29 Maret 2024
12 / 100

Dimensi.id-MinyaKita, nama merek dagang migor yang diluncurkan pemerintah pada 2022 lalu ditujukan untuk menekan kenaikan harga minyak goreng, ternyata awal tahun 2023, artinya belum genap setahun setelah diluncurkan, stoknya di pasar langka. Para pedagang mulai mengeluh, sebab berlanjut pada kenaikan harga jika pun bisa didapat barangnya. Dari HET Rp14.000 menjadi Rp17.000 bahkan hingga Rp20.000/ liter Sungguh memberatkan sekaligus merepotkan.

 

Apa yang terjadi dan bagaimana upaya pemerintah mengatasi permasalahan ini? Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 49 Tahun 2022, minyak goreng rakyat terdiri atas minyak curah dan MinyaKita yang diatur oleh pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 14.000 per liter. Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan memastikan suplai MinyaKita sebanyak 450.000 ton hanya akan tersedia di pasar tradisional. “MinyaKita kita cek lagi, enggak boleh dijual online. Kita suruh jual di pasar. Tapi nanti akan ada masalah lagi, Kok di supermarket enggak ada, ya memang ini untuk pasar, online juga enggak boleh,” ujar Zulkifli dilansir dari Antara, Jumat (kompas.com,3/2/2023).

 

Zulkifli meminta rakyat yang membutuhkan minyak untuk pergi ke pasar. “Kalau bisa belanja online, ya jangan beli MinyaKita dong, beli aja yang premium.” katanya. Menurut Zulkifli, Pemerintah dan produsen telah sepakat untuk meningkatkan tambahan suplai minyak goreng (migor) kemasan dan curah sebanyak 450.000 ton per bulan selama tiga bulan yaitu Februari-April 2023. Upaya ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat jelang Puasa hingga Lebaran 2023.

 

Terkait kelangkaan MinyaKita di pasaran bukan karena stok minyak goreng yang menipis, tapi akibat banyak masyarakat yang mulai beralih dari minyak goreng premium menjadi MinyaKita lantaran kualitasnya yang tidak berbeda jauh. Padahal MinyaKita hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Agar masyarakat tidak memborong MinyaKita, Zulkifli hingga mewajibkan setiap calon pembeli membawa KTP, pembeli juga dibatasi maksimal hanya boleh membeli 5 kilogram. Selain itu, pembeli dilarang memborong MinyaKita untuk dijual kembali.

 

MinyaKita diproduksi oleh perusahaan-perusahaan minyak goreng untuk memenuhi kebijakan domestic price obligation (DMO) demi mendapatkan izin ekspor. Dimana perusahaan produsen minyak sawit yang beroperasi di Indonesia diharuskan memproduksi minyak murah kemasan MinyaKita agar bisa mendapatkan izin kuota ekspor CPO. Semakin besar MinyaKita yang diproduksi dan dipasarkan di dalam negeri, semakin besar pula kuota ekspor yang bisa diberikan pemerintah. Realisasi suplai pasokan dalam negeri yang harus dipenuhi perusahaan sebelum ekspor (DMO) November lalu inilah yang juga turut menyumbang kelangkaan MiyaKita di pasaran.

 

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, membantah pernyataan Mendag, menurutnya kelangkaan ini karena adanya perubahan regulasi yang menyebabkan produsen mengalihkan produksi Minyakita ke minyak curah. Karena produsen keberatan, biayanya lebih mahal.

 

Ahli ekonomi dari lembaga riset Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan DMO bukan satu-satunya sebab hilangnya MinyaKita di pasaran. Adanya peningkatan permintaan bahan baku minyak goreng (CPO) untuk Program biodiesel B35, juga turut menyumbang kelangkaan MinyaKita. Porsi BUMN sangat sedikit, sehingga membuat swasta mempermainkan kondisi ini. Terlebih adanya praktik mafia minyak, penanganan setengah hati sangat tidak membantu kondisi membaik.

 

Namun, hal itu dibantah oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Arilangga Hartarto. Menurut Airlangga program B35 tidak akan mengganggu pasokan untuk minyak kebutuhan konsumsi. Kelangkaan Minyakita terjadi karena lemahnya permintaan di dalam negeri. Memang benar melemah, karena memang rakyat tidak sanggup membeli dan sekaligus stoknya terbatas. Pertanyaannya bagaimana mengatasinya?

 

Kapitalisme Bermain, Harga Terpaksa Ikut Aturan Main

 

Nasib rakyat di ujung tanduk, berbagai pihak berdiri pada pendapat masing-masing. Sebenarnya ini adalah dampak dari kesalahan pengelolaan pemenuhan salah satu kebutuhan rakyat. Kebijakan yang sudah dibuat, tujuannya untuk mengatasi kenaikan harga minyak yang melambung hingga tak terbeli rakyat, kini malah memunculkan kelangkaan hingga kembali rakyat tak bisa mengakses kebutuhan pokoknya. Bila semua pihak menganalisa namun dengan kacamata kapitalisme, maka hasilnya akan sama saja. Nol.

 

Sebab, pijakan kapitalisme hanya pada siapa yang modalnya paling besar. Dalam hal ini, produsen minyaklah yang memiliki modal, hingga bisa memiliki lahan luas untuk menanam sawit, memiliki pabriknya untuk mengelola minyak bahkan hingga bisa menentukan harga dan sebaran distribusinya. Pemerintah seolah telah mengupayakan menormalkan, dengan mewajibkan membawa KTP ketika hendak membeli, dan tempatnya hanya di pasar, sementara jika bisa online sebaiknya beli yang premium. Bukankah minyak adalah kebutuhan rakyat tanpa pandang bulu atau kelas?

