29 Maret 2024
65 / 100

Dimensi id-Menkopolhukam Mahfud M. D. Mengumumkan dugaan korupsi yang dilakukan Gubernur Papua Lukas Enembe. Bersama Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavananda, serta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, Mahfud mengumumkan kasus itu dalam konferensi pers di kantornya, Senin (19/09/2022).

“Lukas Enembe bukan hanya diduga menerima gratifikasi sebanyak Rp1 miliar. Di balik itu, PPATK menemukan dugaan bahwa Lukas menyimpan dan mengelola uang yang jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah,” ujar Mahfud.

Dugaan korupsi yang dilakukan Lukas, kata Mahfud, meliputi alokasi janggal anggaran untuk pimpinan Pemprov Papua yang nilainya mencapai ratusan miliar. “Selain itu, ada pula dugaan penyelewengan dana Pekan Olahraga Nasional dan dugaan bahwa Lukas memiliki manajer untuk melakukan pencucian uang,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Progressive Democracy Watch (Prodewa) Wilayah Papua, Leonardus O. Magai juga mendesak pemerintah memberantas kasus korupsi yang ada di bumi Cenderawasih. Kasus dugaan korupsi Gubernur Papua, Lukas Enembe, hanya satu dari sekian banyak kasus korupsi yang terjadi di Papua. Masih banyak kasus korupsi yang melibatkan elite Papua.

Rakyat Papua masih tertinggal dari daerah lainnya. Hal itu dibuktikan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua yang masih tertinggal dari daerah lain. Ironinya, ada temuan lain PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) terkait transaksi setor tunai atas nama Lukas Enembe ke akun judi dengan jumlah fantastik sebesar Rp560 miliar. Kuasa hukum Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening, mengamini kliennya sering bermain kasino, namun ia membantah soal aliran dana ratusan miliar tersebut. Jika benar demikian, berarti tak ada pembangunan infrastruktur di Papua jelas Stefanus.

Tamaknya Demokrasi Akar Korupsi Merajalela

Leonardus O Magai mengatakan, maraknya kasus korupsi bisa juga karena pengaruh otonomi khusus (otsus) Papua yang sudah berjalan 20 tahun, tetapi belum bisa meningkatkan IPM Papua. Pemerintah pusat tahu itu tapi mengabaikan. Paradigma politik kebijakan yang masih menindas dan sewenang-wenang, menjadi dalang utama di balik tidak meratanya pembangunan di Papua.

“Dari mulai izin konsesi lahan eksploitasi yang korup sampai korupsi dana otsus. Temuan-temuan seperti ini tidak serius diperhatikan oleh pemerintah pusat, karena mungkin secara politik dana otsus itu dianggap sebuah kompensasi terhadap isu keamanan di Papua yang masih bergejolak,” katanya.

Sedangkan Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr. Suswanta, M.Si. menduga penangkapan Gubernur Papua juga ada kaitannya dengan kompetisi politik. “Penangkapan Gubernur Papua selain karena memang korupsi ratusan miliar tetapi juga karena yang bersangkutan kader Demokrat (kompetisi politik Demokrat versus PDIP).” Selain ityu, korupsi oleh Gubernur Papua sudah lama diketahui pusat, tetapi tidak ditindak. “Hal ini dilakukan untuk menjaga Papua agar tidak lepas dari NKRI,” ujarnya.

Inilah bukti politik demokrasi yang diadopsi negeri ini telah membawa dampak serius akibat ketamakannya. Posisi khusus Papua, lemahnya pengawasan negara dan mahalnya biaya menjadi pemimpin sebagaimana yang demokrasi persyaratan benar-benar menjadikan kekuasaan tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Kondisi rakyat Papua ibarat ayam mati di lumbung padi, bergelimang kekayaan alam yang luar biasa, namun tertinggal, kelaparan dan miskin. Jargon andalan rezim adalah pertahankan kearifan budaya lokal, padahal sejatinya mengeksploitasi dampak buruk sistem demokrasi menjadi wisata pengumpul pundi-pundi keuangan negara.

