12 Mei 2024

Dimensi.id-Tatkala badai pandemi Corona (Covid-19) seakan tiada bertepi, kondisi serba sulit rakyat yang terus menyelimuti, begitupun krisis kepemimpinan semakin menjadi dan kebijakan plin-plan penguasa pun terus terjadi. Setelah sibuk mengurus rencana pemindahan  ibu kota baru ke Kalimantan, kini disibukan kembali dengan pembebasan narapidana (napi), mulai dari kelas ‘teri’ hingga kelas ‘kakap’ dengan dalih rasa kemanusiaan di tengah pandemi.

Dilansir dari kumparan.com, (9/4/2020), Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly telah menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) mengenai pembebasan napi demi mencegah penyebaran virus Corona (Covid-19) di penjara. Sejak Kepmen tersebut diterbikan pada 30 Maret, hingga kini sudah 35 ribu lebih narapidana yang bebas dengan program asimilasi dan integrasi.

Namun, pembebasan besar-besaran tersebut menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Sebab, napi yang dibebaskan dikhawatirkan akan kembali berbuat kejahatan. Dan benar saja, terdapat napi yang kembali ditangkap karena berbuat pidana. Padahal, Ditjen PAS mewajibkan napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi di rumah. Seperti di Bali, seorang Pria berinisial I (29) yang dibebaskan pada 2 April 2020. Ia kembali ditangkap pada 7 April karena menerima paket ganja seberat 2 kilogram.

Pembebasan Napi, Menyelamatkan Manusia?

Setelah kita menyaksikan kondisi negeri ini yang sedang tidak baik-baik saja, tatkala tragedi virus Covid-19 yang merenggut ratusan ribu nyawa, memporak-porandakan perekonomian dan melumpuhkan berbagai aktivitas kerja membuat para pejabat dan penguasa mengambil langkah cepat untuk mengatasi persoalan ini.

Dengan ditetapkannya Covid-19 sebagai pandemi global, maka pemerintah Indonesia menilai perlu untuk melakukan langkah preventif yang tepat sebagai upaya penyelamatan terhadap manusia, tidak ketinggalan para tahanan dan warga binaan kemasyarakatan dengan cara pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dan integrasi.

Asimilasi sendiri merupakan proses pembinaan narapidana dewasa dan anak didik pemasyarakatan dengan membiarkan mereka hidup berbaur di lingkungan masyarakat, sedangkan integrasi merupakan pembebasan narapidana yang telah memenuhi syarat untuk bebas bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang pembebasan.

Wacana kebijakan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly terkait pembebasan narapidana sebagai langkah untuk menghambat penyebaran Covid-19 menuai kritikan tajam dari berbagai pihak. Banyak yang menilai kebijakan ini sebagai bentuk akal-akalan dengan  memanfaatkan situasi Covid-19 di Indonesia. Terlebih ini bukan pertama kalinya Menteri Hukum dan HAM berusaha untuk meringankan hukuman para koruptor dengan merevisi peraturan perundang-undangan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sudah delapan kali mengutarakan niatnya untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99Tahun 2012 tantang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mulai dari alasan kelebihan kapasitas lapas hingga dasar Hak Asasi Manusia narapidana yang harus setara apapun kejahatannya (http://nasional.tempo.co, 9/4/2020).

Politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean pun mempertanyakan alasan apa lagi yang kini diutarakan Menkumham sehingga mengambil langkah itu. “Saya heran kira-kira apa alasan Yasonna Laoly @Kemenkumham_RI untuk mengusulkan pembebasan puluhan ribu napi dengan alasan Covid-19 termasuk napi koruptor? Hei Yasonna, tunjukkan data di Lapas mana yang sudah ada positif Covid-19? Jika belum ada, maka patut diduga ada udang di balik batu yang kau intip,” tulis Ferdinand (Twitter/@FerdinandHaean2) seperti yang dikutip Suara.com, Rabu (1/4/2020).

Diketahui, sebanyak 30 ribu lebih narapidana akan menghirup udara bebas lebih cepat terkait pencegahan dan penanggulangan penyebaran virus Covid-19. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang pengeluaran Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dengan alasan kondisi lapas dan rutan yang melebihi kapasitas.

Langkah yang diambil oleh pemerintah memang terhitung cepat, namun tidak tepat. Sebab pertama, apabila alasannya untuk mencegah penyebaran Covid-19, logikanya dengan berada di penjara, justru sudah terisolasi dari masyarakat luas jika disertai dengan pemberlakuan aturan untuk menutup akses seketat mungkin agar tidak ada yang menyebarkan virus ini di dalam lapas.

Adapun, jika ada narapidana yang terinfeksi di lapas, maka dapat dikeluarkan. Akan tetapi bukan dipulangkan, melainkan dipindahkan ke rumah sakit atas pertimbangan kesehatan. Hal ini pula akan lebih memudahkan dalam penanganan gejala dan bersegera menanganinya.

Kedua ,jika masalahnya adalah kapasitas lapas yang berlebih, maka solusinya adalah penambahan ruang lapas untuk menampung para napi tersebut, bukan justru membebaskan mereka yang berpotensi meningkatkan kelihaiannya dalam berbuat kriminal dimasa krisis ekonomi sebagaimana terjadi saat ini. Sehingga, membebaskan mereka lebih dini merupakan kebijakan yang tidak bijak. Sebab, akan muncul permasalahan baru mengenai keamanan masyarakat di tengah darurat kesehatan ini.

Terlihat, keputusan Menkumham membebaskan narapidana memang bukanlah solusi, justru menjadi masalah baru. Buktinya, beberapa napi yang baru dibebaskan berulah kembali. Tim riset tirto.id  mencatat terdapat tujuh berita terkait narapidana yang kembali bertindak kriminal usai bebas  karena program asimilasi.

