24 April 2024
8 / 100

Dimensi.id-Semestinya, momen menjelang wisuda adalah membahagiakan, dilansir dari kOMPAS.com, 12/3/2023, seorang mahasiswi Universitas Indonesia (UI) berinisial MPD (21) ditemukan tewas di sebuah apartemen kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Korban diduga bunuh diri dengan melompat dari lantai 18 apartemen tersebut. Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Kebayoran Baru Komisaris Tribuana Roseno mengatakan, MPD sempat meninggalkan pesan sebelum diduga bunuh diri dengan lompat dari apartemen. Pesan itu berisi permintaan maaf kepada keluarga dan teman-temannya melalui unggahan di media sosialnya. Hanya beberapa saat menjelang wisudanya. Apa gerangan yang mendorong perbuatannya? Bahkan dengan sadar meminta maaf terlebih dahulu sebelum melakukan aksinya.

 

Berita lain, ada seorang pekerja bangunan berinisial NS, di Bogor Jawa Barat, bunuh diri dengan cara gantung diri padahal baru satu Minggu pulang dari tempat dia bekerja (SINDOnews.com,10/3/2023). Bunuh diri adalah peristiwa senyap yang diam-diam mengancam generasi. Untuk menekan angka kasus bunuh diri ini, Baznas Gunung Kidul, adakan moderasi beragama yaitu dengan cara memberikan motivasi dan semangat kepada para duda dan janda agar tak melakukan bunuh diri. Selain itu juga memberikan sembako dan bantuan pengeboran sumur dan peninggian air untuk tanggulangi kemarau. Termasuk juga bedah rumah. Seolah jauh panggang dari api, benarkah moderasi beragama yang diwujudkan dengan berbagai bantuan itu akan menyelesaikan persoalan banyaknya angka bunuh diri?

 

Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar daripada data resmi. Menurut sejumlah pakar, kurangnya data telah menyembunyikan skala sebenarnya dari persoalan bunuh diri di Indonesia. Padahal, WHO mengatakan bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15-29 tahun di seluruh dunia pada 2019. Dan sebuah studi di tahun 2022 itu, yang belum melalui proses telaah sejawat, yaitu membandingkan data kepolisian, yang merupakan data resmi untuk bunuh diri, dengan Sample Registry System (SRS) di Kementerian Kesehatan. Sudah didapati data yang cukup memprihatinkan.

 

Dr. Sandersan Onnie, mahasiswa pasca-doktoral di Black Dog Institute Australia dan peneliti utama dalam studi tersebut, mengatakan angka bunuh diri yang sebenarnya bisa jauh lebih besar dari yang terlapor karena berbagai masalah dalam alur pendataan (BBC.com, 25/1/2023).

 

Siapa Bertanggungjawab Atas Rendahnya Mental Health Rakyat?

 

Indonesia pada 2030-2045 mendatang, digadang-gadang akan merasakan bonus demografi. Bonus demografi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan penduduk sebuah negara pada usia produktif yaitu berkisar antara 16 hingga 65 tahun. Peningkatan tersebut diikuti pula dengan menurunnya angka kelahiran serta kematian. Menurut Imam Suyanto selaku Hubungan Masyarakat (Humas) Kementerian Perdagangan memaparkan, bonus demografi terbagi atas dua sisi. Keduanya ialah sisi kesempatan dan sisi tantangan.

 

Kesempatan yang ia maksud adalah momentum untuk mengurangi angka pengangguran, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Namun tantangannya adalah sampai saat ini Indonesia masih memiliki beragam permasalahan dari beberapa aspek. Namun dengan fakta makin maraknya upaya bunuh diri di kalangan generasi muda yang bisa empat kali ‘lebih tinggi dari data resmi’, menurut penelitian terbaru , apa imbasnya? Atau adakah dampaknya?

 

Kasus bunuh diri menjadi cermin terganggunya kesehatan mental warga, dengan pelaku berbagai usia. Hal ini nyata menunjukkan adanya gangguan pada mental masyarakat. Jelas ada banyak faktor yang berpengaruh, mulai dari sedikitnya jam pelajaran agama, kurikulum bermasalah, hingga pada pola asuh yang salah sehingga generasi menjadi rapuh. Semua mengerucut pada buruknya sistem dan penguasa yang abai atas rakyat. Tak bisa disangkal, semua bermuara pada kebijakan pemerintah yang tidak melihat pada tingkat kesulitan yang dihadapi masyarakat.

 

Secara fitrah, individu masyarakat tidak semua memiliki daya juang yang sama dalam menghadapi kesulitan hidup. Adakalanya keterbatasan fisik juga turut memberi kontribusi sulitnya mereka mengakses pada setiap kebutuhan dasar yang mereka butuhkan. Ada pendapat yang mengatakan, tak mungkin negara membiayai semua kebutuhan pokok rakyatnya mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan dan jelas ini adalah pendapat yang ahistoris, sebab, sejarah mencatat secara gemilang ada satu perasaan yang sangat mampu memberikan kesejahteraan luar biasa kepada rakyatnya, yaitu peradaban Islam.

 

Islam Menjadikan Manusia Berkualitas

 

Islam memandang manusia secara utuh, dan menyeluruh. Karena itu pembangunan manusia tidak hanya aspek fisik namun juga mental dan menjadikan akidah islam sebagai asas sehingga menghasilkan manusia yang tangguh, sabar akan cobaan dan yakin akan hari akherat.di sisi lain negara juga menjamin kehidupan sehingga mengurangi adanya tekanan.

 

Islam memerintahkan jaminan kebutuhan asasi ada di tangan negara, sehingga mengurangi risiko terjadinya ketidak adilan terhadap individu rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah,”Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Allah SWT pun telah memberikan seperangkat aturan yang sangat detil agar fungsi penjaminan kesejahteraan ini semisal tenang pembiayaan operasional negara yang berasal dari Baitul Mal.

 

Baitul mal, adalah sistem keuangan negara yang bertumpu pada pos pendapatan yang jenis, bentuk dan cara mendapatkannya ditentukan oleh syariat, bukan pajak atau utang sebagaimana hari ini yang kemudian memberikan tekanan luar biasa kepada individu rakyat. Padahal, biaya hidup sangatlah tinggi. Dan setiap kebijakan justru memberikan kemudahan bagi pihak asing yang hanya ingin mengeksploitasi harta kekayaan alam negeri ini yang berlimpah, yang dalam ketentuan syariat juga haram negara memberikannya kepada asing sedangkan meninggalkan hak-hak rakyat untuk ikut menikmatinya.

 

Sekulerisme yang menjadi landasan kebijakan, terbukti kian menjadikan kehidupan bak sebuah perlombaan di ajang gladiator, siapa kuat dia menang. Sangat berbeda dengan Islam. Ketakwaan individu justru terus dikuatkan oleh keberadaan masyarakat dan negara. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam). Inilah yang menjadi kekuatan seorang pemimpin dalam Islam untuk terus menerus memperhatikan urusan rakyat secara Kaffah. Wallahu a’lam bish showab. [DMS].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.