29 Maret 2024
Peraturan
70 / 100

Dimensi.id-Kementerian Agama resmi mengeluarkan PMA (Peraturan Menteri Agama) No. 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Naskah PMA telah dipublikasikan melalui kemenag.go.id pada Kamis, 13 Oktober 2022.

PMA No. 73/2022 tentang PPKS

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa atau tidak secara paksa, atau bertentangan dengan kehendak seseorang atau dengan kehendak karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang menyebabkan seseorang mengalami penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.(PMA 73/2022 tentang PPKS)

Jika mengikuti berita terkait kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan akhir-akhir ini, menjadi hal yang memprihatinkan memang. Selain jumlah kasus yang kian meningkat, bentuk kekerasannya pun kian beragam dan pelakunya adalah orang-orang terdekat bahkan dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan atau pimpinan satuan pendidikan. Fenomena semacam ini turut menyita kekhawatiran orang tua untuk melepas putra-putrinya belajar di sekolah, pesantren maupun kampus.

Sebelumnya, akhir Agustus 2021 lalu, Menteri Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan tersebut sempat menimbulkan polemik beberapa pihak karena muatan sexual consent yang cukup ambigu dan dapat mengarah pada pelaziman perbuatan zina (sex bebas) atas dasar kesadaran/persetujuan (suka sama suka). Terbitnya peraturan ini tidak lepas dari menjamurnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi.

Bab III. Pencegahan

Pada Bab III. Pencegahan dokumen PMA No. 73 tahun 2022 tentang PPKS. Dalam bab tersebut (dimulai dari pasal 6), nomor (1) Satuan Pendidikan wajib melakukan Pencegahan Kekerasan Seksual melalui ; (a) sosialisasi (b) pembelajaran (c) penguatan tata kelola (d) penguatan budaya, dan (e) kegiatan lainnya sesuai kebutuhan. Kelima poin tersebut dijelaskan lebih detail pada nomor (2) s/d (5).

Bentuk sosialisasi yang dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan penyampaian informasi, kampanye, dan bentuk lainnya terkait Kekerasan Seksual. Pencegahan melalui kegiatan pembelajaran sebagaimana ayat (1) huruf b dilakukan dengan (a) pengembangan kurikulum dan pembelajaran, (b) pembuatan modul, buku dan literatur lainnya, dan (c) penyelenggaraan pelatihan, halakah, kajian dan kegiatan lainnya. Untuk pencegahan melalui kegiatan penguatan tata kelola pada ayat (1) huruf c meliputi ; (a) penyusunan standar prosedur operasional Pencegahan Kekerasan Seksual, (b) penyediaan sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan dan (c) Kerja sama dengan instansi terkait. Sedangkan pencegahan melalui kegiatan penguatan budaya sebagaimana ayat (1) huruf d dilakukan dalam bentuk (a) pengenalan lingkungan, (b) peduli Pencegahan Kekerasan Seksual, dan (d) pengembangan jejaring komunikasi.

Dalam Bab III tersebut, Menteri Agama tidak memasukkan frasa agama sekalipun dalam upaya pencegahan tindakan kekerasan seksual. Menteri Agama mewajibkan Satuan Pendidikan melakukan pencegahan melalui penguatan tata kelola dan budaya, bukan agama.

Bagian Kelima : Penindakan, pasal 13 ayat 1 penindakan dilakukan atas terlapor Kekerasan Seksual oleh Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Peserta Didik yang berusia 18 (delapan belas tahun). Ayat 2 dijelaskan penindakan dilakukan dalam bentuk ; (a) pembebasan sementara dari tugas dan/atau jabatannya, dan (b) pembebasan sementara dari layanan pendidikan terlapor. Syarat pelaku yang dikenai penindakan yakni usia 18 tahun, hal ini menjadi celah (pembenaran) bagi remaja usia dibawah 18 tahun untuk dapat melakukan perkara menyimpang ini. Begitupula 2 (dua) poin ayat 2, penindakan atas pelaku/terlapor telihat begitu ringan hukumannya dan tidak menjerakan bagi pelaku.

Pencegahan Kekerasan Seksual Berdasarkan Islam

Islam sebagai aturan kehidupan manusia telah menjelaskan secara rinci mengenai sanksi hukum atas tindakan kriminal. Kriminal dalam Islam disebut dengan istilah jarimah. Menurut Imam al- Mawardi dalam kitab Al Ahkam Al Sulthaniyah menjelaskan, jarimah adalah segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan/atau meninggalkan yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau takzir.

Ada 4 (empat) jenis sanksi hukum (uqubat) dalam Islam ; hudud, jinayat, ta’zir dan mukholafat. Hudud merupakan sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara’. Jinayat merupakan sanksi yang diberikan atas pelanggaran terhadap badan yang didalamnya mengandung qishas (balasan yang setimpal) dan diyat (denda harta). Ta’zir merupakan sanksi yang penetapannya diberikan oleh Khalifah (pemimpin) berdasarkan ijtihad sesuai kaidah syara’. Sedangkan mukholafat merupakan sanksi atas pelanggaran terhadap peraturan yang ditetapkan oleh negara.

