28 Maret 2024
12 / 100

Dimensi.id-United Libertaion Movement of West Papua (ULMWP ) dan Pemerintah Indonesia, melalui Komnas HAM, sepakat melakukan jeda kemanusiaan di Papua selama enam bulan ke depan. Kesepakatan ini ditandatangani di Kantor Hendry Dunant Centre (HDC) atau Centre for Humanitarian Dialogue, Jenewa, pada 15 November 2022.

Henry Dunant Centre sebagai mediator yang berpengalaman memediasi konflik di berbagai negara menjadi mediator dalam tiga fase dialog kemanusiaan di kantor Henry Dunant Centre, Jenewa, Swiss. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) melalui ketuanya Seby Sambom menolak jeda perdamaian atau perdamaian ini, alasannya sebagai salah satu bagian dari kelompok perjuangan Papua merdeka, pihaknya merasa tidak dilibatkan sama sekali dalam dialog.

Seby Sambom merasa perang ini antara TPNPB dan TNI/Polri dan akan terus berjalan karena peperangan TPNPB adalah peperangan pembebasan Papua Barat. Sedangkan Direktur ULMWP melalui ketuanya, Markus Haluk mengatakan bahwa tujuan utama Jeda Kemanusiaan adalah menargetkan pemberian bantuan kemanusiaan kepada warga sipil yang terjebak dalam wilayah konflik bersenjata dan warga sipil yang mengungsi akibat konflik bersenjata di kawasan dan waktu tertentu melalui “Koridor Kemanusiaan”. Termasuk kepastian atas pemenuhan hak-hak dasar para tahanan dan narapidana, yaitu tahanan politik di Papua.

Banyak pihak berharap jeda kemanusiaan ini benar-benar menjadi peluang untuk sama-sama memberikan ruang untuk dialog menuju perdamaian abadi, memberikan jalan untuk merealisasikan program-program koridor kemanusiaan, membangun kepercayaan antara Jakarta dan Papua di samping tentu tidak saja untuk melakukan deeskalasi konflik, sehingga tercipta tatanan kehidupan masyarakat yang tenang dan damai, tanpa konflik serta kekerasan.

Kapitalisme Minim Riayah

Inisiatif jeda perdamaian Papua ini diharapkan keberhasilannya sebagaimana penyelesaian konflik Aceh pada tahun 2000, padahal faktanya berbeda, konflik Aceh hanya dimotori oleh satu gerakan yaitu Gerakan Aceh Merdeka yang memang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa ditumpangi banyak kepentingan dan pihak. Berbeda dengan di Papua, selain konflik yang sudah memakan waktu lama dan tersebar di berbagai wilayah di Papua, gerakannya yang disebut pemerintah kita dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) juga ditunggangi dengan banyak negara dan kepentingan.

Maka sungguh aneh, jika ada kesepakatan yang dibuat di Jenewa, Swiss, tentang masalah di Papua, dimana pihak yang sesungguhnya berkonflik tidak dilibatkan. Bahkan yang digadang-gadang demi kemanusiaan juga tak bisa dipercaya, sebab akar persoalan tidak ada kedamaian bukan karena konflik, tapi banyaknya kelaparan dan kurang gizi karena ketidakmerataan pembangunan.

Perjanjian ini sesungguhnya samasekali tidak efektif karena tidak menyentuh akar permasalahan. Yaitu ketidaksejateraan rakyat Papua sehingga mudah dipengaruhi dan digoncang, apapun demi urusan perut. Maka sungguh apapun akan dilakukan untuk bisa memenuhi urusan perut. Termasuk keinginan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI.

Papua adalah salah satu kekayaan negara Indonesia, gunungnya emas, lembahnya kekayaan hayati, lautannya pun menawarkan keindahan dan kekayaaan alam luar biasa, namun sayang, keadilan tidak berpihak kepadanya. Sejak sebelum kemerdekaan, kekayaannya sudah diincar banyak negara asing terutama Amerika, sehingga begitu revolusi perjuangan berakhir, Belanda bersedia angkat kaki dari negeri Indonesia, Amerika datang sebagai penghubung atau penjaga perdamaian.

