28 Maret 2024
Politik identitas, sumber: pixabay
72 / 100

Dimensi.id-Jelang Pemilu 2024, berbagai pihak mewanti-wanti masyarakat untuk tidak terjebak dengan politik identitas. Pasalnya, politik identitas dianggap sesuatu yang berbahaya karena dapat mengantarkan pada perpecahan. Presiden Jokowi sampai berpesan agar masyarakat jangan sampai menjadi korban politik identitas.

Hanya saja, patut kita cermati bahwa narasi politik identitas selalu dilekatkan dengan agama Islam. Nomenklatur ini mulai banyak dibahas pasca-Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Kemenangan Anies Baswedan atas Ahok, misalnya, disebut-sebut sebagai contoh nyata keberhasilan politik identitas.

Beberapa pihak memandang isu “penista agama dan haramnya pemimpin kafir” telah sukses mengantarkan Anies pada kemenangan. Begitu pun media, terutama media sosial, yang sukses menjadi alat politik terkumpulnya jutaan umat di Monas Jakarta, menjadi fenomena baru di era digital. Artinya, narasi politik identitas sejatinya menunjuk pada ajaran Islam. Seolah-olah ajarannya dapat memecah belah bangsa dan menjadi musabab lahirnya berbagai macam problem.

Menurut Wikipedia, politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok, seperti etnis, suku, budaya, agama, atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok. Identitas atau jati diri ini terdapat dalam berbagai bentuk dan jenis, seperti gender, agama, suku, profesi, dll.. Walhasil, perkumpulan yang didasarkan pada satu kesamaan identitas akan membentuk sebuah kelompok identitas.

Secara konsep, politik identitas tampak netral. Bahkan, cenderung positif karena substansinya adalah perlawanan terhadap berbagai penindasan dan ketidakadilan dalam satu tatanan struktur politik tertentu. Akan tetapi, dalam praktiknya, ada berbagai pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Apalagi, ketika mereka menganggap telah terjadi penguatan politik identitas, terutama dengan basis agama (baca: Islam).

Baca juga: Mempertanyakan Profesionalisme Penegakan Hukum di Indonesia

Banyak pihak (terutama elite politik sekuler) menggunakan isu politik identitas ini untuk menolak fenomena penguatan tersebut. Sebenarnya, mereka inilah yang membuat makna politik identitas bergeser menjadi cenderung negatif. Sayangnya, banyak di antara mereka ini mengaku sebagai muslim, tetapi malah menolak ketika Islam dijadikan asas, identitas, dan tatanan yang mengatur kehidupan bermasyarakat secara komprehensif.

Politik Identitas, Mengapa Dipersoalkan?

Mempersoalkan politik identitas sungguh merupakan hal yang tidak realistis. Pada faktanya, Indonesia adalah negeri kaya. Bukan hanya kaya dengan kekayaan alamnya, tetapi kaya pula dengan ragam agama yang diakui negara, ragam suku, etnis, dan budaya.

Wajar pula jika ada yang lebih suka berkumpul dengan kawan seagama atau sesuku. Mungkin dirasa lebih nyambung. Sebagaimana peribahasa, “Birds of the same feather flock together (burung yang berbulu sama akan berkumpul bersama).”

Umat Islam tentu tidak seharusnya terjebak dalam permainan istilah yang digunakan oleh kelompok radikal-sekuler anti-Islam. Alasannya:

Pertama, tudingan mereka sesungguhnya hanya membuktikan sikap hipokrit (kemunafikan) mereka. Faktanya, setiap menjelang Pilpres atau Pilkada, merekalah sebetulnya yang sering memainkan “politik identitas” atau melakukan “politisasi agama”. Caranya dengan memanipulasi identitas, bahkan agama/keyakinan mereka.

Kedua, tudingan mereka bertujuan agar umat Islam meninggalkan sama sekali identitas keislaman mereka. Juga agar umat Islam tidak menggunakan kacamata Islam dalam memilih pemimpin mereka.

Narasi bahaya politik identitas Islam tidak bisa terlepas dari grand design proyek War on Terrorism (WoT) negara adidaya Amerika. Narasi terorisme justru selalu tertuju pada Islam. Barat sebagai negara adidaya tentu tidak ingin posisinya tergeser dalam menghegemoni dunia. Barat sadar betul bahwa dunia Islam memiliki segalanya untuk menandingi barat.

