2 Mei 2024

Dimensi.id-Disaat dokter dan perawat di seluruh dunia termasuk juga Indonesia disibukkan dengan penanganan terhadap penderita corona, juga pihak keamanan yang terus-menerus meningkatkan penjagaan terutama di wilayah  perbatasan agar tidak ada warga yang melakukan kegiatan berkerumun, baik itu kegiatan sosial, keagamaan ataupun acara keluarga lainnya. Juga mengawasi agar jangan ada yang mudik khususnya dari ibubkota.

Ada pihak lain yang tak kalah sibuknya. Walaupun kesibukannya bukan menangani penderita corona atai menjaga dibperbatasan, melainkan sibuk memilah siapa yang layak mendapat bantuan terkait orang yang terdampak PSBB akibat wabah Virus Corona. Dia adalah aparatur terdekat dengan  warga, dia yg langsung berhubungan dengan warga, sebagaimana diungkapkan oleh gubernur Jabar bahwa beliau-beliau ini akan terpapar ‘isu harian’.Ya dia adalah RT dan RW.

Betapa tidak, pemberitaan dari pusat bantuan sudah turun tetapi belum juga sampai. Belum lagi ada pemberitaan dari pusat bahwa seluruh warga Indonesia akan mendapatkan bantuan. Walhasil RT dan RW lah yg ditanyai warga. Ada yang nyinyir di medsos dengan menyebutkan bahwa mereka tidak adil, yang diberi hanya yang dekat dengan aparat saja, bahkan ada yg melabrak langsung ke rumahnya dan menggeledah karena disangkanya bantuan tersebut sengaja ditimbun di rumah RT / RW. Tanpa mereka tahu,  Atau mungkin mereka tidak mau tahu bagaimana lelahnya dan tersiksa nya RT dan RW itu.

Protes dari pihak RT/RW hingga kepala desa juga terungkap di mana-mana. Bahkan  bupati Bolaang Mangondouw Timur (Boltim) Sulawesi Utara yang marah sambil mengumpat para menteri adalah representasi yang mewakili perasaan rakyat di semua daerah. Betapa tidak, rakyat harus menempuh mekanisme berbelit yang diciptakan oleh sistem hari ini untuk mendapatkan haknya. ‘Isu harian’ tersebut tidak serta merta datang begitu saja tanpa sebab. Adanya kecurangan di wilayah lain yang berimbas pada pelabelan ke semua aparat terutama RT dan RW.

Kecurangan tersebut diantaranya adanya data yang tidak valid. Orangnya sudah meninggal tapi tetap mendapat bantuan. Maka diubahlah aturan dari hanya meminta KTP sekarang harus dengan menyertakan foto terbaru.  Belum lagi dari sisi besaran dananya, jelas tidak mampu memenuhi kebutuhan yang harus ditanggung masyarakat selama masa pembatasan fisik. Apalagi jumlah dan luasan penerima manfaat juga tidak menjangkau semua masyarakat miskin. Belum terhitung  masyarakat kelas menengah yang usaha dan pekerjaannya terdampak langsung pandemick dan ‘turun kelas’ menjadi miskin.

Masalah data seharusnya menjadi masalah mudah, karena masalah teknis saja. Mungkin agak ribet melakukan validasi data di masa wabah tapi bila Negara bersungguh-sungguh maka seharusnya data diperbaharui secara periodik. Nyata benar bahwa aturan yang dibuat oleh manusia itu melelahkan, tidak menentramkan apalagi bisa memuaskan hati. Hal ini terjadi karena banyaknya bantuan tidak seimbang dengan banyaknya yg layak mendapat bantuan.

Para penerima bantuan didasarkan pada aturan manusia bukan aturan Allah maka pantaslah itu malah semakin menampakkan ketidak adilan. Dalam sistem kapitalistik hari ini persoalan penyaluran dana bantuan memang bukan hanya persoalan teknis berupa salah sasaran, data ganda dan mekanisme berbelit. Jumlah atau besaran dana yang dialokasikan Negara untuk rakyat banyak seringkali mengusik rasa keadilan publik.

Berbeda dengan sistem Kekhilafahan dimana manusia tidak membuat aturan melainkan melaksanakan aturan karena semua aturan sudah jelas terdapat di dalam Al-quran dan hadits. Setiap perintah jelas dari puncak kepemimpinan sampai ke bawah sehingga tidak ada kekacauan dan dis komunikasi. Kesejahteraan rakyat lebih terjamin dan peranan aparat lebih tepat. Dalam Khilafah, semua warga Negara, muslim maupun non muslim tidak dibedakan dalam mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk kebutuhan pangan.