Namun, sebenarnya, sebagai negara kapitalis yang baru keluar dari politik isolasi, sangat haus akan tanah jajahan, Indonesialah incarannya, terutama Papua yang begitu populer di buku-buku para penjelajah dunia. Jadilah hingga hari ini, berdasarkan perjanjian-perjanjian kerjasama, ketidakadilan ini dimulai. Kekayaan bumi Papua di keruk, sementara penduduknya dibodohkan dan dimiskinkan dalam narasi kearifan lokal.

Selamanya kapitalisme akan gagal meriayah rakyat sebuah negara, sebab orientasinya hanyalah perolehan materi untuk para pemodal. Indonesia, di segala lini sudah dikuasai oleh para korporat ini, tak luput Papua yang kaya raya. Pembangunan yang hanya terfokus di Jawa bukan tanpa alasan. Lagi-lagi kapitalis yang menghendaki hegemoninya mulus tanpa campur tangan pemerintah pusat.

Papua Damai Hanya Dalam Islam

Ketika Islam menjadi mercusuar peradaban, seluruh wilayahnya berada dalam satu kepemimpinan. Tak ada batas wilayah kecuali yang berbatasan langsung dengan negara kafir atau masih belum tunduk kepada Islam. Selama 13 abad, Khilafah berhasil menyatukan dua pertiga bumi, meliputi berbagai bahasa, warna kulit, ras , bahasa, agama dan budaya, semuanya satu yaitu sebagai warga negara khilafah.

Pun kesejahteraan masing-masing wilayah sangatlah adil dan merata, hingga pengusaha wanita dan sejarawan Carly Fiorin, CEO Hewlett-Packard mengatakan,”Pernah ada suatu peradaban yang merupakan peradaban terbesar di dunia. Peradaban itu mampu menciptakan negara super-benua yang membentang dari laut ke laut dan dari iklim utara ke daerah tropis dan gurun. Di dalam dominasinya hidup ratusan juta orang, dari berbagai kepercayaan dan etnis.”

“Salah satu bahasanya menjadi bahasa universal sebagian besar dunia, jembatan antara rakyat di ratusan negeri. Pasukannya terdiri dari orang-orang dari banyak negara, dan perlindungan militernya memungkinkan tingkat kedamaian dan kemakmuran yang belum pernah diketahui sebelumnya. Jangkauan perdagangan peradaban ini meluas dari Amerika Latin ke Cina, dan dimanapun di antara keduanya.”

“Peradaban ini sangat didorong oleh penemuannya. Arsiteknya merancang bangunan yang melawan gravitasi. Matematikawannya menciptakan aljabar dan algoritma yang memungkinkan pembuatan komputer, dan enkripsi. Para dokter memeriksa tubuh manusia, dan menemukan obat baru untuk penyakit. Para astronom memandang ke langit, menamai bintang-bintang, dan membuka jalan untuk perjalanan ruang angkasa dan penjelajahan. Para penulisnya menciptakan ribuan cerita. Kisah-kisah keberanian, romansa, dan keajaiban. Para penyairnya menulis tentang cinta, ketika orang lain sebelum mereka terlalu tenggelam dalam rasa takut untuk memikirkan hal-hal seperti itu.”

“Ketika negara-negara lain takut dengan pemikiran, peradaban ini berkembang pesat pada mereka, dan membuat mereka tetap hidup. Ketika banyak yang mengancam untuk menghapus pengetahuan dari peradaban masa lalu, peradaban ini membuat pengetahuan itu tetap hidup, dan meneruskannya kepada orang lain. Sementara peradaban Barat modern memiliki banyak ciri-ciri ini, peradaban yang saya bicarakan adalah dunia Islam dari tahun 800 hingga 1600, yang meliputi Kekaisaran Ottoman dan pengadilan Baghdad, Damaskus, dan Kairo, serta para penguasa tercerahkan seperti Suleyman yang Agung.

“ kita sering tidak menyadari hutang kita kepada peradaban ini, pemberiannya merupakan bagian dari warisan kita. Industri teknologi tidak akan pernah ada tanpa kontribusi ahli matematika Arab.” Sejarawan itu sedang membicarakan Khilafah, sistem pemerintahan dalam Islam yang tak diragukan lagi mampu menyatukan banyak wilayah dalam tingkat kesejahteraan yang sama. Sebab, setiap konflik diselesaikan dengan landasan syariat, tegas dan bukan tebang pilih. Di sisi lain, pemimpin Islam dengan ketakwaannya menjalankan urusan periayaan rakyatnya. Wallahu a’lam bish showab. [DMS]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.