13 Mei 2024

Dimensi.id-Sejak Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 disahkan, hingga saat ini sekitar 35.000 lebih narapidana dibebaskan lebih awal dari masa hukumannya.

Pembebasan besar-besaran tersebut menimbulkan kekhawatiran dan keresahan di tengah masyarakat. Sebab, mantan Napi yang bebas dikhawatirkan kembali melakukan tindak kriminal. Terbukti, di berbagai daerah ditemukan Napi yang kembali ditangkap karena berbuat pidana. Padahal, Ditjen Permasyarakatan (PAS) mewajibkan napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi di rumah.

Dilansir dari laman kumparan.com., “Pria bernama Ikhlas alias Iqbal (29) yang dibebaskan pada 2 April. Ia kembali ditangkap pada 7 April karena menerima paket ganja seberat 2 kilogram. Lalu, di Sulawesi Selatan, seorang pria bernama Rudi Hartono harus kembali mendekam dalam penjara karena hendak mencuri di rumah warga.

Fakta tersebut tentunya menambah kepanikan bagi masyarakat. Sudahlah masyarakat bingung dengan kebijakan pemerintah yang setengah hati dalam menangani pandemi Covid 19, kini dibuat gundah dengan aksi kejahatan yang dilakukan mantan napi dari kebijakan tidak masuk akal tersebut.

Berkaitan dengan fakta di atas, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Hibnu Nugroho, menilai fenomena tersebut sebagai kegagalan Kemenkumham, khususnya Ditjen PAS serta lapas atau rutan, dalam mengawasi para napi yang dibebaskan. Hibnu menduga lapas atau rutan belum menyiapkan sistem kontrol para napi tersebut, dan sekadar membebaskan. (Kumparan.com)

Betapa hal itu menunjukkan ketidakmampuan negara dalam memberikan rasa aman bagi masyarakat, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang ini. Bisa dipastikan hal ini disebabkan karena minimnya pengawasan dari Lapas dan pemerintah tidak menyiapkan sejumlah perangkat regulasi pasca pembebasan untuk mengeliminasi dampak tersebut.

Sejatinya penjara adalah wadah pembinaan bagi warga yang melakukan tindakan melanggar hukum. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 TAHUN 1995 Tentang Pemasyarakatan, Bab I Ketentuan Umum, Pasa 1, butir kedua disebutkan:

“Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Kenyataan berbicara, justru kebanyakan alumni Hotel Prodeo melakukan kejahatan serupa. Contoh yang umum adalah para artis mantan narapidana yang terjerat kasus narkoba. Ketika masa tahanan berakhir dan bebas, kembali kedapatan mengkonsumsi narkoba. Kasus-kasus mantan Napi yang berulah usai bebas saat ini juga membuktikan negara gagal melakukan pembinaan terhadap para narapidana. Sehingga ketika keluar dari pengasingan, jangankan memberi sumbangsih bagi bangsa. Untuk kebaikan dirinya sendiri saja belum mampu.

Seperti itulah gambaran kehidupan di alam sistem sekuler kapitalis. Alih-alih mencegah penularan Covid 19 lebih luas, penguasa justru menciptakan masalah baru di bidang keamanan. Harusnya Napi yang berada di dalam rutan atau lapas tidak perlu dibebaskan karena sudah terisolasi dan relatif aman dari pandemi. Tinggal aturan terkait kunjungan napi di rutan atau lapas yang dibuat lebih ketat.

Sangat berbeda dengan sistem Islam. Syariat Islam mengatasi masalah secara paripurna tanpa melahirkan masalah baru. Hukum Islam merupakan aturan yang bersifat preventif dan komprehensif. Dengan seperangkat hukum yang berasal dari Allah Swt.

Dalam syariat Islam terdapat uqubat (sistem sanksi) yang meliputi hudud, jinayat, takzir dan mukholafat. Hudud merupakan sistem sanksi yang menjadi hak Allah atas sejumlah pelanggaran tertentu. Sanksi bagi perzinaan, murtad, pencurian, dan pembegal jalanan menjadi cakupan hudud. Jenis sanksinya ditentukan oleh Allah dan RasulNya. Allah Swt. telah memberi peringatan dalam surat Al-isra ayat 32 yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.

Namun, apabila perbuatan zina kemudian dilakukan oleh pemuda yang berstatus perjaka dan perawan, Allah Swt. telah menetapkan hukuman tersendiri. Dalam surat An-nur ayat 2 Allah Swt. berfirman yang artinya: “Perempuan dan laki – laki yang berzina, maka cambuklah setiap dari mereka sebanyak 100 kali cambukan”.

Jinayat adalah tindak penganiayaan terhadap sesama manusia, seperti perbuatan melukai orang lain dan pembunuhan. Sanksinya berupa hukum qishosh (hukum balas). Keras dan tegasnya sanksi dalam perkara jinayat ini bertujuan untuk melindungi jiwa dan nyawa manusia.

Takzir dan mukholafat ialah sistem sanksi untuk pelanggaran di luar hudud dan jinayat. Bentuk sangsinya menjadi hak para penguasa untuk menentukan hukumannya.

Dengan seperangkat hukum yang bersifat pencegahan tersebut pastinya akan membuat orang berpikir seribu kali untuk melakukan perbuatan tercela. Tentunya, tidak akan ada cerita lapas atau rutan yang over kapasitas seperti sekarang ini. Dan semua itu semata-mata untuk menjaga manusia agar tidak terjerumus pada jurang kehinaan.

Sistem Islam menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif. Semua fasilitas rakyat seperti kesehatan dan pendidikan berkualitas gratis disediakan pemerintah. Penguasa menjamin dibukanya lapangan pekerjaan bagi kaum pria. Syariat Islam juga telah mencontohkan penerapan sistem karantina/lockdown ketika terjadi wabah.

Dengan demikian, semua masalah yang terjadi saat ini akan selesai tuntas apabila kembali pada aturan Illahi Rabbi. Wallahualam.[ia]

Penulis : Anggun Permatasari

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.