Bantuan diberikan tanpa syarat rumit. Dan syarat administratif berupa keterangan miskin atau KTP yang menunjukkan bahwa dia warga daerah A, bukan menjadi satu-satunya penentu. Meski tidak memiliki KTP atau tanda pengenal resmi, kalau dipastikan bahwa dia warga negara maka berhak mendapat bantuan. Bahkan bukan hanya orang yang mengajukan diri, tapi juga orang-orang yang menjaga diri (tidak menampakkan kemiskinan) juga harus diberi bantuan.

Islam menggariskan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah kewajiban pemerintah untuk menjaminnya. Dalam soal pangan, Jaminan Negara berupa pemastian bahwa setiap individu rakyat mampu memenuhi kebutuhan pangan tersebut secara layak. Mekanisme langsung diberikan melalui pemberian bantuan kepada kelompok masyarakat yang faktanya kesulitan mendapat bahan pangan karena tidak ada penghasilan atau tidak cukup dana (fakir miskin) atau juga harga sedang tidak stabilnya harga akibat pasokan kurang.

Pemerintah wajib memberikan bantuan dan melakukan operasi pasar tanpa mekanisme berbelit. Dalam kondisi wabah di masa Khalifah Umar RA terdata 70.000 orang membutuhkan makanan dan 30 ribu warga sakit. Semua diperlakukan sebagai warga negara yang berhak mendapatkan haknya dari negara, tanpa direndahkan dan disengsarakan dengan mekanisme berbelit.(Ustadzah Iffah Ainur Rochmah: 2020)

Khalifah terus mencari tahu apakah masih ada orang yang berhak yang tidak terdata atau bahkan mereka tidak mau menunjukkan kekurangannya. Karena, membiarkan ada yang miskin dan tidak mendapat bantuan karena mereka tidak mengajukan diri adalah juga bagian dari kelalaian pemerintah. Allah ta’ala berfirman dalam suran Adh-Dhariyat atay 19

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

(Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian)

Pada sisi lain, dalam sistem Islam setiap orang diperintahkan untuk menjaga dirinya dengan sifat-sifat mulia termasuk menjaga diri dari meminta-minta. Maka ketika pemimpin (Khalifah) memahami ini, justru mereka harus mencari orang-orang yang berkebutuhan untuk bisa memberikan bantuan karena itu merupakan kewajiban Negara. Bukan sebagaimana dalam sistem kapitalisme seperti saat ini dimana untuk mendapatkan haknya dari Negara, rakyat harus menyengsarakan diri dengan proses ribet dan seolah harus memberi imbalan kepada penguasa yang ‘menolong’nya dengan memilihnya kembali sebagai penguasa

Negeri ini membutuhkan perubahan yang menyeluruh dan semestinya masa pandemik ini menjadi saat tepat untuk itu. Lakukan taubat nasional dan bertaubatlah untuk tidak lagi menggunakan sistem pemerintahan buatan manusia yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan mengundang konflik. Kembalilah pada hukum Allah dan insyaAllah dengan komitmen tersebut Allah kabulkan doa agar wabah segera berakhir dan Allah limpahkan keberkahan dan solusi untuk benar-benar mendapatkan solusi tuntas melalui tegaknya Khilafah.

Islam menjamin kebutuhan pokok rakyat. Salah satu bagian terpenting dari syariat Islam adalah adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan jaminan kebutuhan pokok bagi rakyatnya. Kebutuhan pokok ini berupa pangan, pakaian, papan serta lapangan pekerjaan.

Dalam hal memenuhi kebutuhan pokok ini Islam mewajibkan kaum laki-laki untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok untuk dirinya dan keluarganya. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya” (QS. Al baqarah: 233).

Bagi orang yang tidak mampu bekerja, Islam telah menetapkan nafkah mereka akan dijamin oleh sanak kerabatnya. Jika sanak kerabatnya juga tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka beban menafkahi diserahkan kepada negara.

Negara Islam dengan Baitul Malnya akan menanggung nafkah bagi orang-orang yang tidak mampu bekerja dan berusaha. Rasullah ﷺ bersabda:

“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Fakta bahwa pemerintahan Islam saat itu telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Hal ini tercermin dengan apa yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab, beliau telah membangun suatu rumah yang di beri nama daar al-daaqiq (rumah tepung). Dalam rumah tersebut tersedia berbagai macam jenis tepung, kurma dan barang-barang kebutuhan lainnya.

Tujuan dibangunnya rumah itu adalah untuk menolong rakyat yang membutuhkan kebutuhan sehari-hari. Jika negara tidak mampu, maka seluruh kaum muslimin wajib menanggungnya. Ini direfleksikan dengan cara penarikan pajak oleh negara dari orang-orang kaya. Selanjutnya, pajak akan didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Beginilah cara negara Islam dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya, dengan mekanisme yang sederhana tanpa berbelit. Hal ini membuat rakyat terjamin kebutuhan pokoknya. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran.

Penulis : Imas Royani

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.