20 April 2024
12 / 100

Dimensi.id-Presiden Joko Widodo mendukung langkah yang akan diambil PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) untuk dapat meneruskan proyek pembangunan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang mengalami pembengkakan biaya sekitar Rp8,3 triliun ke China Development Bank (CBD). Menurut presiden Jokowi, karena semua pihak harus mendukung transportasi massal. “Sehingga yang namanya MRT, LRT, Kereta Api, Kereta Api Cepat itu menjadi sebuah keharusan bagi kota-kota besar agar moda transportasi terintegrasi di dalam kota maupun dari kota ke kota, sehingga orang tidak cenderung kepada yang namanya mobil pribadi,” ungkap Jokowi (VOAIslam.com, 17/2/2023).

Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan, nilai pembengkakan biaya dalam proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung yang telah disepakati oleh Indonesia dan China adalah sebesar $1,2 miliar. Untuk dapat menutupi pembengkakan biaya tersebut Indonesia, lewat PT KCIC, berencana meminjam dari China Development Bank (CDB) senilai $550 juta atau sekitar Rp8,3 triliun. Menurut Kartika, Indonesia dan China ikut menanggung pembengkakan biaya tersebut, di mana 25 persen berasal dari setoran ekuitas, dan 75 persen berasal dari pinjaman utang. Dari porsi pinjaman tersebut, Indonesia menanggung sebanyak 60 persen sementara China 40 persen.

Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengungkapkan pembengkakan biaya dalam proyek ini merupakan akibat dari perencanaan yang buruk sehingga tidak ada mitigasi risiko dari awal. Alhasil, katanya, pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Menurut Faisal, utang dalam jangka pendek mungkin bisa mengatasi permasalahan APBN, tapi dalam jangka panjang bisa membebani ekonomi, membebani APBN itu sendiri dan juga rakyat. Padahal pasca COVID-19 utang kita juga sudah membengkak, jadi artinya ini akan semakin membebani, baik ke pemerintah maupun ke BUMN atau swasta. Belum lagi risiko dari pembayaran utang yang disertai bunga yang kata Faisal kita belum tahu berapa besarnya, seharusnya pemerintah dan China bisa meminta special rate untuk proyek ini dari China Development Bank.

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengungkapkan pembengkakan biaya dalam membangun sebuah proyek infrastruktur lumrah terjadi. Meski begitu, ia menganggap proyek awal kereta cepat ini tidak dipersiapkan dengan matang yang sebenarnya tidak boleh membebani anggaran negara karena bersifat business to business.

Indonesia Terpedaya Janji Manis Proyek KCJB

Pembangunan kereta cepat juga melenceng dari kesepakatan awal, di mana Cina menjanjikan bahwa proyek ini tidak akan menggunakan APBN. Dengan adanya pembengkakan kereta cepat membuat pemerintah Indonesia akhirnya mengucurkan dana APBN melalui Penyertaan Modal Negara atau PMN. PMN tersebut diberikan pada PT Kereta Api Indonesia sebesar Rp 3,2 triliun. Sesuai Perpres 93 Tahun 2021, KAI ditunjuk sebagai pimpinan konsorsium BUMN proyek KCJB dan menetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan PMN kepada pimpinan konsorsium BUMN. Sebagai Proyek Strategis Nasional untuk melayani transportasi publik, dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk penyelesaian kereta cepat pertama di Asia Tenggara ini.

Perusahaan Konsorsium merupakan gabungan dari konsorsium Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (60% saham), dan konsorsium Tiongkok, Beijing Yawan HSR Co Ltd (40% saham). Konsorsium Indonesia terdiri dari empat perusahaan pelat merah. Wijaya Karya menjadi pemegang saham paling besar, yakni 38%. Lalu, PT Perkebunan Nusantara VIII dan PT KAI masing-masing memiliki 25% saham. Sisanya dipegang oleh Jasa Marga, sebesar 12% (katadata.co.id, 17/2/2023).

Benarkah Indonesia terpedaya janji manis China terkait pembangunan proyek ini? Bisa jadi, bengkaknya biaya KCBJ menunjukkan perencaaan yang tidak cermat dari pemerintah dalam membangun kerjasama dengan investor. Apalagi untuk proyek yang sejatinya bukan program prioritas dan bemanfaat untuk banyak orang rakyat di tengah ketiadaan dana negara. Apalagi Utang seperti ini juga bisa membahayakan kedaulatan negara.

