28 Maret 2024
8 / 100

Dimensi.id-Pada suatu kesempatan Abu Dzar al-Ghifari protes kepada Rasulullah SAW karena tidak kunjung dilantik menjadi pejabat. Sambil menepuk pundak Abu Dzar, Nabi SAW berkata, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut” (HR Muslim).

 

Hadis di atas mengingatkan kita tentang unjuk rasa sejumlah kepala desa di depan gedung DPR RI pada 17 Januari 2023 lalu yang menuai polemik. Mereka menuntut penambahan masa jabatan, dari 6 tahun menjadi 9 tahun . Meski mereka diterima anggota dewan dan dijanjikan tuntutannya akan diakomodir dalam revisi UU Desa, tapi tak sedikit yang justru mengkritiknya. Sebab, tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun berpotensi melanggengkan oligarki (tirto.id, 19/1/2023).

 

UU No. 6 Tahun 2014 soal Desa mengatur masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali hingga 3 kali periode (secara berurutan atau terputus-putus). Artinya, jika seorang kepala desa terpilih tiga periode secara berturut-turut, maka ia menjabat sebagai orang nomor satu di sebuah desa selama 18 tahun. Luar biasa, jika amanah mungkin tidak masalah, namun tak sedikit kepala desa yang tersandung masalah hingga menjadi pesakitan dan di penjara. Bagaimana pun jabatan adalah amanah, jika sekelas Abu Dzar Al-Ghifari ditolak Rasulullah, apalagi manusia hari ini yang sudah sangat jauh dari agama (baca: Islam).

 

Namun bagi Robi Darwis, salah satu peserta unjuk rasa di depan gedung DPR RI tersebut, masa jabatan 6 tahun sebagai mana diatur Pasal 39 UU No. 6 tahun 2014 masih terlalu singkat. Ia berdalih, waktu enam tahun hanya habis untuk konsolidasi (upaya memperkuat hubungan antara dua pihak atau lebih). Selain menuntut masa jabatan kepala desa untuk diperpanjang, Robi juga meminta aparat pemerintahan desa diberi kejelasan mengenai posisi jabatannya. Robi menyebut sejumlah kepala urusan (Kaur) pemerintahan di desa tidak berada dalam status PPPK atau ASN. “Bagaimana nasib Kaur di desa di seluruh Indonesia? Karena hingga saat ini statusnya belum jelas. Apakah akan menjabat sebagai PPPK atau PNS,” kata dia.

 

Penambahan masa Jabatan Kepala Desa, perpanjangan tangan oligarki?

 

Pengamat politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga berpendapat, keberanian menolak tuntutan diperlukan karena disinyalir ide perpanjangan masa jabatan terkait dengan Pemilu 2024.“Ini artinya, ide perpanjangan masa jabatan itu cenderung pragmatis untuk melanggengkan kekuasaan, dimana penguasa berharap capres yang mereka usung akan mendapat dukungan penuh dari kepala desa.”( RMOL,22/1/2023).

 

Lebih jauh Jamiluddin mengatakan, indikasi itu terlihat dari keberanian beberapa kepala desa yang mengancam partai politik. Padahal dengan masa jabatan 6 tahun saja tak sedikit kepala desa yang justru terjerat kasus korupsi. Data KPK dari 2012 sampai dengan 2021, tercatat ada 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 686 kades di tanah air terjerat ( Republika.co.id, 21/1/2023). Bagaimana tidak memunculkan peluang korupsi, untuk maju jadi kepala desa setidaknya membutuhkan biaya 400 juta bahkan lebih. Belum lagi dengan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) jelas kian subur. Jabatan kepala desa cukup strategis meski hanya tingkat desa.

 

Justru kepala desa adalah ujung tombak penguasa dan oligarki guna menyampaikan maksud dan tujuan terselubung mereka kepada rakyat. Di sinilah celah rentan yang mudah dimasuki, terlebih kapitalisme bersifat menghalalkan segala cara, sekulerisme menjadi pilihan, seringkali muncul slogan “jujur ajur” ( jujur bakal hancur=Jawa. Pen).

Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie mengatakan penambahan masa jabatan menabrak semangat otonomi desa. Ia pun menganggap debat berapa tahun dan periode jabatan kepala desa terkesan pragmatis. “Tampak nafsu berkuasa tanpa batas melupakan filosofi Pancasila yang mensyaratkan nilai-nilai kepemimpinan yang penuh hikmah, kebijaksanaan (wisdom), musyawarah (syuro), keterwakilan,” kata Gugun, ia pun mengingatkan agar penambahan masa jabatan kepada-kepada desa dipertimbangkan secara holistik dari banyak aspek. Mulai dari historis, aspek filosofis sampai aspek konstitusional. Jangan ada transaksi politik atau barter kepentingan yang membunuh masa depan desa.

Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusional Universitas Islam Indonesia (PSHK UII), Mazdan Maftukha Assyayuti menambahkan masa jabatan kades telah diatur Pasal 39 UU Desa. Kades dapat menjabat enam tahun paling banyak tiga periode. Artinya, kades dapat menjabat maksimal 18 tahun. Bila diperpanjang jadi 9 tahun, maka kepala desa dapat menjabat paling lama 27 tahun. Padahal, pembatasan masa jabatan merupakan perwujudan prinsip demokrasi dan semangat yang dihendaki UUD 1945. “Sehingga, penyimpangan atas prinsip pembatasan masa jabatan kepala desa ini merupakan penyimpangan terhadap amanat konstitusi,” kata Mazdan, Kamis (Republika.co.id, 19/1/2023).

 

Islam Munculkan Penguasa Amanah

Sungguh miris, usulan perpanjangan masa jabatan dibutuhkan untuk melaksanakan program pembangunan karena 6 tahun hanya cukup untuk konsolidasi. Apalagi jika dikaitkan dengan banyaknya Kepala desa yang menjadi pelaku korupsi.

 

Di sisi lain, hal ini menunjukkan perbedaan paradigma akan makna kekuasaan. Dalam sistem demokrasi, jabatan dan kekuasaan menjadi alat untuk memperkaya diri, dan memfasilitasi para pengusaha, yang menjadi para penguasa sejati, untuk mencapai tujuan nya sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat.

Sementara dalam Islam, kekuasaan adalah amanah dalam mengurus rakyat yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, yang wajib terikat kepada hukum syara. Di hadis yang penulis munculkan di atas bukan berarti individu Muslim tidak boleh menjadi pemimpin, namun profesionalitas dan kecakapan memimpin sangat dibutuhkan. Berikutnya dengan apa pemimpin itu memimpin , sebab jika salah mengambil panduan kepemimpinan yang menjadi korban adalah rakyat yang dipimpin.

 

Dalam Islam, jabatan kepala desa sangat strategis sebagai koordinator dan penghubung antara rakyat langsung dengan negara. Mereka tidak membuat hukum karena hanya berfungsi melanjutkan perintah dari pemerintah pusat dan daerah. Memberikan data kepada pusat dan daerah terkait jumlah penduduk dan semua yang dibutuhkan negara untuk meriayah rakyat. Tidak ada waktu tertentu terkait masa jabatannya, selama ia mampu melaksanakan beban amanahnya maka tidak akan diganti, sebagaimana jabatan Kholifah yang akan terus menjabat hingga ia menyatakan ketidaksanggupannya.

 

Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan karena permintaan maka tanggung jawabnya akan dibebankan kepadamu. Namun jika kamu diangkat tanpa permintaan, maka kamu akan diberi pertolongan.” (HR Muslim). Hadis ini patut kita renungkan , permintaan perpanjangan masa jabatan ini sebagai manifestasi loyalitas ataukah karena tuntutan? Jika loyalitas, pantaskah mereka menuntut memperpanjang jabatannya sementara mereka berada pada sistem yang kufur dan kapitalisme. Dimana seharusnya jika muslim wajib menolak bernaung di bawah sistem kufur.

 

Kita perjuangkan perubahan hakiki, agar hanya Islam yang memimpin, dan karenanya muncul pemimpin yang bertakwa yang mngurusi umat dengan sepenuh hati. Jika tuntutan perpanjang masa jabatan adalah tuntutan, bukankah lebih baik kita menuntut hidup mulia dalam naungan syariat? Wallahu a’lam bish showab. [DMS] .

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.