19 April 2024
65 / 100

Dimensi.id-RUU Perampasan Aset Tindak Pidana kembali menjadi pembahasan panas setelah Menko Polhukam Mahfud MD meminta permohonan khusus kepada komisi III DPR saat membahas transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan. Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengaku menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Menurutnya, kehadiran RUU ini diperlukan agar proses pengembalian kerugian negara bisa dilakukan lebih cepat dan lebih baik.

Lain Arsul, lain pula Bambang Pacul. Menanggapi permintaan Mahfud MD, Bambang Pacul selaku Ketua Komisi III DPR mengatakan pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tergantung pada “bos” partai. Menurutnya, semua anggota DPR patuh dan nurut sama ketum partainya sehingga tidak bisa mengambil keputusan sendiri perihal pengesahan RUU tersebut.

Sebagai negara yang turut menandatangani Konvensi PBB Melawan Korupsi, Indonesia meratifikasinya dengan membuat UU 7/2006. Namun, hingga kini, Indonesia belum memiliki aturan terkait perampasan aset. Pada praktiknya, perampasan aset baru bisa dilakukan melalui putusan pengadilan. Akankah upaya pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana membawa perubahan besar dalam mencegah korupsi yang sudah mengakar dan membudaya saat ini?

Budaya Korupsi

Pernyataan Mahfud MD beberapa waktu lalu, “Menoleh ke mana saja ada korupsi,” menunjukkan budaya korupsi makin menggila di lembaga pemerintahan. Sebagai contoh, KPK mencekal ke luar negeri terhadap 10 tersangka kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja pegawai di Kementerian ESDM pada tahun anggaran 2020 – 2022. Terbaru, Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S. Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan korupsi berupa pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara disertai dengan penerimaan suap di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Pasangan suami istri tersebut diduga menerima uang sebesar Rp8,7 miliar.

Mengapa korupsi di Indonesia sulit diberantas? Jawabannya karena korupsi sudah membudaya dan mengakar kuat menjadi kebiasaan pejabat dan politisi yang duduk di lembaga pemerintahan. Budaya korupsi muncul karena beberapa faktor berikut:

Pertama

High cost politic. Sudah jamak kita ketahui, biaya politik sistem demokrasi sangat mahal. Mau mendaftar menjadi kontestan pemilu, baik kursi presiden, kepala daerah atau anggota legislatif membutuhkan modal yang cukup. Semakin tinggi jabatan yang hendak diraih, makin besar pula ongkos politiknya. Saat sudah menjabat, cara terbaik balik modal adalah dengan korupsi. Semakin mahal biaya politik, semakin besar potensi korupsinya.

Kedua

Gaya hidup hedonis dan konsumtif pejabat dan keluarganya. Perilaku flexing keluarga pejabat yang belakangan viral adalah indikasi gaya hidup hedonis, konsumtif, dan kapitalistik telah membudaya. Seakan-akan pejabat tidak dikatakan pejabat kalau tidak hidup mewah dan serba wah.

Berapa banyak di antara pejabat hari ini yang hidup sederhana jauh dari kemewahan? Hampir dipastikan nihil. Sebut saja mantan pejabat Kemenkeu, Rafael Alun Trisambodo yang saat ini menjadi tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi akibat gaya hidup mewah yang dipertontonkan anak istrinya di media sosial. Besaran gaji yang ia dapat tidak sebanding dengan berbagai barang mewah yang dimilikinya. Alhasil, ia dicokok KPK lantaran memiliki harta tidak wajar.

Ketiga

Langkanya sikap amanah dan sifat jujur di sistem sekuler kapitalisme. Mengapa amanah dan kejujuran menjadi hal tersulit bagi pejabat negara? Sebab, sekularisme tidak menjadikan iman dan takwa sebagai perisai diri bagi pejabat negeri. Lingkaran sistem sekuler memang tidak menjadikan agama (baca: Islam) sebagai dasar dan pedoman dalam berbuat, sehingga mereka mudah terjebak dengan arus yang sudah salah sejak awal.