Bagaimana tidak? Sudahlah skema awal B to B yang tanpa APBN tidak tercapai, biaya juga kian bengkak, dan kini Indonesia utang ke Cina untuk menambal biaya KCJB. Padahal jumlah utang Indonesia selain untuk KCJB juga tidak sedikit. Lebih dari itu, utang luar negeri tidaklah diberikan oleh negara-negara kapitalis kecuali dengan riba, padahal riba itu haram bagi umat Islam. Dengan demikian, hukum syariat utang luar negeri adalah haram. Dan bagaimana dengan nasib negara yang terpaksa menyerahkan wilayah dan kekuasaannya kepada China karena gagal bayar seperti Zimbabwe dan Srilanka? Bisa jadi, hal itu juga akan menimpa negara kita jika kita tak berusaha paham di mana akar persoalannya dan bersuara.

Di sisi lain, masih banyak problem prioritas yang menanti solusi tuntas negara, seperti mengentaskan kemiskinan, stunting, rumah layak huni , bangunan sekolah, jalan dan lain-lain. Di musim hujan banjir dimana-mana, tanah longsor, gempa dan lainnya, tak mungkin selesai jika negara setengah hati mengurusnya. Sungguh disayangkan, APBN yang digali dari sumber pajak dan utang, yang seharusnya benar-benar dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur yang berhubungan dengan kebutuhan masyarakat malah “morat-marit” ( berantakan =Jawa, penulis).

Padahal pajak mengikat setiap warga, tak peduli miskin, kaya, mapan, pengangguran tetap menjadi obyek pajak. Dengan dijejali kata-kata,” Warga Bijak Taat Pajak”. Pertanyaannya, penguasa tak peduli dengan keadaan itu bahkan bersedia menanggung pembayaran utang meski porsi pembayarannya sangat merugikan Indonesia. Pembengkakan ini sekaligus menjadi bukti bahwa sekulerisme yang melandasi setiap aturan hari ini sangat merugikan rakyat.

Islam Solusi Tuntas Pembiayaan Infrastruktur Yang Bermanfaat Bagi Rakyat

China hadir sebagai kekuatan ekonomi dunia baru di abad 21 ini, nafsu kapitalisme yang mereka miliki tak cukup hanya untuk negaranya, namun China menggagas Mega proyek global bernama Belt Road Initiative (BRI) dan adalah salah satu proyeknya. Indonesia menjadi surga investasi negara-negara maju termasuk China dan Indonesia pun telah resmi menjadi anggota BRI, tentu tujuannya adalah meningkatkan perekonomian secara signifikan dalam bentuk kerjasama Cina-Indonesia yang terus meningkat.

Nyatanya, BRI di Indonesia tak beda dengan negara kapitalis lainnya yaitu berupa penanaman modal di sektor infrastruktur. Hal ini menegaskan kapitalisme tak mungkin menciptakan kerjasama yang fair dan tanpa unsur manfaat. Sebab, sejatinya, kapitalisme tak pernah bisa hidup dan besar tanpa penjajahan. Hari ini, penjajahan itu berupa perjanjian dan penanaman modal. Wajar, karena asas kapitalisme adalah sekuler, tak ada standar halal haram, semua asalkan ada manfaat tak akan bisa dibatasi oleh aturan apapun untuk dimiliki termasuk aturan agama.

Sedangkan Islam memiliki skala prioritas proyek pembangunan. Juga memiliki sumber dana yang luar biasa yang mampu menyokong proyek-proyek negara. Dengan demikian negara tak tergantung pada negara lain, bahkan terlibat hutang dengan riba, sesuatu yang diharamkan dalam Islam.

Dalam buku The Great Leader of Umar bin al Khattab halaman 314-316. Diceritakan, bahwa Khalifah Umar al Faruq menyediakan pos khusus dari Baitul Mal untuk mendanai infrastruktur, khususnya jalan dan semua yang terkait dengan sarana dan prasarana jalan. Hal ini untuk memudahkan transportasi antar berbagai kawasan Daulah Khilafah. Khalifah Umar melalui gubernur-gubernurnya sangat memperhatikan perbaikan berbagai jalan pada tahun 19 H. Berbagai proyek direalisasikan mulai dari membuat sungai, teluk, memperbaiki jalan, membangun jembatan dan bendungan menghabiskan anggaran negara dengan jumlah besar pada masa Umar. Namun semua bukan dari utang ataupun pajak.

Baitul mal Daulah kunci pembiayaan negara, di dalamnya terdapat pos pendapatan dan pengeluaran yang masing-masing sudah ditentukan oleh syariat. Dengan prinsip “Maa laa yatim al-wajib illa bihi fahuwa waajib.” (Suatu kewajibanyang tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu hukumnya menjadi wajib. Dan juga fungsi kepala negara sebagai periayah sebagaimana sabda Rasulullah Saw,” Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari), negara hadir benar-benar fokus pada kebutuhan rakyat, dan keadaan yang demikian tidak akan bisa diterapkan kecuali setelah dicabutnya sistem kapitalisme di negeri ini berikut di dunia. Wallahu a’lam bish showab. [DMS]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.