13 Mei 2024

Dimensi.id-“Mending saya mati di jalanan dari pada anak istri saya mati kelaparan, kecuali kami diberi intensif selama PSBB” sebuah pernyataan ksatria dari seorang pengemudi Ojol yang nekat tetap bekerja di tengah badai Corona.

” Iya seharusnya mereka tahu, jalanan Jakarta itu masih penuh, masih macet, seharusnya mereka tahu apa yang kami kerjakan sekarang, kami memakamkan jenazah-jenazah yang tiap hari bertambah.”

“Tolong ikuti instruksi dari pemerintah diam di rumah, kurangilah pekerjaan kami, sedih lihatnya tiap hari,” kata Syam, seorang sopir ambulans pengangkut jenazah dengan protap virus Corona yang harus memakamkan puluhan korban pandemi perhari.

Dua pernyataan diatas mewakili isi hati jutaan rakyat dari berbagai profesi. Dua pernyataan yang tidak bisa dihakimi sepihak. Kondisi memang serba sulit bak memakan buah simalakama. Di luar rumah tidak aman terancam virus, di dalam rumah pun lebih menakutkan. Terancam kelaparan.

Di satu sisi, untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid 19. Perlu pembatasan interaksi dan kerumunan. Salah satu opsi yang di ambil pemerintah yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Masyarakat diminta tidak melakukan aktivitas di luar rumah kecuali kebutuhan mendesak.

Namun disisi lain, untuk masyarakat kelas bawah akan sulit diterapkan. Tanpa aktivitas bagi mereka sama dengan tanpa pemasukan. Sedangkan kebutuhan sandang pangan harus dipenuhi. Bagi mereka diam di rumah lebih menakutkan.

Dalam keadaan seperti ini, memang sudah tidak ada gunanya saling menyalahkan. Yang terpenting adalah mencari solusi yang terbaik. Rakyat bekerja sama dengan pemerintah dengan mematuhi untuk isolasi mandiri. Namun pemerintah pun wajib memenuhi semua kebutuhan dasar.

Faktanya tidak sesederhana itu. Melihat gelagat pemerintah dalam mengambil opsi dalam memerangi virus terkesan gagap dan gagal. Beberapa kebijakan justru kontroversial. Pebebasan 30.000 napi yang justru membuat masyarakat resah.

Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia mengumumkan penerbitan Global Bond terbesar yang pernah dikeluarkan dalam sejarah berdirinya Indonesia. Berhutang menjadi kebiasaan, padahal itu justru menyelesaikan masalah dengan masalah baru.

Manajemen Krisis

Dalam sebuah negara harusnya mempunyai manajemen krisis dalam mengelola pemerintahan. Manajemen krisis adalah proses yang membahas organisasi dengan sebuah peristiwa besar yang mengancam merugikan organisasi, pemangku kepentingan, atau masyarakat umum.

Ada tiga tahap yang harus dilalui manajemen krisis

Pertama: Pra krisis atau sebelum krisis yaitu dengan pencegahan dan persiapan. Berbicara pra krisis ini, negara dinilai gagal dalam upaya pencegahan dan persiapan. Tidak mempunyai sense of crisis bahkan cenderung cengengesan.

Kedua: Respon krisis

Respon krisis merupakan apa yang dilakukan dan dikatakan oleh manajemen saat krisis terjadi. Faktanya karena pra krisis tidak dipersiapkan dengan baik bahkan bisa dikatakan gagap dan gagal. Maka respon krisis pun tidak terkomunikasi dengan baik. Pejabat yang terkait terlihat tidak kompak dalam merespon krisis.

Ketiga: Setelah krisis

Manajemen setelah krisis pun tak kalah pentingnya dipersiapkan oleh pemerintah. Pasca hilangnya pandemi ini tentu butuh strategi untuk bangkit. Tumbangnya perekonomian khususnya akan memukul masyarakat dari semua kalangan.

Perlu langkah yang cepat, akurat dan konsisten untuk menjalankan manajemen krisis. Cepat tanpa mengulur waktu yang menyebabkan jatuh korban semakin banyak. Membuat kebijakan yang akurat yaitu teliti, cermat dan saksama. Sehingga kebijakan tersebut menghasilkan sesuatu yang positif. Dan konsisten terhadap keputusan. Yaitu pemerintah harus satu suara serta konsisten menjalankan keputusan.

Hal ini tidak sepenuhnya kesalahan pemerintahan. Toh, buktinya dua negara adidaya Amerika Serikat dan China pun tak jauh berbeda. Buruknya manajemen krisis negara ini membuat korban pandemi menjadi tertinggi di dunia.

Kegagalan kedua negara ini menjadi bukti bahwa sistem masing-masing negara ternyata gagal mengatasi wabah. Asas kapitalisme dan sosialisme yang diemban kedua negara ini memang tidak akan pernah berpihak kepada rakyat. Perekonomian yang disandarkan pada sektor non riil yaitu riba dan pasar modal mudah sekali collapse oleh pandemi.

Lalu siapa sebenarnya yang zalim?

Sistem yang dianutlah yang terbukti dzalim. Menyerahkan seluruh pengaturan kehidupan kepada manusia, menjadi kedaulatan di tangan manusia serta memisahkan peran agama dari kehidupan adalah pangkal dari semua masalah.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Kembali kepada Allah Swt. Karena terbukti ratusan negara yang terdampak tidak mampu membuat solusi yang sempurna dalam sebuah permasalahan.

Hanya sistem Islam yang belum diadopsi kembali oleh seluruh negara di dunia pasca runtuhnya hampir seabad yang lalu. Sistem yang bukan hasil dari pemikiran manusia. Akan tetapi bersumber lansung dari penciptanya manusia,

Ar-Rabb yang Maha Pengatur dan menguasai alam semesta.

Sistem Islam ini bukanlah sebuah teori atau utopis namun sudah dicontohkan lansung oleh baginda Rosullullah Saw kemudian diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin. Dilanjutkan oleh kekhalifahan Umawiyah, kekhalifahan Abbasiyah kemudian ditutup oleh kekhalifahan Utsmaniyah.

Inilah sistem Islam, sebuah sistem yang dianut oleh negara atau daulah  yaitu khalifah ala Manhajin nubuwwah. Sebuah sistem yang sudah dijanjikan oleh Allah Ta’ala dan kabar gembira dari Rosullullah Saw.

Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”

Waallahu a’lam bishshawaab[ia]

Penulis : Merli Ummu Khila (Kontributor Media, Pegiat Dakwah)

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.