Baca juga: Pemuda Bermental Lemah, Ini Penyebab dan Solusinya!

Dari segi populasi, jumlah muslim sedunia sangat besar, lebih dari 1,6 miliar. Mereka tinggal di wilayah yang secara geopolitik sangat strategis, sangat kaya secara ekonomi. Yang paling utama, dunia Islam memiliki sistem nilai—Islam itu sendiri—yang sangat mungkin membuat umat Islam sedunia bangkit kembali. Selain itu, secara historis, dunia Islam memang pernah menjadi adidaya berabad-abad lamanya.

Setidaknya ada dua kepentingan di balik tudingan politik identitas: 

Pertama, pengokohan ideologi kapitalisme-sekuler.Mengapa? Karena para elite politik ini mendapatkan keuntungan dengan beroperasinya sistem bobrok ini. Mereka mendapatkan keuntungan dari sistem sekuler seperti pungutan pajak yang mencekik rakyat, kenaikan BBM, rente (bunga) dari utang luar negeri,  legalisasi impor dan bisnis miras, penghalalan riba (bunga, interest), hingga penguasaan sumberdaya alam.

Kedua, pembiaran praktik politik pragmatis: kampanye hitam terhadap lawan politik. Dalam konteks yang lebih praktis, isu politik identitas ini dipakai untuk melakukan kampanye hitam (black campaign) terhadap lawan politik. Kampanye hitam dibedakan dengan kampanye negatif. Kampanye hitam terkait dengan menyerang lawan politik dengan kebohongan (hoaks), bukan fakta (fact). Kampanye negatif menyerang lawan politik dengan fakta kelemahan dari ide atau kebijakan yang dilakukan.

Wajib Memegang Teguh Identitas Islam

Politik identitas pada prakteknya memang menimbulkan banyak persoalan. Ini karena  politik identitas berarti memanfaatkan identitas agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. Misalnya, tingkah politisi atau parpol yang jelang pemilu tiba-tiba kerap berpenampilan Islami, rajin sowan mendekati kyai, santri, dan sejenisnya.

Sedangkan di luar itu, mereka tidak peduli dengan umat Islam, bahkan cenderung zalim kepada umat Islam. Hal ini berbeda dengan yang disebut identitas politik, karena identitas politik adalah jati diri yang semestinya lekat dengan aktivitas politik. Dengan kata lain, identitas politik akan menjadi pembeda antara satu dengan yang lainnya.

Islam sendiri menetapkan bahwa seorang muslim, terutama para politisi, wajib memiliki identitas yang mencirikan ideologinya, yakni identitas Islam. Islam inilah yang menjadi ciri, hingga ia bisa dibedakan dari identitas selain Islam.

Terlebih partai politik Islam, tentu jati dirinya harus tampak kental dengan identitas politik Islam. Identitas ini antara lain nampak pada asas, visi, misi dan aktivitas partai. Asasnya adalah akidah Islam. Visi dan misinya adalah meraih kemuliaan Islam. Sementara itu, aktivitas partainya tentu harus sejalan dengan syariat Islam.

Terkait hal ini Allah Swt. Berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه وَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَاَنۡـتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ‏

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS Ali Imran: 102).

Juga berfirman:

وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِ​ؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ‏

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).

Melalui dua ayat ini Allah menegaskan pentingnya kaum muslim dan partai politik Islam untuk memiliki identitas yang tegas, yakni identitas Islam. Bahkan, konsistensi atas ideologi Islam ini akan memberi jaminan bagi diraihnya kesuksesan.

Ideologi Islamlah yang selama ini telah menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan. Bukan hanya dalam skala lokal dan nasional, bahkan skala internasional. Bukan pula hanya sekadar mempersatukan, tetapi berhasil membawa umat kepada ketinggian peradaban selama belasan abad.

Baca juga: Akibat Sistem Sekuler Masjid pun Dibatasi Fungsinya

Allah Swt. telah memerintahkan hambaNya agar memeluk Islam secara kaffah, dalam seluruh aspek kehidupan, Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِى السِّلۡمِ کَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّيۡطٰنِ​ؕ اِنَّه لَـکُمۡ عَدُوٌّ مُّبِيۡنٌ‏

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sungguh ia musuh yang nyata bagi kalian.” (QS Al-Baqarah [2] : 208).

