19 April 2024
13 / 100

Dimensi.id-Hari raya Idul Fitri masih beberapa bulan lagi, namun drama kemacetan di jalur nasional akibat bertumpuknya kendaraan dan jalan tak layak kembali terjadi. Seperti mengulang peristiwa horor Lebaran tahun 2016, kemacetan di tol Brexit, dimana terjadi penumpukan kendaraan di persimpangan Gerbang Tol Brebes yang mempertemukan arus kendaraan yang keluar dari tol dengan kendaraan yang datang dari arah Cirebon melalui jalur Pantura.

 

Saat itu pembukaan pertama Jalan Tol Trans Jawa hingga Brebes Timur. Dimana jarak Jakarta hingga Brebes bisa ditempuh hanya dengan 4 jam perjalanan. Hal ini menjadi magnet bagi para pemudik untuk merasakan jalan baru itu. Namun saat itu waktu tempuh untuk hingga 35 jam, antrean panjang mengular di tol hingga 20 kilometer. Kali ini peristiwa horor itu terjadi ruas Jalan Nasional Sarolangun-Batanghari, Jambi. Berita ini menjadi viral di media sosial. “Kemacetan 22 jam di Jambi: Ikan Mati, Sopir Tekor, dan Penumpang Ambulans meninggal,” tulis akun Instagram @terangmedia.

 

Hingga Gubernur Jambi Al Haris, turun tangan dan ikut menyetop aktivitas truk pengangkut batu bara untuk melintas di jalan nasional. Kebijakan penyetopan itu dikeluarkan karena aktivitas truk pengangkutan batu bara membuat jalan macet sampai puluhan jam sehingga aktivitas ekonomi masyarakat lumpuh total. “Mencermati terjadinya kemacetan di ruas Jalan Nasional Sarolangun-Batanghari, khususnya wilayah Batanghari tadi malam sampai hari ini. Saya mengambil langkah-langkah, pertama kami menghimbau kepada seluruh pemegang IUP atau pengusaha tambang untuk sementara waktu tidak mengadakan angkutan dari mulut tambang sampai ke jalan atau ke ruas jalan nasional itu untuk tidak menambah kemacetan yang terjadi,” ujar Al Haris (VIVA Nasional, 1/3/2023).

 

Kepala Kepolisian Resor Batanghari AKBP Bambang Purwanto mengatakan, penyebab kemacetan lalu lintas ini ialah padatnya truk angkutan bara yang mencapai belasan ribu unit. Truk ini melewati jalan nasional di Jambi, karena belum ada jalur khusus,” kata Bambang. Tidak hanya padatnya truk angkutan batu bara, kemacetan ini juga kondisi sekitar jalan yang memburuk sebagai akibat hujan lebat (kompas.com, 1/3/2023).

 

Sungguh ironi, untuk infrastruktur, seperti jalan nasional, yang sangat dibutuhkan masyarakat, negara ini belum mampu menyediakannya. Selalu saja pembangunannya berujung maut, sebab ala kadarnya. Rakyat masih banyak yang kesulitan mendapatkan akses jalan yang layak di daerahnya. Tahun 2016 BPS melaporkan lebih dari 10 ribu desa di Indonesia masih memiliki infrastruktur jalan yang buruk. Lebih dari lima ribu desa/kelurahan punya jalan yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat sepanjang tahun. Ada yang hanya bisa dilalui saat musim kemarau, tetapi tidak di musim hujan. Sebagian kondisi jalan nasional rusak berat sepanjang 47.017 kilometer, alias sepanjang Pulau Jawa.

 

Padahal yang selalu dipropagandakan oleh penguasa adalah bayar pajak untuk pembangunan. Nyatanya, pajak yang dipungut dari semua orang termasuk rakyat miskin sangat jauh dari realisasi pemenuhan apa yang dibutuhkan rakyat. Jalan sangat urgen, sebab selain berfungsi untuk menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya juga mendukung maju mundurnya perekonomian. Memperlancar distribusi dari produsen ke konsumen.

 

Yang tak kalah viral adalah kasus “Sambo” kedua yang menyeret anak pejabat pajak dalam peristiwa penganiayaan anak dari petinggi salah satu ormas di Indonesia. Kasus berkembang merekah hingga rakyat mengetahui bagaimana gaya hidup para petinggi negeri ini yang sejatinya mereka menikmati kekayaan dari hasil pajak. Dengan status kepegawaian biasa, mampu memiliki kekayaan hingg 56 milyar, koleksi rumah, mobil dan motor yang membuat kian perih irisan luka di hati rakyat. Tak jarang di beberapa media sosial memperlihatkan perjuangan rakyat menafkahi keluarganya dengan bertaruh nyawa, melalui jalan yang tak layak.

 

Mengapa fakta ini bisa terjadi? Pajak kian beragam, tarif kian menjulang namun nasib rakyat kian terpuruk. Dari kemacetan di Jambi itu sudah berapa kerugian yang diderita rakyat? Bahkan ada yang meninggal dunia. Bukankah semestinya rakyat ada dalam jaminan negara, baik buruknya, sejahtera tidaknya? Sebagaimana Nabi saw. Bersabda: “Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari dan Ahmad).

 

Hadis di atas tidak berlaku, sebab hari ini kita tidak diatur oleh Islam atau syariat. Melainkan oleh sistem yang berasaskan sekuler, yaitu kapitalisme. Sistem ini meniscayakan manusia membuat aturan sendiri untuk kebaikannya. Dengan meninggalkan aturan agama, tak ada standar halal haram, bahkan tak mengenal batasan kepemilikan. Akibatnya yang kuat berkuasa yang lemah menjadi budak, yang punya modal besar bisa menguasai akses perekonomian dari hulu hingga hilir, sedangkan rakyat, yang kebanyakan lemah, hanya menikmati sisi ekonomi dari remahan semata.