Kejadian tersebut berlangsung  dari 7 hingga 9 April 2020, dengan berbagai macam kasus seperti pencurian, kurir ganja, mengamuk dan penjambretan. Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS), Bambang Rukminto menilai beberapa kejadian ini adalah buah dari kebijakan konyol pemerintah yang pada akhirnya mengusik keamanan masyarakat.

Hal ini menyadarkan kita bahwa sesungguhnya penjara bukanlah solusi bagi pelaku kejahatan. Sistem hidup yang berlaku saat ini telah gagal secara sistemik dalam pola mendidik para napi untuk berperilaku menjadi lebih baik, karena senantiasa membuat sempit dan sulit kehidupan. Akibatnya, manusia akan cenderung terpancing untuk berbuat dan bertindak pidana dalam menghadapi masalah hidup.

Ditambah lagi, negara yang sepertinya tidak bekerja untuk rakyat. Sebab, di tengah duka mendalam atas banyaknya korban berjatuhan akibat Covid-19, justru tahanan akan dibebaskan. Hukum sudah tidak lagi dianggap bertuah meskipun negara ini mendeklarasikan dirinya sebagai negara hukum. Kelebihan kapasitas seharusnya membuat pemerintah berkaca diri untuk berpikir ulang tentang sistem sanksi yang telah diterapkan. Saat ini, tindak kriminalitas mayoritas berujung sanksi penjara, akibatnya lapas penuh. Hukuman penjara pun sama sekali tidak menjerakan. Inilah solusi aneh dan konyol.

Parahnya, usulan  pembebasan  lebih  cepat  dari  lebih  30 ribu orang narapidana dan anak di tengah pandemi ini, dapat menghemat anggaran negara sekitar Rp.260 miliar. Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Direktorat Jenderal Pemasyarakaan, Yunaedi mengatakan nominal tersebut merupakan hasil penghitungan dari 270 hari (April-Desember) dikali Rp.32.000 yang merupakan biaya hidup seperti makan kesehatan, pembinaan dan lainnya dikalikan 30 ribu orang.

Inilah potret bobroknya sistem kapitalisme-demokrasi. Di tengah wabah, aneka kebijakan cepat nan plin-plan berhamburan, tetapi sama sekali bukan solusi dan terkesan ‘asal jadi.’ Bagaimana tidak, sepertinya momen pandemi Covid-19 ini seakan tidak ingin dilewatkan begitu saja oleh penguasa untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sibuk mencari keuntungan pribadi dengan berbagai cara yang semakin melengkapi luka dan kepedihan rakyat yang hampir mati di tengah pandemi.

Pemerintah terlihat sedang mempertontonkan kegagalannya dalam mengurusi negara ini yang terkesan cuci tangan dari amanah untuk menjaga rakyat. Alih-alih memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19, langkah ini justru semakin menambah tensi kegelisahan masyarakat dengan hadirnya narapidana di tengah-tengah mereka, di samping kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kekhawatiran akan hantaman virus Covid-19. Sungguh terlalu!

Islam, Solusi Paripurna

Jika dalam sistem kapitalisme, rakyat senantiasa dibuat muak dengan praktik silat lidah dari rezim jebolannya, namun berbeda halnya dengan Islam. Dalam Islam, pemimpin negara senatiasa serius menangani setiap urusan rakyatnya. Negara wajib memberi pelayanan terbaik kepada rakyat. Sistem Islam telah memilih penguasa yang memiliki kemampuan yang layak menjadi pemimpin negara. Amanah kepemimpinan dan kepengurusan umat dipegang dengan dorongan iman dan keshalihan. Maka, negara akan mengambil tindakan preventif maupun kuratif untuk menangani penyebaran wabah.

Peran negara begitu dekat dan terlihat jelas, bukan hanya bermodal pencitraan manis di bibir. Solusi lockdown  dan menjaga jarak diatur di dalamnya dengan jaminan pangan dan kesehatan yang memadai. Masyarakat pun tidak khawatir akan mati kelaparan karena jaminan yang mumpuni dari pemimpin yang dicintai.

Sejatinya kebijakan dan perkataan pemimpin negara adalah suatu kepatuhan, jika sang pemegang roda kepemimpinan berstandar pada koridor syara’ dalam mengambil kebijakan, dimana pedomannya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengatur segala aspek kehidupan. Jika demikian, maka tidak akan ada penguasa negara yang dapat bermain-main dengan hukum sesuka hati. Jaminan kedilan akan didapatkan seluruh rakyat, tidak seperti sistem hukum yang ada, dimana para pemangku kekuasaan lebih banyak mengotak-atik kebijakan negara ini sesuai hawa nafsu.

Diberlakukan pula seperangkat hukuman pidana yang keras agar menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Misalnya, sistem Islam menetapkan sanksi hukum ta’zir yang keras dan tegas tanpa pandang bulu terhadap pelaku korupsi ataupun sanksi tegas lainnya bagi pelaku pidana yang lain. Bentuk sanksi diserahkan pada hasil ij’tihad hakim yang dapat berupa pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Pemimpin seperti inilah yang diharapkan rakyat negeri ini, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Sudah saatnya mengakhiri segala penderitaan rakyat, segala bentuk kejahatan di tengah masyarakat dengan kembali kepada syariat Islam secara keseluruhan (Kaffah). Sebab, tidak ada langkah lain yang solutif untuk dilakukan kecuali dengan kembali kepada syariat-Nya. Dengannya, krimnalitas dapat diberantas, kesejahteraan rakyat bapat diwujudkan. Islamlah yang mampu mewujudkannya dalam naungan sistem Khilafah. Wallahu a’lam bi shawwab.[ia]

Penulis : Mustika Lestari (Pemerhati Remaja)

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.