Imam Al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menjelaskan, “Ketika Allah Swt. menjelaskan kepada umat manusia, baik mukmin, kafir, maupun munafik, maka Dia (seolah) berfirman, ‘Jadilah kalian dalam satu agama, berhimpunlah kalian dalam Islam, dan berpegang teguhlah dengannya.’ Kata ‘as-Silmi’ di sini maknanya Islam. Ini dinyatakan oleh Mujahid dan diriwayatkan oleh Abu Malik dari Ibn ‘Abbas.” Oleh karena itu, ayat ini memerintahkan semua umat manusia untuk memeluk Islam secara kaffah.

Dalam kitab yang sama Imam Al-Qurthubi lalu menjelaskan makna kafah di dalam ayat ini: Pertama, menyeluruh, yakni meliputi seluruh ajaran Islam. Kedua, menolak yang lain, di luar Islam. Dengan kata lain, orang yang telah memeluk Islam wajib mengambil Islam secara menyeluruh dan menolak yang lain selain Islam. Itu baru disebut masuk Islam secara kaffah. Dengan kata lain, seorang muslim wajib mengimani dan mengambil Islam secara utuh. Tidak boleh sepotong-sepotong. Dipilih-pilih yang enak dan mudah saja (Lihat: QS Al-Baqarah [2] : 85).

Oleh karena itu, haram hukumnya meninggalkan identitas Islam dalam hal apa pun. Sebaliknya, identitas Islam harus dipegang teguh oleh setiap muslim dalam seluruh aspek kehidupannya. Tidak hanya saat beribadah, tetapi juga dalam melakukan kegiatan lain seperti ekonomi, sosial, pendidikan, politik, pemerintahan, dan sebagainya.

Dalam konteks politik Islam, Al-‘Allamah al-Qadhi Syekh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan,  “Politik adalah mengurusi urusan umat di dalam dan luar negeri. Hal itu dilakukan oleh negara dan umat. Negaralah yang melaksanakan pengurusan ini secara langsung, sedangkan umat lah yang mengoreksi negara.” (An-Nabhani, Mafâhim Siyâsiyyah, hlm. 5).

Berpolitik—yakni mengurusi urusan umat, di dalam dan luar negeri—dengan menerapkan Islam secara kaffah itu hukumnya wajib, baik oleh negara maupun umat. Itulah politik Islam. Oleh karena itu, seorang muslim sejatinya adalah politikus.

Penyebabnya, politik dalam pandangan Islam adalah mengurusi urusan umat dengan syariat Islam sehingga setiap politisi muslim wajib menguasai fiqih Islam dengan baik dan benar. Jika tidak menguasai fiqih Islam, ia tidak akan bisa mengurusi urusan umat dengan baik dan benar.

Oleh karena itu, fikih dan politik, dalam pandangan Islam, tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, fikih adalah solusinya, sedangkan politik adalah cara bagaimana mengimplementasikan fikih tersebut dalam kehidupan.

Sebaliknya, ketika politik umat Islam tidak menggunakan fikih atau syariat Islam, maka politiknya tidak mempunyai identitas yang jelas. Politiknya akan menjadi politik sekuler yang oportunis dan hipokrit. Inilah yang digambarkan dalam Al-Qur’an,sebagaimana firman-Nya:

مُّذَبۡذَبِيۡنَ بَيۡنَ ۖ ذٰ لِكَ لَاۤ اِلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ وَلَاۤ اِلٰى هٰٓؤُلَاۤءِؕ وَمَنۡ يُّضۡلِلِ اللّٰهُ فَلَنۡ تَجِدَ لَه سَبِيۡلًا‏

“Mereka (orang-orang munafik) dalam keadaan ragu di antara yang demikian (iman atau kafir). Tidak termasuk golongan (orang beriman) ini dan tidak (pula) golongan (orang kafir) itu. Siapa saja yang dibiarkan sesat oleh Allah (karena tidak mengikuti tuntunan-Nya dan memilih kesesatan), kamu tidak akan menemukan jalan (untuk memberi petunjuk) bagi dirinya.”(QS An-Nisa’ [4] : 143).

Alhasil, tidak boleh seorang muslim menanggalkan syariat Islam sebagai identitasnya dalam berpolitik. Apapun alasannya. Sebaliknya, ia wajib terikat dengan syariat Islam dalam segala aspek kehidupannya. Identitas Islam harus benar-benar tampak menonjol dalam kehidupan umat Islam. Tidak boleh lagi disembunyikan.