Kekerasan seksual masuk dalam kategori jarimah. Sanksi hukum Islam (uqubat) terhadap tindakan kekerasan seksual tergantung bentuk kejahatannya. Jika tindakan yang dilakukan berupa kekerasan fisik, maka pelaku dijatuhi hukuman jinayat. Jika tindakan yang dilakukan berupa kekerasan seksual maka pelaku dijatuhi hukuman hudud berupa rajam/(kepalanya) dilempar dengan batu hingga meninggal bagi pelaku yang sudah menikah.

Sedangkan untuk pelaku yang belum menikah hukumannya berupa cambuk sebanyak 100x dan diasingkan. Selain itu, pelaku akan dikenai sanksi ta’zir jika tindakan yang dilakukan berupa ancaman, celaan atau pencemaran nama baik, penculikan dan pencabulan.

Hukuman tersebut dijatuhkan kepada pelaku yang sudah baligh dan berakal, bukan untuk pelaku yang berusia 18 (delapan belas) tahun. Hal ini karena dalam Islam, seseorang yang sudah baligh dan berakal telah dibebani hukum terutama bagi Muslim, sehingga mereka disebut sebagai mukallaf.

Baca Juga : Insentif Untuk Investor IKN, Insecure Untuk Rakyat Indonesia

Seorang mukallaf telah sempurna fisik dan akalnya untuk dapat melaksanakan kewajiban hukum syariat Islam. Seorang mukallaf yang melakukan penyimpangan terhadap syari’at Islam, maka ia wajib dihukum berdasarkan sanksi hukum Islam. Sehingga tidak ada celah terjadinya penyimpangan bagi remaja yang telah berusia baligh.

Selain itu, sanksi hukum Islam memiliki karkater yang bersifat jawazir yakni menimbulkan efek jera dan jawabir yakni mampu menebus dosa di dunia. Dengan adanya sanksi yang tegas seperti ini, sangat efektif dalam menumpas kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan secara khusus dan masyarakat secara umum.

Sudah sepatutnya Menteri Agama melirik (mengambil) syariat Islam dalam menerapkan aturan pencegahan kekerasan seksual. Islam telah memberikan gambaran solusi detil dan efektif dalam perkara ini. Penguatan budaya dengan mengenal lingkungan sebagaimana dijelaskan dalam klausul pencegahan (PMA 73/2022 PPKS) menghasilkan tafsir ambigu. Pasalnya, budaya masyarakat setiap wilayah berbeda-beda. Budaya sendiri merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya bersifat relatif, bisa berarti benar menurut kelompok/masyarakat tertentu namun bisa berarti salah/menyimpang menurut kelompok lain.

Sebagai contoh  aurat. Di beberapa kawasan pariwisata di Indonesia terutama di pantai seperti Bali, wanita menampakkan tubuhnya adalah fenomena biasa dan oleh masyarakat atau budaya setempat ini dianggap bukan perkara yang menyimpang. Di saat yang sama, di Aceh misalnya, wanita tanpa busana adalah fenomena tabu yang dianggap tidak lazim bagi masyarakat setempat. Contoh sederhana ini menunjukkan bahwa budaya tidak bisa dijadikan sebagai rujukan dalam mencari solusi atau mengukur benar tidaknya suatu perkara, karena budaya adalah hasil pemikiran atau aturan yang disepakati oleh manusia.

Berbeda dengan syariat Islam. Islam bersifat jelas dan pasti (hukumnya tetap/baku/tidak berubah). Syariat Islam yang berlaku bagi Muslim di satu wilayah dengan wilayah lain adalah sama, karena yang menetapkan adalah Allah sebagai as Syar’i (pembuat hukum) yang diberlakukan untuk ummat manusia tanpa memandang ras, budaya, suku, warna kulit, dan status sosial.

Islam sendiri bukan hanya sebagai agama spiritual yang mengatur tatacara beribadah dan berakhlak mulia, namun Islam juga sebagai aturan kehidupan (agama politik/siyasiyah) yang mengatur tatacara berinteraksi sosial di masyarakat serta mengatur (memberikan) solusi yang timbul dari interasksi tersebut dalam kehidupan masyarakat dan negara.

Seorang Muslim wajib mengambil tawaran solusi dari Islam, terlebih Menteri Agama. Menteri Agama ya wajib mengambil dan mengacu norma agama Islam dalam membuat suatu kebijakan atau peraturan, bukan budaya. Dengan demikian, untuk mengatasi permasalahan klasik kekerasan seksual dapat diwujudkan hanya dengan melalui penerapan aturan hukum Islam, bukan yang lain.[Dms]

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.