 

Pembangunan infrastruktur di negara penganut kapitalisme hanya diperuntukkan kepentingan pemodal. Lihat bagaimana masifnya pembangunan bandara, jalan tol, bendungan, IKN dan lainnya yang sebenarnya tak menyentuh kebutuhan rakyat yang asasi. Yang juga sedang viral proyek KCJB yang biayanya kian membengkak, semula janji penguasa tidak akan menggunakan anggaran pembiayaan berasal dari APBN, nyatanya diobok-obok juga bahkan masih menambah utang ke Bank Hongkong guna menutup pembengkakan hingga miliaran rupiah.

 

Jelas saja rakyat tak mendapatkan haknya, alih-alih mewujudkan kesejahteraan, para pegawai pajak yang dinilai bapak Presiden suka pamer nyatanya juga menyumbang tidak terpenuhinya perolehan pajak setiap tahunnya, meskipun penguasa sudah menebar berbagai program di antaranya amnesti pajak. Sebab, kekayaan petinggi pajak juga didapat dari pengusaha yang tidak ingin seluruh harta kekayaannya dilaporkan pajak, sehingga terjadi deal-deal politik. Pada akhirnya, rakyat lagi yang menderita sebab menjadi obyek penyesuaian tarif pajak yang tidak pernah sesuai bahkan jenis yang dipajaki juga melebar.

 

Islam Menjamin Pembangunan Infrastruktur Tanpa Horor Bagi Rakyat

 

Negara yang menganut ideologi Kapitalisme menjadikan pajak sebagai urat nadi perekonomian. APBN Indonesia, misalnya, 70-80%-nya dibiayai dari pendapatan pajak. Bahkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 655 triliun pada tahun 2020 dan Rp 744,8 triliun pada 2021 justru berasal dari pajak. Sedangkan dalam Islam, pajak tidak wajib. Syariah Islam menetapkan bahwa pajak bukanlah sumber penghasilan untuk Negara, apalagi dijadikan urat nadi ekonomi Negara. Islam sudah menetapkan sumber-sumber pendapatan Negara (Khilafah). Di antaranya dari harta kepemilikan umum (seperti pertambangan), zakat dan sedekah, ghanîmah, kharaj, harta yang tak ada ahli warisnya, dan sebagainya yang terkumpul di Baitul Mal.

 

Dari sinilah negara mampu secara mandiri membiayai seluruh operasional negara termasuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat seperti jalan. Kebijakan negara berdasarkan syariat bersifat revolusioner alias menyeluruh, enam kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan dipenuhi oleh negara dengan kualitas terbaik.

 

Sehingga di dapati, hingga kini jejak kejayaan pengaturan masyarakat dan negara oleh Islam, contoh Khalifah Umar bin Khaththab ra., beliau membangun dar ad-daqiq sebagai rumah singgah untuk para musafir. Di sana mereka boleh makan dan beristirahat. Beliau pun menyediakan pendidikan untuk kaum Muslim dan memberikan gaji yang layak untuk para pengajar sebesar 15 dinar. Khalifah Umar ra. Juga memberikan insentif untuk anak-anak. Khalifah berikutnya, Utsman bin Affan ra., memberikan insentif 1 dirham setiap hari untuk kaum Muslim selama Ramadhan.

 

Para khalifah dari Bani Umayah juga melanjutkan kewajiban mengurus umat seperti membangun rumah sakit-rumah sakit, termasuk rumah sakit khusus untuk penderita kusta, secara gratis. Jalan-jalan di kota dibuat sesuai kebutuhan masyarakat, menghubungkan berbagai fasilitas umum seperti pasar, rumah sakit, perpustakaan, sekolah dan lainnya dengan prinsip memudahkan urusan rakyat. Demikian pula dengan pembagunan jalan nasional, sultan Hamid II, Khalifah Turki Ustmani membangun jalur kereta api dari Hijaz ke Madinah. Dimaksudkan untuk memperpendek perjalanan haji dan menyingkat waktu.

 

Semua dibiayai dari dana Baitul mal dan sumbangan para orang kaya. Bukan dari pajak, namun Negara dibolehkan mengambil pungutan/pajak dari kaum Muslim yang kaya untuk menunaikan berbagai kepentingan yang menjadi hajat umat ketika Baitul Mal atau Kas Negara mengalami kekurangan (defisit). Misalnya, untuk membiayai penanganan bencana alam; untuk fakir miskin; untuk kemaslahatan umat yang mendesak seperti pembangunan rumah sakit, jalan, jembatan, sekolah-sekolah; untuk keperluan jihad fi sabilillah, gaji pegawai negara, tentara, dan sebagainya (Syaikh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah Al-Khilâfah, hlm. 162-168).

 

Dan pungutan ini bersifat sementara dan hanya diambil dari kelebihan harta kaum Muslim yang kaya. Sangat jelas bedanya pengaturan dalam sistem kapitalis dengan Islam. Sistem dari Yang Maha Kuasa, tentulah akan menciptakan kebaikan bukan malah bencana. Tak akan ada lagi peristiwa horor hilangnya nyawa di jalan, bahkan bisa lagi lebih baik lagi dari hari ini karena pembangunan infrastruktur sangat terencana dan terukur. Negara pun tidak akan melibatkan asing untuk pembiayaan. Wallahu a’lam bish showab. [DMS].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.