Apalagi jika alasan yang mendasari sikap menyembunyikan identitas Islam itu adalah kekhawatiran atau ketakutan akan tudingan kelompok radikal-sekuler anti-Islam. Penyebabnya, tentu kelompok radikal-sekuler anti-Islam tidak ingin Islam dan syariatnya mewarnai kehidupan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas negeri ini.

Oleh karena itu, umat Islam, para tokoh Islam, para pimpinan partai Islam, maupun para calon pemimpin dari kalangan Islam tidak perlu ragu lagi menunjukkan identitas keislaman mereka. Tidak perlu ragu lagi mereka menyuarakan syariat Islam. Saatnya mereka berani secara lantang menyuarakan syariat Islam. Jangan lagi mereka menyembunyikan kebenaran Islam. Ini karena Allah Swt. telah berfirman:

وَلَا تَلۡبِسُوا الۡحَـقَّ بِالۡبَاطِلِ وَتَكۡتُمُوا الۡحَـقَّ وَاَنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ‏

“Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan. Jangan pula kalian menyembunyikan kebenaran, padahal kalian tahu.”(QS Al-Baqarah [2] : 42).

Selain itu, menampakkan identitas Islam merupakan bagian dari syiar Islam yang harus terus diagungkan. Ini karena, mengagungkan syiar Islam adalah bagian dari ketakwaan kepada Allah Swt.. Allah Swt. Berfirman:

ذٰلِكَ وَمَنۡ يُّعَظِّمۡ شَعَآٮِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنۡ تَقۡوَى الۡقُلُوۡبِ‏

“Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sungguh itu berasal dari ketakwaan di dalam hati.” (QS Al-Hajj [22] : 32).

Menjadi suatu hal yang mendesak untuk membangun kesadaran politik di tengah umat. Yakni dengan menjadikan akidah Islam sebagai sudut pandang mereka dalam memandang dunia secara keseluruhan. Akidah Islam menjadi tolok ukur dalam mengindra setiap pergolakan politik yang terjadi.

Dengan terbangunnya kesadaran politik,  akan memunculkan kepekaan yang tinggi. Umat akan mampu menyibak kabut penjajahan yang dikemas dalam bentuk modernisasi maupun berbagai proyek pembangunan kapitalistik di tengah kehidupan.

Mereka tidak akan lagi mudah ‘dicekoki’ oleh berbagai narasi dusta yang dikemas dengan kata-kata yang bombastis dan berbagai branding politik yang dibangun. Gelombang kesadaran politik ini akan terus meningkat seiring dengan aktivitas politik yakni dakwah amar makruf nahi mungkar yang terus berlangsung di tengah umat.

Penutup                                       

Realitas negeri-negeri muslim saat ini, termasuk Indonesia, berada dalam cengkeraman penjajah. Sebagiannya dijajah secara fisik, sebagian lainnya dijajah secara ekonomi dan politik. Dalam rangka melanggengkan hegemoninya itulah negara-negara barat penjajah tersebut lalu membuat narasi fiktif, yakni narasi yang menggambarkan Islam politik itu seolah sebuah ancaman bagi dunia.

Padahal faktanya, imperialisme yang telah menimbulkan kerusakan di dunia itu, justru akibat ulah mereka. Bandingkan dengan peradaban Islam yang selama 13 abad telah memayungi dunia dengan berbagai kemuliaan dan kegemilangannya.

Penyesatan opini yang mereka lakukan itu harus dihadapi umat Islam melalui aktivitas dakwah untuk menjelaskan ajaran Islam. Dengan itu, masyarakat akan paham bahwa semua ajaran Islam, termasuk di dalamnya Khilafah, merupakan rahmat dari Allah Taala, bukan keburukan sebagaimana dipropagandakan oleh musuh-musuh Islam.

Seiring waktu, identitas politik Islam akan makin menguat di negeri-negeri muslim. Itulah identitas yang berupa kesadaran untuk menegakkan kembali syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Jika kesadaran tersebut terus menguat dan meluas, tentu itu akan menjadi mimpi buruk bagi negara-negara barat penjajah. 

Tidak hanya menjadi pertanda berakhirnya imperialisme mereka di negeri muslim, melainkan juga menjadi pertanda runtuhnya peradaban kapitalisme liberalisme di dunia. Wallahu’alam bissawab. [AW]

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.