28 Maret 2024
8 / 100

Dimensi.id-Dilansir Swara Kaltim, Senin,24 Oktober 2022, Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur, AKBP Heri Rusyaman resmi mencopot Iptu Sainal Arifin dari jabatan Kapolsek Jempang, sejak Kamis 20 Oktober 2022. Pencopotan Sainal ini adalah bentuk ketegasan dari Kapolres Kubar, menyusul viralnya kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Kapolsek Jempang terhadap warga kampung Mancong, Kecamatan Jempang, Kutai Barat. Iptu Sainal terbukti memaksa Imah, korban, membayar uang puluhan juta rupiah untuk memebebaskan keponakannya yang ditahan polisi. Imah juga mengaku telah menyerahkan tanah dan bangunan sarang burung walet senilai Rp10 juta,  sebagai tebusan. AKBP Heri mengatakan tidak akan mentolirer anggota yang melakukan pelanggaran disiplin maupun pidana.

Bertambah lagi kasus dengan pelaku oknum kepolisian. Dengan rentetan kasus baik sudah selesai maupun sedang berlaku persidangan kasusnya menunjukan lembaga kepolian tidak baik-baik saja. Padahal mereka adalah alat negara yangberfungsi menjaga keamanan rakyat Indonesia. Demikian pula hasil penelurusan KPK terhadap kasus suap pengurusan perkara yang menyeret hakim agung non aktif Sudrajat Dimyati dengan tersangka Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku debiturKoperasi Simpan Pinjam Intidana. Diduga Sudrajat menerima Rp800 juta sebagai suap dari kasus perkara pailit KSP Intidana.

Pemerintah pasca tertangkapnya Hakim agung Sudrajat Dimyati berencana akan mengadakan reformasi hukum peradilan. Hal ini dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyebutnya sebagai konsep besar sistem peradilan di Indonesia. Konsep ini akan disusun setelah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan akhir tahun 2022.

Dalam konsep besar itu, menurut Mahfud akan dibuat integrasi sistem peradilan sehingga fungsi dan batasan kewenangan setiap lembaga hukum bisa diatur dengan jelas. Konsep ini lahir dari hasil Forum Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh 29 aktifis, tokoh dan pakar hukum.

 

Hukum tak Berbasis Akidah Islam: Pangkal Persoalan

Korupsi pribadi bahkan hingga berjamaah seolah sudah menjadi lumrah di Indonesia. Tak hanya di lembaga kepolisian bahkan hingga di lembaga peradilan yang keduanya merupakan lembaga penegak hukum. Untuk memberantasnya diperlukan langkah baru yang jitu. Namun, pembentukan kerangka baru lembaga peradilan tak akan mampu memberantas korupsi selama masih menggunakan sistem demokrasi. Dimana sistem ini meniscayakan produk hukum berasal dari manusia dan mengabaikan halal haram. Hal ini justru memunculkan banyak peluang kejahatan yang lain. Seperti jual beli pasal, kongkalikong jenis dan beratnya hukuman. Hingga apa yang seharusnya sudah ditetapkan haram masih didiskusikan dengan biaya diskusi yang tak murah. Ujung-ujungnya membebani rakyat Indonesia karena dana diambil dari anggaran APBN. Padahal hasilnya tak berkorelasi dengan maslahat umat sedikit pun.

Sistem demokrasi yang merupakan bagian dari sistem kapitalisme, meniscayakan adanya kaedah tujuan menghalalkan segala cara dan keuntungan menjadi hal utama. Menjadikan perubahan apapun (termasuk konsep besar ala Mahfud) tak mungkin mampu memberantas korupsi secara tuntas. Apalagi politik transaksional, membuat reformasi hukum tak akan mampu menegakkan supremasi hukum. Ketika semua ahli hukum dikumpulkan namun dalam benak mereka adalah sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan , maka perubahan hukum lebih “bergigi” tak akan pernah terwujud, yang ada adalah kian ompong terutama jika berhadapan dengan para kapital pemilik modal, yang mereka ingin bisnisnya dipermudah di Indonesia.

Korupsi Tuntas dalam Sistem Islam

Allah swt berfirman dalam Quran surat An-Nisa :65 yang artinya,” Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka merasa sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” Ayat ini mengharuskan manusia secara keseluruhan untuk menjadikanNabi saw sebagai hakim/qadi, terlebih saat beliau sudah wafat maka wajib mengangkat qadi sesudahnya yang menggunakan hukum sesuai apa yang sudah diturunkan Allah kepada RasulNya. Seorang Qadi tidak boleh berpaling sedikitpun dari apa yang sudah ia imani. Sebab pertanggungjawabannya hingga akhirat.

Namun sayang, memunculkan qadi yang demikian pun penegak hukum yang adil dan bertakwa di sistem hari ini sulitnya bak menegakkan benang basah. Karena rentan multitafsir dan kepentingan. Keserakahan nampak pada diri Sudrajat begitu melihat kesempatan memperoleh keuntungan materi di hadapannya. Sehingg sikap netral dan kesadarannya selalu diawasi Allah memudar. Berganti dengan aji mumpung. Gaji hakim agung memang besar, dengan berbagai tunjangan menjadikan seorang hakim, terutama hakim agung di negeri ini menjadikan mereka masuk dalam daftar pendapatan di atas rata-rata. Maka sejatinya Kapitalisme disandingkan dengan sistem demokrasi sebagai sistem politiknya hanyalah menciptakan celah kejahatan kian merajalela.

Paradigma Demokrasi dan Kapitalime masih memberikan keuntungan bagi kita harus segera dicabut, sebelum azab Allah swt menimpa semua yang tidak mengindahkan peringatan Allah swt. Dan menggantinya dengan keimanan yang tinggi dan mantap dengan syariat Allah swt.  Hal ini sebagaimana firman Allah swt, “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maidah:44). Wallahu a’lam bish showab. [DMS]

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.