Ibaratnya, sebaik-baiknya orang beriman tetap ada kemungkinan tergoda dengan lingkaran setan bernama demokrasi. Sebagaimana ungkapan Mahfud MD yang pernah mengatakan, “Malaikat masuk sistem pun bisa menjadi iblis.” Hal ini ia ungkap lantaran banyaknya kecurangan dan politik transaksional yang cenderung disetir berbagai kepentingan para pemilik modal. Politisi butuh modal, kapitalis butuh kebijakan yang memuluskan kepentingan mereka. Jika pola menjabat sudah seperti ini, bagaimana mau berbuat jujur dan amanah?

Kalaulah RUU Perampasan Aset Tindak Pidana disahkan menjadi UU, akankah efektif memberantas korupsi dengan tuntas? Ada banyak celah bagi tikus berdasi meringankan hukumannya sebab sistem hukum saat ini tidak tegas dan pengawasan negara terhadap pejabat sangat lemah.

Memberantas Korupsi secara Tuntas

Islam sebagai sistem hidup memiliki aturan super lengkap dalam menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam memiliki sejumlah tindakan preventif dan kuratif dalam mengatasi kasus korupsi:

Dalam aspek preventif, Islam melakukan langkah berikut:

Pertama

Penanaman akidah Islam setiap individu. Dengan akidah yang kuat akan terbentuk kepribadian Islam yang khas. Pembentukan akidah ini dilakukan secara berkesinambungan melalui sistem pendidikan Islam yang akan menghasilkan individu-individu beriman dan bertakwa. Kesadaran iman dan ketaatan inilah yang akan mencegah seseorang berbuat maksiat.

Kedua

penerapan sistem sosial masyarakat berdasarkan syariat secara kafah. Dengan penerapan ini, pembiasaan amar makruf nahi mungkar akan terbentuk. Jika ada anggota masyarakat yang terindikasi berbuat kriminal atau korupsi, masyarakat dengan mudah bisa melaporkannya pada pihak berwenang. Tradisi saling menasihati dan berbuat amal saleh akan tercipta seiring ditegakkannya hukum Islam di tengah mereka.

Ketiga

Mengaudit harta kekayaan pejabat secara berkala. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengontrolan dan pengawasan negara agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk meraup pundi-pundi uang ke kantong pribadinya. Khalifah Umar bin Khaththab ra. selalu mengaudit jumlah kekayaan pejabatnya sebelum dan sesudah menjabat.

Jika terdapat peningkatan harta yang tidak wajar, mereka diminta membuktikan bahwa hasil kekayaan yang mereka dapat bukanlah hasil korupsi atau hal haram lainnya. Bahkan, khalifah Umar beberapa kali membuat kebijakan mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena hartanya bertambah. Apalagi, jika diketahui jika hartanya itu didapat bukan dari gaji yang diberikan oleh negara.

Keempat

sistem kerja lembaga yang tidak rentan korupsi. Dalam sistem Khilafah, ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat,  yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Hal itu pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan. Tugasnya adalah mengawasi kekayaan para pejabat negara.

Dalam aspek kuratif, penegakan sanksi hukum Islam adalah langkah terakhir jika masih terjadi pelanggaran seperti korupsi. Sistem sanksi yang tegas memiliki dua fungsi, yaitu sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah dan berefek jera). Sebagai jawabir (penebus) dikarenakan uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia.

Sementara zawajir, yaitu mencegah manusia berbuat jahat karena hukumannya mengandung efek jera. Para pelaku dan masyarakat yang punya niatan untuk korupsi akan berpikir seribu kali untuk mengulangi perbuatan yang sama. Untuk kasus korupsi, dikenai sanksi takzir, yakni khalifah yang berwenang menetapkannya. Sanksi takzir bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.

Demikianlah tahapan Islam memberantas korupsi secara tuntas. Dengan penerapan hukum Islam, korupsi dapat dicegah dan ditindak secara efektif.

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.