Kasus Lukas Enembe yang memiliki rekening gendut dan kekayaan fantastis merupakan bukti tak terelakkan bahwa sostem demokrasi memberi banyak peluang bagi pejabat untuk memperkaya diri sendiri. Sementara rakyat yang dikelilingi kekayaan SDA tak bisa lepas dari penyakit akut kemiskinan. Demokrasi dengan pengakuan atas tiga pilar kebebasan, salah satunya kebebasan memiliki , menciptakan peluang bagi para cukong atau investor membiayai proses pemilihan pemimpin yang mahal dengan imbalan proyek kerjasama.

Terlebih menjelang pemilu 2024, pergerakan para elit partai, kader dan simpatisannya makin massif. Lobi-lobi, safari politik dan lain sebagainya mulai menjadi agenda harian, meninggalkan fokus utama periayaan kebutuhan rakyat. Biaya menjadi seorang gubernur, anggota parlemen bahkan presiden tidaklah murah. Di sinilah ketamakan demokrasi bermain.

Berbicara modal politik, tak peduli lagi dari mana asalnya, asalkan bisa mengikuti semua prosedur KPU maka akan ditempuh demi sebuah kursi kekuasaan. Maka, jika dikatakan ini adalah jalan perjuangan menuju perubahan sangat tidak tepat. Sebab, sejatinya meraih kekuasaan itu butuh dua hal, siapa dan dengan apa ia berkuasa.

Islam Hapus Korupsi Hingga ke Akar

Pemilu memang hanya sarana memilih pemimpin, namun dalam demokrasi lebih dari itu, pemilu adalah sarana melanggengkan hegemoni demokrasi itu sendiri yang berkelindan dengan kapitalisme sebagai sistem ekonominya.

Padahal, dalam Islam, sebagai pemimpin haruslah pertama memenuhi syarat iniqod yaitu laki-laki, Muslim, merdeka, baligh, adil , berakal dan mampu mengemban amanah kepemimpinan. Kedua, harus menerapkan syariat Islam. Sebab hukum adalah hak preogatif Allah SWT, bukan manusia. Sebagaimana firman Allah, “Hendaklah kamu menghukumi mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka yang akan memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah diturunkan Allah kepada kamu.” (TQS al-Maidah :49).

Jelas Demokrasi tidak bisa mewujudkan dua hal di atas, sebab asasnya adalah sekuler, pemisahan agama dari kehidupan. Pertanyaannya perjuangan ke arah mana jika tetap memakai demokrasi? Rakyat membutuhkan sistem Islam sebagai pengganti yang akan mencipta kesejahteraan dan menghalangi eksploitasi SDA oleh individu.

Korupsi dalam Islam adalah sebuah tindak kriminal besar. Maka, sistem Islam akan menyelesaikannya dalam dua cara, pertama secara preventif dengan cara mengelola sumber-sumber kepemilikan umum dan negara oleh negara sendiri. Tidak ada privatisasi, bahkan hal demikian adalah haram karena akan timbul kezaliman dimana rakyat kesulitan mengakses haknya atas kepemilikan umum.

Kesejahteraan dijamin negara, dengan cara menggunakan keuntungan yang di dapat dari pengelolaan SDA dan ghanimah yang diperoleh negara sebagai kepemilikan umum dan digunakan untuk membangun infrastruktur yang berhubungan dengan kebutuhan pokok rakyat seperti sekolah,rumah sakit, jalan, jembatan, masjid dan lain sebagainya.

Kedua cara kuratif, yaitu dengan menindak tegas setiap penyimpangan dan tindak korupsi. Demikian juga dengan mengadakan edukasi terkait ketakwaan individu dan budaya amar makruf nahi mungkar. Pun makna kebahagiaan akan ditekankan, sebab memang semestinya manusia melakukan aktifitas adalah karena mengharap Ridha Allah dan merasa selalu diawasi oleh Allah swt. Hal ini karena negara posisinya adalah periayah atau pengurus urusan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Pengurusan negara seberapa luas wilayahnya, tetap berada pada satu kontrol dan tidak diistimewakan satu dari yang lainnya. Pengaturannya dengan syariat Islam, sehingga setiap daerah dengan setiap potensinya terikat oleh satu kekuatan yang shahih,yaitu akidah. Wallahu a’lam bish showab. [DMS]

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.