyeleneh yang membolehkannya.” (Ali bin Muhammad Al-Mawardi, al-Ahkam, hlm. 29)

Hal itu dapat dipahami juga dari tujuan kepemimpinan khilafah dalam Islam, yang mencakup: visi melanjutkan kehidupan Islam (isti’naf al-hayah al-Islamiyyah), menyatukan kaum muslim di seluruh penjuru dunia di atas asas akidah Islam, dan menegakkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Kesimpulan

Menolak khilafah mendukung PBB dan Piagam PBB adalah cerminan sikap khilafah phobia akut. Inilah yang mendasari proyek deradikalisasi yang digencarkan AS dengan War on Terrorism  (WoT) dan War on Radicalism (WoR) nya. Tidak hanya itu, sikap sebagian kelompok Islam yang getol memusuhi Khilafah dan pejuangnya juga sejalan dengan upaya Barat memecah-belah kekuatan umat Islam, dengan mengajarkan Islam moderat agar berhadapan dengan Islam ideologis. Dengan demikian, Barat dapat menghambat bangkitnya kembali peradaban Islam melalui tangan umat Islam sendiri.

Padahal umat Islam ini adalah umat yang satu, umat Rasulullah SAW. Padahal Khilafah adalah ajaran Islam dan warisan shohih Rasulullah. Tidak layak seorang muslim mempersoalkannya.  Rekomendasi ini melengkapi upaya politik adu domba negara penjajah (rand corporation) yang layak diwaspadai.

Maka sikap politik yang harus diambil adalah:

(i) tetap lantang menyerukan dakwah, menjelaskan khilafah adalah ajaran Islam, tidak boleh berhenti.

(ii) membongkar upaya politik adu domba negara penjajah (rand corp), dan terus membangun kesadaran politik Islam bahwa penegakan Islam kaffah dalam bingkai khilafah adalah aspirasi yang syar’i dan sah. Wallahu a’lam bish shawab[AW]

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.