 

Bak kerbau dicocok hidungnya, penguasa mengajukan berbagai alasan guna membenarkan upaya yang telah ditempuh, namun, jika masih saja berpihak kepada pengusaha kelas kakap yang sangat kapitalistik kapan rakyat bisa menikmati hasilnya? Semua pengusaha menjadikan keuntungan sebagai tujuan, karena itu tak mungkin ‘bersedia’ memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga yang murah. Bagi mereka, urusan kesejahteraan rakyat bukan urusan mereka, maka ketika ada peluang mendapatkan harga yang lebih bersaing untuk produknya mereka tak akan tinggal diam.

 

Karena, tak masuk logika, dengan melihat perbandingan luas lahan perkebunan di negeri ini dengan kelangkaan yang terjadi. Kementerian Pertanian mengeluarkan data termutakhir luas perkebunan kelapa sawit Indonesia. Angkanya berada di 15,98 juta hektare per 2021. Selama lima tahun terakhir, luas perkebunan kelapa sawit terus bertambah. Pada 2017, Kementerian Pertanian mencatat 14.048.722 hektare. Tahun berikutnya naik menjadi 14.326.350 hektare. Beberapa provinsi malah ada yang mengalami kenaikan luas areal kebun secara signifikan pada periode tahun 2018-2019. Seperti daerah Kalimantan tengah, Kalimantan Barat dan Papua ( betahita.id, 14/3/2022).

 

Kemudahan-kemudahan pengalihan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang diberikan pemerintah kita bisa kita lihat dari masivnya perluasan lahan, padahal, dengan eksplorasi yang membabi buta, bisa dipastikan akan ada kerusakan ekosistem. Dan kita sudah pernah mengalami kepungan asap berbulan-bulan akibat pembakaran hutan gambut saat pembukaan lahan besar-besaran. Padahal, lahan gambut adalah celengan oksigen murni bagi bumi.

 

Jika saja, penguasa bisa lebih fokus pada rakyat, dengan kemudian menjalankan amanat UUD 1945 pasal 33 tentang sumber daya alam yang wajib dikuasai negara ,tentulah ketahanan pangan dalam negeri bukan menjadi masalah, dan kebijakan ekspor tidak akan menjadi bumerang bagi kebutuhan dalam negeri. Pengusaha tidak dibebani dengan DMO, namun negara sendiri yang mengelola SDA untuk kebutuhan rakyat dan pendapatan negara.

 

Sebab, hari ini, negara nyaris hanya bertumpu pada pendapatan pajak dan utang luar negeri. Sumber pendapatan yang sangat rentan dengan fluktuatif, sementara kebutuhan rakyat tetap. Memang harus ada kebijakan yang seimbang dan stabil agar kesejahteraan bukan sekadar ilusi.

 

Islam, Penjamin Kesejahteraan Rakyat

 

Rasulullah Saw bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Artinya, Islam menjadikan negara sebagai raa’in, yaitu pihak yang memenuhi kebutuhan rakyat. Maka kebijakan yang dibuat pun untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan menggunakan politik ekonomi Islam.

 

Yang menjadikan negara tidak tersandera kepentingan para pemilik modal sebagaimana dalam sistem kapitalis. Dengan demikian negara mampu memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga murah, sehingga kondisi harga pun terkendali dan stok pun mencukupi . Islam sangat sempurna, tidak saja mengatur tata cara beribadah namun juga bernegara. Sejarah tidak akan mampu dihapuskan dari benak umat, bahwa kemakmuran dan kesejahteraan yang berlimpah telah diterima generasi Muslim terdahulu saat Islam memimpin.

 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tentu namanya sangatlah masyhur, dalam pendeknya kepemimpinannya, yang hanya 2 tahun, namun kesejahteraan rakyatnya tiada banding, beliau hingga kehabisan akal bagaimana agar uang yang tersimpan di Baitul Mal benar-benar bisa digunakan untuk rakyat, sebab para amil, petugas Baitul Mal telah ia perintahkan untuk mencari orang yang wajib dizakati, pemuda yang ingin menikah namun tak punya modal, hingga orang yang menanggung hutang untuk dibayarkan dari kas Baitul mal, namun semua nihil, tidak ada lagi yang membutuhkan uang dari Baitul mal.

 

Bisa jadi pada masa itu tetap ada orang kaya dan miskin , namun mereka mendapatkan perlakuan yang sama, adil dan berprikemanusiaan. Namun, semuanya tidak khawatir terhadap kebutuhannya, sebab, negara hadir sebagai penjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang enam yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Dalam proses pasar negara tidak mematok harga, namun jika ada kelangkaan, maka negara akan mensubsidi silang dengan mendatangkan barang dari daerah surplus ke daerah yang minus. Dengan begitu harga akan menyesuaikan.

 

Doa Rasulullah Saw untuk para penguasa, “Ya Allah, siapa saja yang memimpin (mengurus) urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia” (HR. Muslim No 1828). Sungguhlah berat beban penguasa, jika apa yang menjadi landasan ia bertindak adalah hukum buatan manusia, jelas akan terus menimbulkan kepedihan. Maka, hanya kembali pada penerapan Islam kaffah sajalah kesejahteraan akan terwujud. Wallahu a’lam bish showab. [DMS].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.