28 Maret 2024

Penulis : Lulu Nugroho (Muslimah Penggerak Opini Cirebon)

Dimensi.id-Tidak ada lebaran tanpa baju baru, sepertinya demikian yang dirasakan masyarakat saat ini. Jelang lebaran, Pasar Sandang Tegalgubug, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, ramai pengunjung. Meski diliputi rasa takut, namun banyak pengunjung tidak menerapkan physical distancing atau jaga jarak. (Radarcirebontv, 20/5/2020)

Minimnya kesadaran masyarakat akan bahaya COVID-19 masih tampak. Tanpa edukasi dibarengi dengan kebijakan yang mengikat, maka protokol COVID-19 berupa stay at home, social distancing, penggunaan masker, cuci tangan, hingga upaya-upaya pencegahan lainnya, tampaknya hanya sebatas wacana saja.

Sehingga tanda pagar #Indonesiaterserah meramaikan jagat maya. Inilah bentuk kekecewaan para tenaga kesehatan (nakes). Bagai menggarami air laut, upaya pemutusan penyebaran virus menjadi sia-sia. Di satu sisi mereka berjibaku menghabisi pandemi, di sisi lain pemerintah sebagai pemegang kunci kebijakan terlihat gagap dan tidak siap pasang badan menghadapi wabah.

Bahkan membiarkan munculnya herd immunity di tengah masyarakat. Cara sadis ala sekularisme sebab tidak mampu mengakomodir kebutuhan pokok warganya. Dalam sekularisme, penguasa hanya bertindak sebagai pengatur. Bukan pengurus urusan umat. Oleh karena itu tidak heran, kebijakan yang ada tumpang tindih, mencla-mencle, membingungkan masyarakat. Bukan kebijakan solutif.

Padahal Herd immunity  sangat berbahaya, sebab manusia dibiarkan terpapar virus agar tumbuh kekebalan alami. Orang yang kuat akan bertahan hidup. Sementara yang lemah akan mati. Sementara akses menuju layanan kesehatan yang mudah dan murah sangat sulit didapat. Begitu pula halnya dengan keterbatasan sarana penunjang seperti Alat Pelindung Diri (APD), obat-obatan, ruang isolasi, dan lainnya.

Seluruh hal ini belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Apalagi kebutuhan perut sangat mendesak, membuat mereka pada akhirnya turun ke jalan dan membuat kerumunan. Antara penjual dan pembeli, sama saja. Semuanya memiliki kebutuhan untuk meninggalkan rumah. Alhasil, masyarakat pun tidak siap menghadapi pandemi. Tanpa kontrol dan penjagaan pemerintah, mereka akan mengambil keputusan sendiri-sendiri.

Sekalipun banyak media sosial yang menayangkan berita terkait data terbaru positif COVID, namun hal tersebut belum sepenuhnya menjadi perhatian. Seolah bukan fakta yang terjadi di dekat mereka. Apalagi di beberapa titik tampak mulai longgar, karena adanya relaksasi yang terjadi di beberapa wilayah.

Kota Cirebon pun tak ayal melakukan hal yang demikian. Karenanya, selain Pasar Sandang Tegal Gubug, mal-mal dan pasar mulai penuh pengunjung. Jalan raya pun kembali dipadati pengguna jalan. Tampak viral antrean pengunjung Cirebon Super Block (CSB) di Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahap 2, hingga 2 Juni. (Kumparan, 20/5/2020)

Wali Kota Cirebon, Nashrudin Azis mengatakan, sekali pun dibuka, semua pengelola pasar tradisional dan pusat perbelanjaan modern tetap harus mematuhi protokol pencegahan penyebaran COVID-19. “Selama PSBB Tahap II dijalankan Pemerintah Kota Cirebon akan memberlakukan kearifan lokal sesuai dengan protokol pencegahan penyebaran COVID-19,” katanya, Selasa (19/5).

Dibutuhkan sinergi antara warga dengan penguasa, kerja sama yang baik untuk ke luar dari persoalan pandemi. Cara-cara sekularisme terbukti tidak cocok bagi masyarakat, sebab akan memakan banyak korban. Maka sudah seharusnya kita kembali pada landasan agama. Islam dengan aturannya yang lengkap terbukti pernah berhasil mengatasi wabah penyakit.

Tidak hanya dengan memberlakukan karantina atau lockdown wilayah, juga jaminan penjagaan hak-hak masyarakat. Baik itu berupa pemenuhan kebutuhan pokok dan akses mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Pemimpin pun laksana perisai, sebab ia memang diperintahkan Allah menjadi junnah bagi rakyatnya. Allaahummanshurnaa bil islam. [S]

Editor : azkabaik

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.